Tatapan orangutan yang emosional membuat dokter hewan Citrakasih Nente berkomitmen untuk menyelamatkan mereka. Tahun ini, 20 tahun sudah Citra berkawan dengan orangutan.
KOMPAS/NIKSON SINAGA—Dokter hewan Citrakasih Nente saat beraktivitas di sekolah hutan di Stasiun Karantina dan Rehabilitasi Orangutan Batu Mbelin, Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Kamis (11/7/2019).
Dokter hewan Citrakasih Nente (47) awalnya hanya ingin beberapa bulan saja mencari pengalaman dalam tim medis konservasi orangutan. Namun, pengalamannya melihat kondisi orangutan yang butuh pertolongan membuatnya bertahan. Hatinya tertambat tatapan orangutan yang sangat emosional. Kini, sudah lebih dari 20 tahun ia berkawan dengan orangutan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Citra kini disibukkan oleh perencanaan ulang program konservasi di Yayasan Ekosistem Lestari – Program Konservasi Orangutan Sumatera (YEL-SOCP) di tengah pandemi Covid-19. Ia harus mengevaluasi sejumlah program untuk mengantisipasi agar orangutan tidak sampai tertular Covid-19.
Di tengah kesibukannya, Citra meluangkan waktunya untuk berbincang dengan Kompas melalui sambungan telepon dan dalam diskusi melalui media sosial, awal Agustus lalu. “Beberapa program kami sesuaikan dan kami lakukan dengan sangat hati-hati, khususnya untuk mengatur kontak orangutan dengan manusia dan pelepasliarannya,” katanya.
Selama tiga tahun belakangan dokter hewan lulusan Universitas Gadjah Mada itu beraktivitas di Sumut dan Aceh. Sebagai Kepala Konservasi Eksitu YEL-SOCP, ia harus bolak-balik di kedua daerah tersebut dalam program konservasi orangutan.
Perkenalan Citra dengan orangutan dimulai saat dia mengikuti koas di Kebun Binatang Gembira Loka, Yogyakarta. Perempuan asal Toraja itu sangat terkesan melihat orangutan yang menatapnya dengan sangat emosional. “Tatapannya seperti berbicara dari hati ke hati. Saya sebelumnya memelihara beberapa jenis satwa, tetapi tidak ada yang menatap saya dengan sangat emosional,” kenang Citra.
YAYASAN EKOSISTEM LESTARI—Kepala Konservasi Eksitu Yayasan Ekosistem Lestari – Program Konservasi Orangutan Sumatera Dokter Hewan Citrakasih Nente.
Namun, Citra belum terpikir sama sekali untuk bergelut dalam dunia konservasi orangutan. Setelah menyelesaikan studinya pada 1998, ia mendapat informasi tentang kebutuhan dokter hewan di Yayasan Borneo Orangutan Survival, Kalimantan Timur. “Niat awal saya hanya ingin mencari pengalaman beberapa bulan di Kalimatan,” ceritanya.
Ketika itu, sejumlah pusat rehabilitasi satwa sangat kekurangan tenaga medis dokter hewan. Biasanya tenaga medis yang bergabung hanya bertahan beberapa bulan, kemudian meniti karier lain sebagai pegawai negeri sipil, pegawai perusahaan, atau membuka praktik dokter hewan. “Pendapatan di tempat lain jauh lebih besar ketimbang bergabung dalam tim medis konservasi satwa,” kata Citra.
Setelah bergabung dengan tim medis konservasi, Citra menjalani hari-harinya bersama orangutan. Setiap pagi, ia merawat orangutan yang sakit, memeriksa kesehatan semua orangutan di pusat rehabilitasi, dan juga jaga malam jika ada orangutan yang sakit. Ia juga ikut dalam penyelamatan orangutan yang terjebak di lokasi kebakaran hutan. “Ketika kebakaran terjadi, kami masuk ke hutan melalui sungai. Kami bisa menyelamatkan hingga lima bayi orangutan setiap hari,” cerita Citra.
Ia menyaksikan bagaimana induk orangutan berupaya melindungi anaknya dari api dengan memeluknya erat-erat. Hal itu yang membuat induk orangutan biasanya mati jika terjebak di lokasi kebakaran. “Namun, anak-anak orangutan biasanya selamat,” katanya.
Bayi orangutan yang kritis pun harus dipantau 24 jam sehari. Selain kondisi fisiknya yang drop, umumnya mereka juga trauma psikis berat. Citra pun sering sekali harus membawa bayi orangutan ke kamar tidurnya di mes agar kesehatannya bisa dipantau sepanjang malam. Bayi orangutan juga harus diberi susu setiap dua jam.
Setelah beberapa bulan bergabung dengan tim medis orangutan, Citra menyadari orangutan sangat membutuhkan dokter hewan. Ia pun berkomitmen untuk tetap bersama orangutan. “Kalau saya tinggalkan, akan semakin sedikit dokter hewan yang mengurus orangutan,” kata Citra.
