Dari Sendai Melihat Aceh

- Editor

Kamis, 17 Oktober 2013

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

MUSIM panas menyergap pantai timur Jepang, awal Agustus 2013. Setelah terik seharian, hujan terkadang turun tiba-tiba, menciptakan genangan di sepanjang pesisir Sendai hingga Ofunato. Potongan beton dan besi bekas fondasi yang bermunculan mengingatkan bahwa rumah-rumah pernah berdiri di sana.

Di kota pelabuhan Kesennuma, Kapal Kyotokumaru berbobot 330 ton yang diempas 750 meter dari laut masih berdiri di tepi jalan raya. Kapal ini menjadi penanda baru bagi Kesennuma, sekaligus penanda kedahsyatan gempa ber-magnitude 9 disusul tsunami yang melanda pesisir timur Jepang pada 11 Maret 2011.

Setelah memicu polemik berkepanjangan, pemerintah kota membuat voting untuk memutuskan nasib kapal itu. Dari 14.000 suara warga Kesennuma, 68 persen (9.622 orang) menyetujui kapal itu harus dihancurkan. Hanya 16 persen yang setuju dipertahankan. Mereka ingin menghapus jejak yang mengingatkan pada tragedi itu dan menata hidup baru.

”Saya sebenarnya ingin meninggalkan jejak visual tentang apa yang pernah terjadi di sini kepada generasi mendatang,” kata Wali Kota Kesennuma Shigeru Sugawara, seperti dikutip sejumlah media lokal. ”Tetapi, keputusan sudah dipilih warga, tak ada yang bisa kita lakukan.”

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Jejak kehancuran mulai dirapikan. Puing bekas 128.558 bangunan yang roboh telah dipilah-pilah dan disusun. Serpihan 240.000 mobil yang hancur—sebagian baru keluar dari pabrik dan siap ekspor—telah dimampatkan, siap didaur ulang.

Alat berat sibuk menyusun puing dan pasir menjadi bukit-bukit kecil di bekas tapak lama. Bukit-bukit buatan itu akan jadi fondasi kota baru. Sebagian hutan di atas bukit alami ditebas untuk lokasi kota baru.

Sebelum 2011, sebagian besar kota di kawasan timur Jepang dibangun di sepanjang pesisir di dataran rendah. Mereka mengandalkan sistem deteksi dini, pembangunan tanggul laut, dan hutan pinus untuk membentengi kota. Tanggul berketinggian 6-8 meter, dibangun sejak 200-an tahun lalu, beberapa kali sukses menghalau tsunami kecil.

Jepang juga dikenal dengan pendidikan bencana sejak dini. Setiap tanggal 1 September mereka memperingati Hari Pencegahan Bencana Nasional. Pada hari itu semua warga di kota-kota yang rentan tsunami mengikuti tsunami drill.

Namun, kekuatan gempa dan tsunami yang menerjang dua tahun silam ternyata jauh lebih besar dari yang diperkirakan. Jumlah korban tewas mencapai 15.846 orang dan 3.317 orang hilang. Jumlah ini jauh lebih kecil dibandingkan korban tsunami Aceh tahun 2004 yang mencapai lebih dari 180.000 orang.

Tanggul memang tidak didesain untuk menghadapi tsunami setinggi 30 meter. Tanggul ambruk dan pohon pinus yang tercerabut menerjang bersama tsunami. Tanggul dan berbagai solusi fisik itu ternyata memberikan rasa aman palsu sehingga banyak orang tidak bergegas mengungsi dari tsunami.

Menurut penelitian Katsutoshi Sugunuma (2006), kesadaran masyarakat di pantai timur Jepang sebelum kejadian tsunami 2011 terhadap pengurangan risiko bencana cenderung turun. Survei terhadap 3.500 warga di Kesennuma terhadap gempa tahun 2003, hanya 8 orang mengungsi dan 40 persen menyatakan tidak terpikir untuk mengungsi. Sisanya, tak menjawab.

