“Trichinellosis” adalah makhluk berupa larva atau hewan dalam bentuk awal yang perkembangannya secara metamorfosis, yakni mengalami perubahan fisik atau struktur setelah kelahiran atau penetasan. Keberadaan larva itu tidak berefek ketika masih bersemayam dalam tubuh hewan, seperti babi, sapi, kuda, dan sejumlah hewan liar. Namun, larva “trichinellosis” bisa menjadi sumber penyakit yang menimbulkan gangguan pernapasan, pneumonia atau radang infeksi akut pada paru, hingga berujung kematian bagi manusia.
Keberadaan larva trichinellosis pada tubuh hewan beserta ancamannya itu merupakan hasil temuan ilmiah Andrijanto Hauferson Angi. Ia adalah dokter hewan yang pakar zoonosis diseases, yakni infeksi yang ditularkan hewan vertebrata-hewan bertulang punggung yang mudah digerakkan-kepada manusia atau sebaliknya. Hasil temuan melalui riset tahun 2013/2014 itu sudah dipublikasikan melalui jurnal internasional dan nasional yang direkomendasikan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Namun, pengukuhan hak paten atas temuannya tersebut masih harus menunggu proses karakterisasi yang dibutuhkan untuk penamaan spesies larva itu oleh penemunya.
“Berbagai pihak berkompeten dalam dan luar negeri sudah mengakui kalau saya adalah ilmuwan pertama di Indonesia sebagai penemu larva trichinellosis pada hewan beserta ancamannya terhadap kehidupan manusia. Penelitian saya sejak awal hanya fokus pada upaya menemukan jenis larvanya itu. Proses risetnya tanpa menyertakan tahapan karakterisasi untuk penamaan spesiesnya. Tahapan itu yang masih harus dilakukan,” ujar Andrijanto Hauferson Angi yang kini Ketua Program Studi Kesehatan Hewan Politani Negeri Kupang, Nusa Tenggara Timur, di Kupang, Selasa (3/11).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Diakui, tahapan karakterisasi larva trichinellosis khas Indonesia juga merupakan bagian dari riset yang harus dijalani. Waktu pelaksanaannya bisa singkat saja, tetapi biaya yang dibutuhkan tidak ringan, setidaknya mengacu kemampuan kocek sang ilmuwan yang adalah ayah dua anak itu.
“Khusus untuk tahapan karakterisasi itu membutuhkan biaya sekitar Rp 80 juta. Saya sedang berupaya sekuat tenaga bagaimana mendapatkan biaya sebanyak itu,” tutur suami dari Sri Purwanti itu.
Potensi ancaman
Andrijanto Hauferson Angi menyadari hasil temuannya berpotensi menjadi ancaman serius terhadap usaha kuliner dengan cita rasa khas NTT, yakni usaha masakan dengan menu utama se’i babi yang belakangan tumbuh marak di Kupang. Mulai tumbuh sejak lima-enam tahun lalu, usaha rumah makan se’i babi dalam perjalanannya seakan menjadi ikon Kota Kupang, bahkan NTT, yang mayoritas Kristen Katolik dan Protestan. Bagi pengunjung non-Muslim, mereka umumnya akrab dengan ungkapan, “Belum ke Kota Kupang tanpa menikmati gurihnya se’i babi!”
Se’i adalah untaian daging yang dimasak melalui proses pengasapan di atas arang kesambi (Schleichera oleosa), yakni jenis kayu yang sangat padat dan keras. Berbagai pihak mengakui, pengasapan daging bersumber dari arang kayu itu meninggalkan aroma khas yang membangkitkan selera makan.
Usaha kuliner se’i babi di Kota Kupang memang berkembang pesat. Kota yang kini berpenduduk sekitar 400.000 jiwa itu memiliki setidaknya lebih dari 20 rumah makan dengan menu utama se’i babi.