KOMPAS/NIKSON SINAGA—Dokter hewan Citrakasih Nente saat beraktivitas di sekolah hutan di Stasiun Karantina dan Rehabilitasi Orangutan Batu Mbelin, Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Kamis (11/7/2019).
Citra lalu melanjutkan studinya dalam program pascasarjana di bidang Conservation Medicine, di Murdoch University, Australia. Ia kemudian memimpin tim medis konservasi orangutan di Kalimantan yang personelnya selalu berganti dalam beberapa bulan.
Citra juga terikat kedekatan emosional dengan beberapa individu orangutan. Sudah banyak orangutan yang tumbuh kembang bersamanya mulai dari bayi hingga dilepasliarkan saat sudah berusia lebih dari delapan tahun.
Menggagas sekolah hutan
Citra juga merupakan salah seorang penggagas sekolah hutan (forest school) untuk orangutan. Konsep sekolah hutan itu kini diterapkan di semua pusat rehabilitas orangutan di Indonesia. Sebelumnya, rehabilitas orangutan itu hanya dilakukan di kandang saja. “Kalau ada orangutan yang bisa lolos dari kandang, kami pasti buru-buru untuk menangkapnya. (Dulu) itu seperti sesuatu yang tidak boleh terjadi,” ujarnya.
Ide untuk membuat sekolah hutan muncul ketika Citra menangani orangutan di Kalimantan Tengah. Karena jumlah orangutan yang diurus masih sedikit, mereka melepaskan orangutan ke arboretum pada pagi hari dan membawa pulang ke kandang sore harinya.
Ternyata, perkembangan orangutan sangat baik ketika dilepaskan di sekolah hutan. “Dan yang paling penting, kami rupanya masih bisa menanganinya meskipun dilepas di hutan,” tambah Citra.
Pembuatan sekolah hutan juga tidak sulit. Hanya perlu lahan dan pohon. Orangutan akan lebih leluasa untuk belajar memanjat, berpindah pohon, mencari dan memilih makanan, dan bersosialisasi dengan orangutan lainnya. Sekolah hutan itu sangat penting terutama untuk orangutan yang diselamatkan sejak bayi serta bertumbuh dan berkembang di pusat rehabilitasi.
Sejak 2017, Citra menangani konservasi eksitu orangutan di Sumut dan Aceh. Di Sumut, ia mengurus Stasiun Karantina dan Rehabilitasi Orangutan Batu Mbelin, Sibolangit. Di pusat rehabilitasi itu, hidup sejumlah orangutan dengan berbagai latar belakang penyelamatan yang kelam.
Di sana, misalnya, hidup orangutan bernama Hope (25) yang buta setelah diberondong 74 peluru senapan angin saat mempertahankan bayinya yang akhirnya mati, di Aceh. Selain itu, ada tiga bayi orangutan yakni Digo, Duma, dan Dupa, kini punya harapan untuk pulang ke rumahnya di hutan. Ketiganya diselamatkan saat sebuah kapal bersiap membawa mereka ke Malaysia, tahun lalu.
KOMPAS/NIKSON SINAGA—Petugas Yayasan Ekosistem Lestari – Program Konservasi Orangutan Sumatera membawa anak-anak orangutan ke sekolah hutan di Stasiun Karantina dan Rehabilitasi Orangutan Batu Mbelin di Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, terasa sejuk, Kamis (11/7/2019).
Staf Komunikasi YEL Castri Delfi Saragih mengatakan, Citra merupakan sosok yang membuat mereka tetap semangat untuk menekuni dunia konservasi orangutan. Dengan pengalamannya berkawan selama 20 tahun bersama orangutan, Citra mengerti ada saatnya pegiat konservasi itu merasa jenuh. “Di saat-saat seperti itu dia selalu hadir untuk memberi motivasi dan semangat untuk kami,” kata Castri.
Di Stasiun Karantina dan Rehabilitasi Orangutan Batu Mbelin, Citra sibuk menemani orangutan belajar di sekolah hutan. Ia menggendong tiga sampai empat orangutan sekaligus. Digo, Duma, dan Dupa pun belajar memanjat, berpindah pohon, dan mencari makan.
Bayi orangutan itu mulai melupakan trauma disekap dalam kardus dalam perjalanan penyelundupan ke luar negeri. “Semoga semakin banyak yang peduli pada mereka…” kata Citra.
Citrakasih Nente
Lahir: Toraja, 15 Oktober 1972
Pendidikan:
SMA Kristen Rantepao, Toraja, Sulawesi Selatan
S1 Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah Mada
S2 School of Veterinary and Biomedical Sciences, Murdoch University, Perth, Western Australia.
Oleh NIKSON SINAGA
Editor: BUDI SUWARNA
Sumber: Kompas, 1 September 2020