Kesadaran terhadap bencana biasanya meningkat tak lama setelah bencana, tetapi kembali menurun seiring waktu.

Perubahan tata ruang
Namun, masyarakat Jepang adalah pembelajar yang tekun. Tsunami Sendai dua tahun silam menjadi titik tolak untuk melindungi warga dengan lebih baik. Pembangunan kembali kota yang lebih aman dari tsunami ini menjadi prinsip dasar dari rehabilitasi mereka. Jepang memutuskan merombak total tata ruang kota di daerah bencana.

Proses dimulai dengan pemetaan dan penelitian oleh para ahli. Abdul Muhari, peneliti tsunami dari Indonesia yang bekerja di International Research Institute of Disaster Science (IRIDeS) Universitas Tohoku, menuturkan, setiap ada bencana besar, universitas terdekat biasanya akan membuat pusat riset sesuai jenis bencananya.

Pascagempa Kanto tahun 1923 yang menewaskan 150.000 orang, Universitas Tokyo membentuk pusat riset kegempaan (Earthquake Research Institute/ERI). Pascataifun terbesar dalam sejarah Jepang tahun 1959 di Kansai, Universitas Kyoto membuat Disaster Prevention Research Institute (DPRI).

Lembaga-lembaga riset ini mendapat dana penelitian dari Pemerintah Jepang untuk mengawal proses rehabilitasi.

Para ahli di Jepang kini belajar bahwa tanggul dan hutan pinus tak cukup. ”Tanggul laut dan sabuk hijau tetap dibutuhkan. Itu akan dibangun kembali dengan lebih baik. Kita akan buat juga jalan yang ditinggikan sebagai tanggul kedua, seperti perlindungan berlapis,” kata Prof Fumihiko Imamura, ahli tsunami IRIDeS.

Rumah-rumah baru harus dibangun di perbukitan yang jauh dari pantai. Di beberapa kota yang jauh dari bukit alam akan dibangun bukit-bukit buatan setinggi sekitar 6 meter.

”Proses rehabilitasi di Jepang mungkin terlihat lebih lambat dibandingkan Aceh, tetapi mereka lebih hati-hati dan memperhitungkan jauh ke depan,” kata Martunis, anggota staf Pemerintah Kota Banda Aceh, yang setahun terakhir magang dalam proyek rehabilitasi kota Higashimatsushima, Miyagi.

Rekonstruksi Aceh telah melewatkan kesempatan emas untuk menata kota-kota pesisirnya menjadi lebih aman dari tsunami. Sekitar tiga bulan setelah tsunami Aceh, Bappenas dan berbagai instansi lain berlomba membuat masterplan Aceh, termasuk rencana relokasi hunian. Namun, masterplan itu tak pernah terealisasi.(Oleh: Ahmad Arif )

Sumber: Kompas, 17 Oktober 2013

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten
Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker
Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat
Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel
Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina
Berita ini 2 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 24 April 2024 - 16:17 WIB

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?

Rabu, 24 April 2024 - 16:13 WIB

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 April 2024 - 16:09 WIB

Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN

Rabu, 24 April 2024 - 13:24 WIB

Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten

Rabu, 24 April 2024 - 13:20 WIB

Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker

Rabu, 24 April 2024 - 13:06 WIB

Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel

Rabu, 24 April 2024 - 13:01 WIB

Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina

Rabu, 24 April 2024 - 12:57 WIB

Soal Polemik Publikasi Ilmiah, Kumba Digdowiseiso Minta Semua Pihak Objektif

Berita Terbaru

Tim Gamaforce Universitas Gadjah Mada menerbangkan karya mereka yang memenangi Kontes Robot Terbang Indonesia di Lapangan Pancasila UGM, Yogyakarta, Jumat (7/12/2018). Tim yang terdiri dari mahasiswa UGM dari berbagai jurusan itu dibentuk tahun 2013 dan menjadi wadah pengembangan kemampuan para anggotanya dalam pengembangan teknologi robot terbang.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO (DRA)
07-12-2018

Berita

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 Apr 2024 - 16:13 WIB