Catatan Iptek
Shaun Murphy adalah dokter muda yang sedang mengambil spesialisasi bedah. Ia penyandang autis dan sindrom savant, suatu kemampuan istimewa yang acap muncul pada seseorang dengan kelainan perkembangan saraf.
Sindrom savant bisa beragam. Ada yang menjadi sangat musikal seperti Mozart dan artistik seperti Michelangelo. Pada Murphy muncul kemampuan visualisasi dan memori luar biasa, yang membantunya memecahkan pelbagai masalah pasien.
Shaun Murphy bukan tokoh nyata. Ia tokoh rekaan dalam film seri “The Good Doctor”, yang kini menduduki peringkat pertama dalam jaringan siaran televisi dunia. Tentu ada banyak faktor yang membuat serial ini digemari: jalinan cerita yang membumi, karakter yang manusiawi, dan kasus-kasus yang menarik. Namun, lebih dari itu Shaun Murphy mewakili perjuangan penyandang autis—dengan keterbatasan komunikasi dan memahami perasaan orang lain—untuk membuktikan dirinya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Autisme merupakan gangguan perkembangan saraf yang berdampak pada kesulitan berkomunikasi dan berinteraksi sosial, dengan perilaku yang terbatas. Gejala autis biasanya muncul dalam tiga tahun pertama pasca-kelahiran. Semakin dini deteksi, semakin besar peluang meminimalkan dampak.
Deteksi dini autis biasanya melibatkan tim multidisiplin, ada dokter anak, dokter saraf, juga terapis okupasi. Sayang, sampai saat ini, belum ada metode tes biologi yang mudah dan murah. Oleh karena itu, hasil penelitian terbaru yang dipublikasikan di Molecular Autism Journal, disambut baik. Metode ini melihat kadar protein yang rusak dalam darah dan urin.
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO–Pembicara dalam Forum Diskusi Kesehatan dengan tema “Kenali dan Optimalkan Tumbuh Kembang Anak Autisme” (dari kiri ke kanan) Yulianty Sitompul (Penanggung Jawab Akademik Sekolah Khusus Individu Autisma Mandiga), Eva Suryani (Spesialis Kedokteran Jiwa), serta Melly Budhiman (Ketua Yayasan Autisma Indonesia) dengan moderator wartawan Kompas Evy Rachmawati (dua dari kanan) dan Tasya dari Radio Sonora (kanan) di Tanamera Cuisine, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, 3 Mei 2017. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) baru-baru ini menyatakan, 1 dari 160 anak di dunia mengalami gangguan spektrum autisma.
Dalam penelitian, anak-anak dengan rentang usia 5-12 tahun: 38 di antaranya autis dan 31 anak tanpa autis, diuji urin dan darahnya. Hasil penelitian menunjukkan, pada anak-anak dengan autis ditemukan kadar protein rusak yang tinggi, terutama di dalam plasma darah.
Menurut Dr Naila Rabbani dari Universitas Warwick yang diwawancarai BBC, ia ingin memperluas studi pada anak-anak dengan usia lebih dini, dua atau bahkan satu tahun, kemudian divalidasi dalam cohort yang lebih besar. Dengan demikian, metode pengujian ini semakin tajam untuk penapisan dan pada akhirnya anak-anak yang menunjukkan kecenderungan autis bisa segera diintervensi.
Mengenal autis
Tahun ini genap 75 tahun orang mengenal autis. Adalah psikiater Leo Kanner, yang mempublikasikan “Autistic Disturbances of Affective Contact” dalam Nervous Child 2, halaman 217-250, tahun 1943. Di tulisan ini, Kanner mendiskripsikan 11 anak-anak penyendiri yang menunjukkan kesamaan sifat: obsesif pada sesuatu secara intensif.
Pada tahun 1950-1960-an, autisme secara luas dikenal sebagai suatu bentuk skizofrenia pada masa kanak-kanak. Baru pada tahun 1970-an, autisme dipahami sebagai suatu disorder biologi pada perkembangan otak. Setelah itu berbagai metode dikembangkan, baik untuk mendeteksi autis maupun upaya meminimalkan dampak pada tumbuh kembang anak.
Sayangnya, sampai saat ini penyebab autis belum diketahui pasti. Dari berbagai kasus yang terjadi, 85 persen disebut autisme idiopatik karena tidak diketahui penyebabnya. Meski demikian, berbagai penelitian menunjukkan bahwa faktor genetik dan lingkungan berperan besar terhadap munculnya autis.
Meski berbagai kecenderungan menunjukkan anak yang autis meningkatkan risiko serupa pada saudaranya, gen yang spesifik sebagai penyebab autis belum dikenali dengan baik. Ada dugaan, beberapa gen yang bertanggung jawab pada perkembangan otak terganggu sehingga tidak sempurna saat menyusun otak.
Hal-hal lain yang dianggap bisa memicu autis adalah sejarah kesehatan keluarga, usia orangtua yang lebih tua saat konsepsi, polusi, infeksi, hingga komplikasi kehamilan dan kelahiran. Dalam hal ini, anak laki-laki berisiko terkena autis 4-5 kali lebih tinggi dibanding anak perempuan.
Di Inggris satu dari setiap 100 orang menyandang autis. Temuan penyandang autis terus meningkat, mungkin karena metode diagnosis yang semakin akurat. Kondisi di Indonesia tak jauh beda. Mengutip data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), prevalensi autis di Indonesia 8 dari 1.000 penduduk.
Dengan deteksi dini dan metode intervensi yang tepat, banyak penyandang autis berat paling tidak bisa mengurus diri sendiri, sementara penyandang ringan dan sedang bahkan sukses di masyarakat. Kuncinya memang bagaimana lingkungan menerima perbedaan para penyandang ini. Persis seperti yang diungkapkan Dr Aaron Glassman, Presiden Direktur RS St Bonaventure di San Jose, “Kita menerima Shaun dan kita memberi harapan pada mereka dengan keterbatasan.”–AGNES ARISTIARINI
Sumber: Kompas, 21 Februari 2018