Semua orang telah mengetahui , bahwa saat ini cadangan minyak bumi Indonesia khususnya maupun dunia pada umumnya semakin menipis. Menurut hasil analisa para ahli, jika Indonesia tidak menemukan dan melakukan pengeboran-pengeboran ladang minyak baru, maka cadangan yang dimiliki sekarang ini hanya akan mampu bertahan sampai awal abad 21. Namun demikian tidak berarti Indonesia harus segera melakkan pencarian dan pengeboran lading-ladang minyak baru secara membabi-buta. Dalam melakukan pencarian dan pengeboran lading-ladang minyak baru tersebut harus mempertimbangkan juga pengaruhnya pada kelestarian lingkungan dan generasi yang akan datang.
Salah satu cara mengatasi dilema ini adalah harus mencari alternatif lain. Beberapa alternatif yang telah dikenal saat ini di antaranya: penggunaan kembali batubara sebagai pengganti minyak bumi, mengembangkan sumber energi baru seperti energi surya, angin dan nuklir, serta mengusahakan dan mengembangkan metoda pembuatan bahan bakar minyak secara sintetis.
Alternatif terakhir ini dipandang sebagai gagasan yang tidak berlebihan dan cukup menguntungkan karena jika metoda itu bisa diwujudkan dengun sukses, maka semua peralatan yang saat ini menggunakan bahan bakar minyak bumi sebagai sumber energi masih tetap dapat digunakan. Jadi tidak diperlukan modifikasi, perubahahan, maupun pembuatan system peralatan baru dalam menghadapi perubahan sumber energy dari bahan bakar minyak bumi ke bahan bakar minyak bumi sintetis tersebut. Dengan alas an itulah masa depan minyak bahan bakar sintetis menjadi remaking cerah sehingga membuka peluang yang besar untuk segera diwujudkan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Komposisi BBM
Jika ditinjau komposisi penyusunnya, bahan bahan bakar minyak bumi (BBM) sebagian besar terdiri dari senyawa hidrokarbon, dan senyawa lain dalam jumlah amat kecil. Jadi pokok persoalan yang dihadapi oleh alternative BBM sintetis adalah bagaimana cara membuat bahan bakar minyak bumi sintetls melalui pembuatan senyawa hidrokarbon. Senyawa hidrokarbon yang terkandung dalam BBM terdiri atas senyawa parafin, senyawa naften, dan senyawa aromatis, serta dalam hasil olahan sering dijumpai pula adanya senyawa olefin dandiolefin.
Senyawa paraffin adalah senyawa hidrokarbon jenuh dengan rumus umum CnH2n+2, untuk n berharga 1 sampai dengan 4 senyawa ini berbentuk gas pada temperatur kamar. Contoh produk senyawa itu adalah LNG dan LPG. Untuk n berharga 5 sampai dengan 15 senyawa itu berbentuk cair. Contoh produksinya adalah bensin, kerosin, dan lain-lain. Untuk n lebih besar dari 16, senyawa akan berbentuk padat. Contoh dari produksinya adalah lilin, malam parafin, dan aspal.
Senyawa hidrokarbon jenis kedua yang ada dalam bahan bakar minyak bumi adalah senyawa naften. Senyawa ini merupakan senyawa hidrokarbon jenuh yang berbentuk siklis dengan rumus umum CnH2n. Contoh senyawa naften yang sering dijumpai dalam minyak bumi adalah sikloheksana dan siklopentana.
Untuk senyawa hidrokarbon jenis ketiga, yaitu senyawa aromatis, adalah senyawa hidrokarbon tidak jenuh yang mempunyai bentuk rantai tertutup dan susunan elektronnya dapat mengalami delokalisasi. Contoh senyawa ini adalah bensena, penantrena,dan lain-lain. Sedangkan jenis senyawa yang lain yaitu olefin dam diolefin adalah senyawa-senyawa hidrokarbon tidak jenuh dengan bentuk rantai alifatis (terbuka). Senyawa-senyawa itu masing-masing memiliki rumus umum CnH2n dan CnH2n-2. Pada senyawa olefin terdapat sebuah ikatan rangkap dua sedang pada senyawa diolefin terdapat dua buah ikatan rangkap dua. Di samping senyawa-senyawa yang telab disebutkan tadi, di dalam bahan bakar minyuk bumi terkandung pula senyawa-senyawa lain seperti senyawa sulfur, oksigen, nitrogen, dan logam-logam berat yang ada dalam jumlah yang sangat kecil.
