Dalam wall (dinding) situs jejaring sosial terbesar, Anas Urbaningrum menuliskan bahwa hasil survei CSIS, LP3ES, LIPI, dan Puskapol UI menempatkan Partai Demokrat pada urutan pertama dengan angka 21,5 persen. Tulisan itu pun mendapat respons luar biasa. Ada yang mencemooh, tapi sangat bangga atas hasil survei tersebut.
Sebagai ketua DPP Partai Demokrat, tentu saja Bung Anas wajar ikut bangga. Namun, dia tegas menyampaikan bahwa dirinya tidak memberhalakan hasil survei itu.
Setiap kali menjelang kontestasi pemilihan umum, baik pilkada, pileg, maupun pilpres, lembaga-lembaga survei seolah menemukan momentum. Mulai lembaga kagetan hingga lembaga yang sudah dikenal. Secara bertahap, mereka berlomba merilis hasil survei itu kepada publik. Tentu saja agar khalayak mengetahui temuan-temuan lembaga tersebut lewat media massa sebagai banciknya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Hasil survei mereka pun tidak selalu linear. Dalam pileg tahun ini, misalnya. Ada yang menempatkan Partai Demokrat sebagai parpol di urutan teratas. Namun, ada pula yang menempatkan parpol besar lain seperti PDIP dan Partai Golkar. Bahkan, ada juga beberapa parpol baru yang menyodok masuk ke dalam lima besar menggusur parpol lama. Di antaranya, Partai Gerindra.
Diakui atau tidak, sejauh ini beberapa prediksi dari lembaga-lembaga survei itu memang ada yang jitu dalam membuat analisis peluang dan kesimpulan. Pada kasus pilkada, misalnya. Jauh sebelum pemungutan suara terlaksana, prediksi sejumlah lembaga ada yang sama sekali tidak meleset. Tentu prediksi itu mengacu hasil survei yang telah mereka laksanakan. Publik pun dibuat tercengang.
Namun, ada juga hasil prediksi lembaga survei yang error. Kandidat yang semula digadang-gadang bakal unggul ternyata kalah. Sebaliknya, ada kandidat yang disimpulkan kalah, ternyata menang. Benar-benar semarak.
Karena itu, tidak sedikit masyarakat yang justru dibuat bingung. Ujung-ujungnya, tidak lagi memercayai hasil-hasil survei begitu saja. Dalih kuat ketidakpercayaan adalah anggapan bahwa hasil survei tidak lebih sebagai pesanan pihak-pihak berkepentingan. Lembaga-lembaga survei tidak lagi berpihak pada kegiatan ilmiah, tapi lebih pada kepentingan pragmatis.
Kasus pilkada di Bojonegoro terang mengungkap, ada aliran dana dari APBD ke satu lembaga survei tertentu. Ironisnya, dana untuk membayar lembaga itu diduga berbau korupsi. Fakta tersebut seolah menjadi satu bukti, ada uang di balik survei.
***
Peluang merupakan dasar dari teori statistika. Sebuah konsep baru yang tidak dikenal dalam pemikiran Yunani Kuno, Romawi, bahkan Eropa dalam abad pertengahan. Teori mengenai kombinasi bilangan memang sudah terdapat dalam aljabar yang dikembangkan sarjana muslim. Namun, bukan merupakan pelengkap teori peluang. Begitu dasar-dasar peluang itu dirumuskan, dengan cepat bidang telaahan tersebut berkembang.
Sesuai khitah, sebetulnya statistika adalah sebuah jalan keluar. Statistika memberikan cara untuk dapat menarik kesimpulan yang bersifat umum, dengan jalan mengamati hanya sebagian dari populasi yang bersangkutan.
Untuk mengetahui tinggi rata-rata anak umur enam tahun di Indonesia misalnya, tidak perlu mengukur seluruhnya. Cukup hanya dengan jalan melakukan pengukuran terhadap sebagian anak saja. Begitu pula ketika statistika dipakai untuk menjajaki pilihan dalam pemilu.