Andrijanto tidak menutup mata atas menjamurnya usaha kuliner khusus itu, terutama di Kota Kupang. Namun, sebagai ilmuwan, ia merasa berkewajiban memublikasikan hasil temuannya. Modelnya tentu saja disertai beberapa tawaran sebagai langkah antisipasi. Dengan demikian, diharapkan usaha kuliner khas tersebut tidak harus gulung tikar. Sementara manusia yang mengonsumsinya tidak harus menjadi korban akibat keganasan larva trichinellosis.
Apa yang mesti dilakukan agar usaha kuliner tersebut tetap terjaga keberlangsungannya dan pengunjung tetap tanpa rasa ragu mengonsumsi se’i babi kesukaannya?
Atas pertanyaan itu, Andrijanto menawarkan sejumlah langkah yang harus ditaati sebagai antisipasinya. Di antaranya lauk daging sebelum dihidangkan supaya dimasak hingga matang melalui proses pemanasan bersuhu minimal 71 derajat celsius.
Menurut catatannya, di berbagai rumah makan di Kota Kupang, daging se’i dihidangkan setelah dibakar atau diasapi di atas arang bersuhu sekitar 50 sampai 60 derajat celsius. Suhu proses pengasapan itu harus ditingkatkan sesuai dengan standarnya sehingga tidak menularkan larva trichinellosis kepada para konsumennya.
Saran lain, babi atau hewan lain yang dipotong harus dilengkapi sertifikat bebas penyakit. Sertifikat itu diterbitkan oleh laboratorium khusus dinas peternakan setempat. Agar tidak bertele-tele, penerbitan sertifikat harus oleh tim teknis khusus yang diketahui berkemampuan bekerja secara cepat.
“Juga harus gencar melakukan sosialisasi terkait ancaman penyakit yang bersumber dari penularan larva trichinellosis itu. Sosialisasi dimaksud harus dilakukan oleh berbagai pihak terkait, seperti dokter hewan, sarjana peternakan, dan petugas dari lembaga terkait lain,” ucap Andrijanto.
Larva trichinellosis berpotensi mengendap dalam tubuh berbagai jenis hewan, terutama babi, sapi, dan kuda. Namun, Andrijanto mengaku, secara kasatmata sulit memastikan hewan tertentu sedang dalam kondisi bebas atau mengidap larva trichinellosis. Alasannya, tampilan fisik hewan yang sedang mengidap larva itu sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda khusus. Apalagi keberadaan larva trichinellosis bukanlah sebagai penyakit ketika sedang bersemayam dalam tubuh hewan.
Temuan Andrijanto tentang keberadaan larva trichinellosis layak diapresiasi sekaligus diharapkan menginspirasi ilmuwan lain di NTT yang terkesan senyap terkait riset ilmiah. Bagi instansi terkait, diharapkan dapat membuat langkah antisipasi agar masyarakat terhindar dari bahaya.–FRANS SARONG
ANDRIJANTO HAUFERSON ANGI
LAHIR: Kota Kupang, NTT, 20 April 1972
ISTRI: Sri Purwanti Angi
ANAK: Luki Agusto Valentino dan Novira Yolanda Putri
PENDIDIKAN:
Dokter hewan dari Fakultas Kedokteran Hewan IPB (2000)
Magister Sains Program Studi Veteriner bidang Virologi dan Imunologi IPB (2008)
Doktor Bidang Kesehatan Masyarakat Veteriner bidang Epidemiologi dan Zoonosis Diseases IPB (2014)
PEKERJAAN:
Dosen Biologi dan Mikrobiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Undana, Kupang (2002)
Dosen Mikrobiologi dan Epidemiologi Stikes Nusantara, Kupang (2009-2011)
Kepala Klinik Hewan Politani Kupang (2004-2006)
Kepala Laboratorium Mikro dan Makro Politani Kupang (2008–2011)
Ketua Program Studi Kesehatan Hewan Politani Kupang (2015-sekarang)
————————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 10 November 2015, di halaman 16 dengan judul “Penemu Larva “Trichinellosis” di Indonesia”.