Proses pembuatan
Jika bahan bakar minyak bumi yang dibicarakan di sini dibatasi pada jenis bahan bakar yang tersusun atas senyawa –senyawa paraffin (hidrokarbon jenuh) seperti bensin, kerosin LPG, LNG dan lain-lainnya, maka untuk tujuan membuat senyawa-senyawa tersebut dapat digunakan suatu proses yang sat in sudah tersedia yaitu proses Fischer-Tropsch. Pada proses ini digunakan bahan dasar gas karbon monoksida (CO) dan gas hidrokarbon (H2). Dengan proses in senyawa paraffin dibuat dengan jalan mengalirkan campuran gas hidrogen dan karbon monoksida pada permukaan logam besi. Persamaan reaksinya dapat dituliskan seperti di bawah ini:
nCO +(2n+1)H2 —-> CnH2n+2+nH2O
Di samping logam besi dapat pula digunakan logam-logam lain seperti nikel, tungsten dan molybdenum. Namun penggunaan logam besi lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan penggunaan logam-logam lainnya tersebut, karena penggunaan besi reaksi dapat dijalankan pada temperature kamar dan efisiensi hasil yang diperoleh lebih besar.
Ada dua mekanisme reaksi yang dapat digunakan untuk menerangkan proses pembentukan hidrokarbon di atas. Mekanisme reaksi yang pertama melibatkan pembentukan gugus metil (-CH3) pada permukaan besi yang selanjutnya akan disusul oleh serangkaian pembentukan gugus metilen (-CH2) yang terangkai di antara gugus metal dan permukaan besi sehingga terbentuk suatu gugus alkil. Selanjutnya gugus alkil yang terbentuk dapat dibebaskan dari permukaan logam besi dalam tahap hidrogenasi. Pembentukan gugus metal boleh jadi disebabkan oleh reaksi antara atom-atom hidrogen yang teradsorb dan yang kemudian terurai di permukaan logam besi dengan molekul-molekul CO yang terikat pada permukaan logam yang sama. Sedang mekanisme reaksi yang kedua didasarkan atas data spektroskopi fotoelektron ultra-ungu dan sinar X. Menurut data itu gas CO yang terserap di permukaan logam besi akan terdisosiasi menjadi atom oksigen dan karbon. Selanjutnya atom-atom itu akan bereaksi dengan atom-atom hidrogen hasil disosiasi gas hidrogen pada permukaan logam yang sama. Reaksi atom hydrogen dengan atom karbon akan menghasilkan gugus-gugus CH atau CH2 yang akan mengalami polimerisasi membentuk senyawa hidrokarbon.
Dengan meninjau proses reaksi yang terjadi dalam proses Fischer-Tropsch tersebut maka dapat dikatakan bahwa sebenarnya proses pembentukan senyawa hidrokarbon adalah cukup sederhana. Namun demikian sampai sat in prose situ masih mengandung kelemahan yaitu selektifitas hasil yang diperoleh dari proses tersebut masih rendah. Jadi jika proses Fischer-Tropsch tersebut digunakan sebagai sarana utama dalam pembuatan senyawa hidrokarbon sebagai bahan bakar minyak, maka proses tersebut harus ditingkatkan selektifitasnya. Dengan selektifitas yang tinggi akan mempermudah orang dalam menetapkan hasil yang diinginkan. Sehingga dengan meningkatnya selektifitas hasil yang diperoleh, maka proses tersebut akan mampu bersaing dengan proses penyulingan minyak bumi saat ini. Apalagi dengan semakin menipisnya cadangan minyak bumi yang ada, maka tidak mustahil kalau nantinya proses Fischer-Tropsch atau pengembangan dari proses itu akan dapat menggantikan proses penyulingan minyak bumi dalam memenuhi kebutuhan bahan bakar minyak dunia.
Tentu saja senyawa hidrokarbon yang dihasilkan dari proses Fischer-Tropsch tidak secara langsung dapat digunakan sebagai bahan bakar. Untuk dapat digunakan sebagai bahan baka, tentunya ke dalam senyawa tersebut harus ditambahkan zat-zat aditif tertentu sehingga akhimya diperoleh suatu bahan dengan susunan sama seperti susunan bahan bakar minyak yang dikehendaki. Di samping itu ada sate hal yang sangat menarik dalam proses Fischer-Tropsch, yaitu digunakannya gas Karbon monoksida (CO) sebagai salah satu bahan dasar pembuatan bahan bakar minyak bumi sintetis.
Manfaat lain
Gas CO dikenal sebagai gas yang sangat beracun dan dapat terbentuk pada proses pembakaran minyak bumi. Biasanya semakin tinggi suhu pembakaran suatu bahan bakar minyak akan menghasilkan gas CO yang remaking banyak pula. Jadi gas CO yang selama ini dikenal sebaga gas pencemar yang membahayakan lingkungan ternyata dapat dimanfaatkan untuk bahan pembuatan bahan bakar minyak. Sehingga jika proses pembuatan bahan bakar minyak bumi sintetis ini dapat terwujud, maka kekhawatiran akan habisnya bahan bakar minyak bumi dan pencemaran lingkungan karena gas CO akan teratasi.
Sri Juari Santosa, staf Pengajar Jurusan Kimia FMIPA UGM
Sumber: Kompas, 4 November 1990