Tentu penarikan kesimpulan yang berdasar contoh dari populasi tidak selalu akan seteliti kesimpulan yang ditarik berdasar sensus. Yakni, dengan jalan mengamati keseluruhan populasi. Namun, dalam penelaahan keilmuan yang bersifat pragmatis, arah teori keilmuan tidak ditujukan ke arah penguasaan pengetahuan yang bersifat absolut. Benar sebenar-benarnya atau teliti seteliti-telitinya. Asal penelaahan kegiatan kelimuan itu bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah, sudah cukup memenuhi syarat.
Dalam perkembangannya, statistika sering mendapatkan tempat kurang layak. Statistika sebagai suatu displin keilmuan kerap dikacaukan. Data-data yang dikumpulkan bersifat bimsalabim atau data sulapan.
Hasil kesimpulan pun menjadi kurang dapat dipercaya. Dan, hal itu jelas merupakan pengelabuhan seperti pernyataan Benjamin Disraeli. Bahwa, ada tiga jenis kedustaan. Yakni, dusta, dusta besar, dan statistik.
Secara implisit, Disraeli ingin mengungkapkan, statistika sebagai ilmu dan statistik sebagai ukuran bisa dipakai untuk berbohong atau membantu tindakan kebohongan. Statistika seperti pisau bermata dua. Bisa dipakai sebagai alat bantu menemukan jalan keluar, tapi sekaligus bisa menjadi alat bantu penipuan paling jahanam dan berbahaya.
Selama ini, kita sering melihat data statistik lebih sering ditampilkan secara sepotong-sepotong. Bahkan bisa jadi sengaja dikaburkan. Statistik dipakai sebagai alat membohongi masyarakat. Ujung-ujungnya, pelaku dan pemesan berharap mendapatkan keuntungan materiil maupun nonmateriil.
Sebuah contoh, lama kita dibohongi oleh kemajuan pembangunan dan kemakmuran lewat data-data statistika. Tingkat pengangguran dan angka kemiskinan yang menurun ternyata semu dan palsu.
Di panggung politik pun demikian. Berapa banyak orang atau lembaga ”melacurkan” statistika. Berdalih telah melakukan survei, lalu memprediksikan bahwa yang menang si Anu dan seterusnya, namun mereka tidak lebih sebagai makelar-makelar berkedok ilmuwan. Data-data statistika juga kerap menjadi bahan kampanye.
Namun, alih-alih memberikan pembelajaran dan pencerdasan kepada masyarakat, apa yang dilakukan itu hanya berharap keuntungan. Sayang, seperti dalam kasus money politics, money statistics juga sulit diendus. Kekecewaan terhadap money statistics tidak mudah ditindaklanjuti. Yang mungkin bisa dilakukan barangkali sanksi moral. Jangan begitu saja percaya.
Tentu, tidak semua begitu. Kita tetap meyakini, masih ada pihak-pihak yang menggunakan statistika sebagai alat bantu dalam menyampaikan kebenaran.
Statistika harus kembali ke khitah. Satistika harus mendapatkan tempat yang mulia, sejajar dengan matematika. Salah paham ini harus segera diakhiri agar siklus berpikir ilmiah dapat dilakukan dengan lengkap. Mereka yang berkecimpung dalam kegiatan ilmiah harus dibekali penguasaan statistika yang cukup. Tanpa menguasai statistika, tidak mungkin dapat menarik kesimpulan induktif yang benar-benar merupakan kesimpulan ilmiah yang sah.
Dengan memasyarakatkan berpikir ilmiah, mungkin tidak berlebihan apa yang dikatakan H.G. Well, suatu hari nanti berpikir statistik akan merupakan keharusan seperti juga membaca dan menulis. Bukannya seperti sajak yang dikemukan W.H. Auden yang menyampaikan sindiran menarik. ”Jangan duduk dengan seorang ahli statistika… Atau memercayai ilmu sosial.” (*)
M. Sholahuddin, wartawan Jawa Pos
Sumber: Jawa Pos, 17 Maret 2009