Catatan Iptek; Manusia Baru

- Editor

Rabu, 17 Februari 2016

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Semesta menjadi serpihan kecil secara ajaib di kedalaman manusia

(”The universe shivers with wonder in the depth of the human”).

FISIKAWAN BRIAN SWIMME (”THE DREAM OF THE EARTH”, SIERRA CLUB BOOKS, 1998)

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Di kalangan geologis dan ahli lingkungan sedang terjadi perdebatan besar yang berpotensi mengubah catatan sejarah bumi. Isunya adalah: apakah sekarang ini bisa dikatakan kita berada pada era Anthropocene (anthro=manusia, cene=baru), mengakhiri era Holocene yang dimulai sejak 11.700 tahun lalu?

Istilah Anthropocene pada tahun 2000 diserukan ahli kimia atmosfer yang juga penerima penghargaan Nobel Paul Crutzen dan ahli biologi Eugene Stoermer. Pada 2013, hampir 200 artikel ilmiah (peer-reviewed) mengulas kata tersebut. Penerbit Elsevier menerbitkan jurnal Anthropocene. Tahun ini, Badan International Union of Geological Sciences (IUGS) akan mengumpulkan ilmuwan mendiskusikan bisakah era Holocene digantikan Anthropocene. Timbul pro kontra.

Seperti ditulis pada jurnal Environmental Science & Technology, telah terjadi perubahan dramatis akibat aktivitas manusia; pemanasan global dan kelangkaan spesies yang terjadi hanya dalam dua abad terakhir.

Kepunahan massal terjadi lima kali, sejak yang pertama pada 450 juta tahun lalu, dan yang kelima terjadi pada event Cretaceous-Tertiary (K-T event) sekitar 65 juta tahun lalu. Event terbesar terjadi sekitar 251 juta tahun lalu saat 57 persen hewan di tingkat famili dan 83 persen genus punah. Anthropocene diduga bakal memicu kepunahan massal keenam.

Aktivitas pertanian yang memengaruhi siklus biokimia, zaman atom, bom nuklir dan pembangkit tenaga nuklir, juga pertanian, bisa dilacak jejaknya. Anthropocene ditandai dengan perubahan lingkungan secara pesat. Pemicu awal yakni ledakan penduduk dan tingkat konsumsi yang naik tajam selama ”Percepatan Besar” (Great Acceleration) sejak pertengahan abad ke-20.

Lima tanda zaman Anthropocene yaitu pertama, emisi karbon yang meningkat dengan percepatan paling tinggi dalam beberapa juta tahun terakhir, juga pola karbon yang berubah. Kedua, jumlah zat fosfor dan nitrogen menjadi dua kali lipat yang memengaruhi siklus kimia.

Ketiga, dunia industri telah menciptakan jenis logam dan zat baru yang tak ada secara alamiah, misalnya ada campuran unsur lebih keras dari intan. Keempat, persebaran tumbuhan dan hewan yang kini terjadi seiring transfer global, juga munculnya spesies baru di pertanian yang dibuat manusia. Semua tanda itu terekam dalam lapisan batuan dan tanah yang terakumulasi.

Mereka yang skeptis mempertanyakan, benarkah aktivitas manusia telah mengakibatkan perubahan permanen pada planet Bumi? Benar bahwa sistem atmosfer berubah, tetapi manusia tak mengendalikan radiasi Matahari, posisi astronomis Bumi, proses internal sistem lempeng tektonik, dan aktivitas gunung api. Semuanya bebas dari intervensi aktivitas manusia.

Lalu, apakah semua perubahan itu ”tertulis di batuan” sesuai ilmu stratigrafi? Penetapan soal itu dibebankan pada Komisi Internasional Stratigrafi (ICS) dan IUGS. Bagaimana menetapkan titik awal era Anthropocene? Peralihan zaman berburu ke bertani, penemuan atom, nuklir, atau saat Revolusi Industri?

Phil Gibbard, ahli geologi University of Cambridge, yang pertama kali membentuk kelompok kerja tentang itu mengatakan, era Anthropocene lebih efektif sebagai konsep budaya daripada fakta ilmiah. ”Ada data dan sainsnya. Yang kami pertanyakan adalah filosofi dan kegunaannya,” ujarnya.

Manusia sebagai pendatang terakhir, alih-alih menghormati semesta (lahir 15 miliar tahun lalu) dan planet Bumi—lahir 4,5 miliar tahun lalu. Manusia justru mendominasi semesta dan planet seisinya….BRIGITTA ISWORO LAKSMI
————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 17 Februari 2016, di halaman 14 dengan judul “Manusia Baru”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Melayang di Atas Janji: Kronik Teknologi Kereta Cepat Magnetik dan Pelajaran bagi Indonesia
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes
Mikroalga: Si Hijau Kecil yang Bisa Jadi Bahan Bakar Masa Depan?
Wuling: Gebrakan Mobil China yang Serius Menggoda Pasar Indonesia
Boeing 777: Saat Pesawat Dirancang Bersama Manusia dan Komputer
Berita ini 17 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 7 Juli 2025 - 08:07 WIB

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Jumat, 4 Juli 2025 - 17:25 WIB

Melayang di Atas Janji: Kronik Teknologi Kereta Cepat Magnetik dan Pelajaran bagi Indonesia

Jumat, 27 Juni 2025 - 14:32 WIB

Zaman Plastik, Tubuh Plastik

Jumat, 27 Juni 2025 - 08:07 WIB

Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes

Berita Terbaru

Artikel

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Senin, 7 Jul 2025 - 08:07 WIB

Fiksi Ilmiah

Bersilang Nama di Delhi

Minggu, 6 Jul 2025 - 14:15 WIB

Artikel

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Sabtu, 5 Jul 2025 - 07:58 WIB