Matematika untuk kehidupan merupakan tujuan pendidikan matematika di sekolah. Sayang, matematika menakutkan bagi banyak siswa.
Ini menyedihkan, tidak seharusnya demikian. Menurut pengamatan di beberapa negara, masih banyak guru menggunakan metode tradisional, mengkhotbahkan matematika kepada siswanya. Matematika dipandang sebagai produk jadi, menekankan pemakaian rumus, jarang terjadi diskusi.
Pergantian kurikulum yang sering terjadi tidak mengubah penyampaian materi. Matematika memang pelajaran yang sulit, tetapi dapat dibuat menyenangkan, malah menantang, suatu karya seni yang keindahannya hanya dapat dirasakan melalui pemikiran yang mendalam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ada dua pandangan tentang pendidikan matematika. Pertama, tradisional/absolutisme. Matematika dianggap produk jadi, sudah ada di alam, siap pakai, menekankan penggunaan rumus dan algoritma, siswa pasif. Matematika modern yang telah ditinggalkan masuk kelompok ini.
Kedua, matematika adalah hasil otak dan konstruksi budaya manusia yang selalu akan mengalami revisi dan rekonstruksi. Ini suatu reformasi, ingin meninggalkan cara tradisional karena dianggap gagal, penyajian yang abstrak menakutkan bagi banyak siswa. Pandangan kedua ini mendapat dukungan besar dari Cognitive Science yang sekarang tumbuh cukup pesat.
Hans Freudenthal, matematikawan Belanda, mengikuti pandangan kedua. Ia berusaha menyajikan matematika sebagai kegiatan manusia dan merupakan dasar dalam pengembangan Realistic Mathematics Education (RME) yang digunakan di Belanda dan berhasil.
Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) adalah adaptasi RME, khas Indonesia. Mengenai PMRI: mengapa, contoh soal, persiapan dan percobaan awal telah dijelaskan di Kompas (16/9/ 2002), “Reformasi Pendidikan Matematika di Indonesia”. Sesudah lebih 10 tahun, apa yang telah terjadi dengan PMRI? Apakah lewat PMRI matematika tidak lagi menakutkan bagi umumnya siswa?
Perkembangan PMRI
Pertama, dalam PMRI pembelajaran menggunakan bahan kontekstual yang realistik (dalam arti dapat dibayangkan, tidak harus konkret), sering bersifat lokal, siswa bekerja dalam kelompok agar terjadi diskusi dan diarahkan agar menemukan kembali konsep atau model matematika, melakukan refleksi terhadap hasil dan kaitannya dengan yang telah dipelajari. Guru bertindak sebagai pembimbing/fasilitator, evaluasi dilakukan kontinu, format soal terbuka agar dapat mengungkapkan kegiatan siswa. Alat peraga diusahakan lokal.
Contoh, menaksir tinggi Monumen Nasional di Jakarta, tutup botol “kempyeng” di Surabaya untuk berhitung (terbuka ke atas: +, ke bawah: -), kupu-kupu untuk berhitung dan geometri, kue serabi untuk pecahan, jengkal untuk jarak. Tim PMRI telah menerbitkan buku matematika untuk siswa dan guru SD/MI: kelas I (2010) dan kelas II (2011). Buku kelas III-VI masih dalam bentuk draf,tertahan penulisannya karena Kurikulum 2013 (K-2013). Penulisan buku guru merupakan yang pertama dikerjakan di Indonesia. Tim penulis buku terdiri atas dosen dan guru SD/MI, mereka mendapat pelatihan di Belanda. Buku kelas I SD K-2013 amat mirip dengan buku PMRI, tetapi sayang, buku kelas IV K-2013 kembali menyajikan matematika sebagai produk jadi, tak konsisten. Kelihatannya buku PMRI cocok untuk K-2013.
Dari evaluasi internal yang sering dikerjakan terlihat, umumnya siswa menyenangi matematika karena sering dilakukan sambil bermain. Begitu pun dari tim International Advisory Board (IAB) PMRI yang bekerja dari 2006-2010 dengan anggota dari Swedia (ketua), Amerika Serikat, Afrika Selatan, Sri Lanka, Singapura, Belanda, dan Indonesia (Dr Bana Kartasasmita dari ITB) memberikan rekomendasi yang sangat baik dalam laporannya berjudul: “PMRI-Majulah”. Mengenai PMRI secara lengkap (sejarah, teori, penerapan di sekolah, berbagai perspektif) tersedia di A Decade of PMRI in Indonesia diterbitkan di Utrecht, 2010, diperbanyak Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi dan telah diedarkan ke seluruh universitas di Indonesia. Buku ini dibagikan ke peserta ICSEI (International Congress for School Effectiveness and Improvement) di Siprus 2011; tim PMRI diundang menjadi pembicara utama.
PMRI memang lambat perkembangannya, mungkin karena bersifat bottom-up, suatu universitas atau sekolah ikut atas permintaannya, tidak ditunjuk dari atas dan tidak ada tawaran dana, hanya bantuan tenaga ahli. Universitas yang ikut harus menyertakan sekolah. Karena itu, banyak yang kurang sabar.
Suatu ketika ada tawaran dari Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah untuk melaksanakan PMRI di seluruh Indonesia. Tawaran itu kami tolak dengan halus karena pasti gagal: guru belum siap melaksanakannya. Di samping itu, pemaksaan bertentangan dengan prinsip demokrasi yang ingin ditanamkan lewat PMRI. Saat ini baru 23 universitas dan ratusan SD/MI dari Aceh sampai Ambon yang telah ikut PMRI. Ribuan guru telah dilatih bersama dosen. Di tiap universitas yang ikut, dibentuk Pusat Pengembangan dan Penelitian PMRI sebagai koordinator di daerahnya.
Saat ini sudah ada sekitar 30 doktor dalam bidang PMRI, setengahnya sudah profesor. Beberapa perguruan tinggi di Tanah Air telah menghasilkan S-2 dan S-3 dalam PMRI. Universitas Sriwijaya di Palembang dan Universitas Negeri Surabaya di Surabaya bekerja sama dengan Universitas Utrecht, Belanda, dalam program IMPoME (International Master Program on Mathematics Education) telah menghasilkan ratusan lulusan S-2 dalam PMRI. Semua lulusan S-2/S-3, termasuk yang belajar di luar negeri, diharuskan melakukan penelitian di sekolah di Indonesia. Makalah tentang PMRI sudah banyak terbit, sebagian dapat di akses melalui www.pmri.or.id, atau http://p4mriunsri.wordpress.com/.
RK Sembiring, Ketua PMRI, Pensiunan Profesor Matematika ITB
——————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Mei 2015, di halaman 7 dengan judul “Bermatematika yang Menyenangkan”.