Sekitar 60 sampai 80 persen sampah di laut Indonesia berasal dari daratan. Pengendalian sampah tersebut bisa ditangani dengan konsep agro-maritim. Solusi tersebut bisa terlaksana dengan adanya kolaborasi antarpihak, baik masyarakat sipil, akademisi, hingga pemerintah.
“Permasalahan sampah di laut tidak hanya berasal dari sampah anorganik atau yang sulit terurai, seperti plastik, tetapi juga sampai sampah organik. Sekitar 10 persen sampah organik yang diproduksi di daratan juga mengalir ke laut,”kata pengajar Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor (IPB) Zulhamsyah Imran, seusai Dialog Kelautan yang diselenggarakan Ikatan Sarjana Kelautan (Isla) Universitas Hasanuddin (Unhas) di Jakarta, Sabtu (15/12/2018).
Zulhamsyah menjelaskan, sampah dari daratan menemukan jalannya ke laut karena difasilitasi sungai-sungai. Akumulasi sampah ke wilayah perairan di laut merusak biota yang hidup di dalamnya. Kini banyak spesies laut mengonsumsi plastik, seperti plankton kecil, penyu, hingga paus raksasa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
ERIKA KURNIA UNTUK KOMPAS–Acara Dialog Kelautan bersama Ikatan Sarjana Kelautan (Isla) Universitas Hasanuddin (Unhas) di Jakarta, Sabtu (15/12/2018). Acara ini bertajuk “Pilpres 2019: Harapan Baru Kelautan Indonesia”.
Sampah organik, seperti pakan ternak, pupuk kandang, hingga limbah feses manusia, yang terbawa ke laut bisa mengancam dengan menyuburkan organisme tertentu di area sampah mengendap. Kondisi itu bisa membuat kebutuhan oksigen melebihi kadar oksigen yang bisa diproduksi di bawah air. Ikan-ikan, terutama yang dibudidayakan dalam tambak, dapat mati. Dalam hal pengendalian sampah, antara daratan dan lautan tidak bisa dipisahkan.
ERIKA KURNIA UNTUK KOMPAS–Pengajar Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor (IPB) Zulhamsyah Imran.
Pandangan tersebut menjadi salah satu langkah yang ditawarkan konsep Agro-Maritim 4.0 oleh IPB baru-baru ini. Konsep tersebut memandang, darat, laut, dan udara sebagai satu kesatuan yang melibatkan sistem sosial, ekonomi, ekologi kompleks. Dengan demikian, pendekatan dengan beragam disiplin, terpadu, dan partisipatif diperlukan.
Dijelaskan Zulhamsyah, dengan konsep tersebut, IPB terus melakukan pengkajian lingkungan, mengadakan kegiatan partisipatif untuk membersihkan sampah, hingga membuat konsorsium penyelamatan dan naturalisasi hulu sungai-sungai, seperti Ciliwung dan Cisadane, di Bogor, Jawa Barat.
“Salah satu upaya yang kami bisa kerjakan adalah mendukung upaya pengolahan sampah dan perbaikan daerah aliran sungai agar sampah yang terbawa ke laut berkurang,” tuturnya.
Langkah tersebut tidak hanya dikerjakan bersama masyarakat, tapi juga bersama pemerintah dengan membuat kebijakan ringkas (policy brief). Selain itu, kolaborasi dengan akademisi dari universitas lain juga dibutuhkan untuk menambah sumber daya keilmuan dan sumber fasilitas yang mendukung program-program tersebut. “Isu kepemimpinan kolaboratif sangat aktual saat ini,” ujarnya.
Hal yang sama juga diungkapkan pegiat sosial Andi Muhammad Jufri, yang juga berbicara dalam forum acara itu. Menurutnya, tipe kepemimpinan saat ini harus dilakukan dengan pendekatan kolaboratif dan terpadu.
“Terkait isu lingkungan, pihak yang punya visi biasanya hanya para aktivis atau pemerintah saja. Namun, saat ini, siapa pun pemimpinnya harus melibatkan partisipasi aktif masyarakat,” imbuhnya.
Pemerintah Indonesia menunjukkan komitmennya untuk mengelola sampah dan mengendalikan sampah laut. Di antaranya, Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis dan Perpres 83/2018 tentang Penanganan Sampah Laut sebagai komitmen (Kompas, 8/11/2018).
Saat ini, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pemerintah daerah, dan masyarakat sipil/LSM juga telah berkomitmen akan mempromosikan 40 langkah pemerintah daerah pada 2025 untuk berhenti menggunakan kantong plastik di pasar modern. (ERIKA KURNIA)–NASRULLAH NARA
Sumber: Kompas, 17 Desember 2018