Hampir tiap hari Xylarium Bogoriense 1915 atau Perpustakaan Kayu di Bogor Jawa Barat menerima permintaan identifikasi kayu. Mulai dari bea cukai, penegak hukum, maupun industri perkayuan memohonkan jasa anatomis setempat. Dibutuhkan sedikitnya satu hingga dua pekan bagi anatomis setempat mengecek identifikasi kayu dengan163 ciri-ciri menurut standar International Association of Wood Anatomis atau IAWA.
Satu demi satu sampel yang dimohonkan itu diamati dan dibandingkan dengan koleksi yang tersimpan dalam xylarium. Keterbatasan ini yang menginspirasi peneliti di Litbang Hasil Hutan Badan Litbang dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk menciptakan alat yang mempermudah identifikasi. Sejak dua tahun lalu, Pusat Litbang Hasil Hutan bekerja sama dengan Pusat Penelitian Informatika Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia mengerjakan alat itu.
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Esa Prakasa, peneliti Pusat Penelitian Informatika Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Selasa (18/9/2018) di Bogor, Jawa Barat, menunjukkan hasil identifikasi jenis kayu dengan menggunakan ponsel pintar. Alat identifikasi ini hasil riset unggulan bersama antara LIPI dengan Badan Penelitian, Pengembangan, dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang dibiayai Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi. Alat Identifikasi Kayu Otomatis (AIKO) ini berbasis computer vision dengan memotret detil kayu hingga 10 x 3,5 kali menggunakan ponsel yang dibekali tambahan lensa (perbesaran 60x) sehingga menampakkan motif pori-pori kayu yang menjadi identitas kayu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Hasilnya, alat yang kini dinamai AIKO atau Alat Identifikasi Kayu Otomatis. Intinya hanya dengan memotret penampang kayu, ponsel yang terkoneksi internet tersebut dalam waktu hitungan detik akan memunculkan nama jenis kayu. Menurut rencana alat ini diluncurkan pada 23 September 2018 di Festival Kesatuan Pengelolaan Hutan di Yogyakarta yang dihadiri Presiden.
Ratih Damayanti, peneliti Pusat Litbang Hasil Hutan menjelaskan AIKO ini berbasis computer vision. Alat ini mengecek gambar penampang kayu yang dipotret untuk menyamakannya dengan gambar serupa yang tersimpan dalam cloud atau server.
Para peneliti memanfaatkan ciri-ciri khusus penampakan makroskopis berbagai jenis kayu. Ibarat sidik jari setiap orang berbeda-beda, demikian pula penampakan makroskopis berbeda pada setiap jenis kayu.
Penampang kayu difoto dengan menggunakan lensa perbesaran optik 16 kali dan perbesaran digital 3,5 kali. Lensa dengan perbesaran optik 60 kali dengan dilengkapi cahaya yang disematkan pada lensa ponsel ini diperjualbelikan secara umum. Di marketplace, harganya berkisar Rp 90.000.
Pada perbesaran yang ditambah perbesaran digital oleh kamera ponsel ini cukup untuk melihat lubang pori-pori pada penampang kayu. Bentuk atau susunan pori-pori ini yang menjadi pembeda tiap jenis kayu.
Data-data imagery kayu ini didapatkan dari perpustakaan kayu atau Xylarium Bogoriense yang mengoleksi 185.647 sampel kayu. Dari jumlah itu tercatat 3.667 spesies tumbuhan berkayu yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
Meski memiliki kekayaan data yang tinggi, hingga kini Pusat Litbang Hasil Hutan hanya menggunakan 186 kelompok jenis atau genus. Ini untuk mengakomodir kebutuhan pengelompokan kayu-kayu komersial dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 163/2003.
“Kami sudah input 1.044 jenis tapi belum kami keluarkan,” kata Ratih. Sekitar 5.904 citra foto-foto makroskopis penampang lintang 809 jenis kayu perdagangan Indonesia dari 1.044 jenis kayu dalam sistem Lisence Information Unit serta 186 genus kayu dalam SK 163/2003 telah mendapatkan hak cipta bernama Ligno-Indo yang datanya disimpan LIPI.
Esa Prakasa, peneliti Pusat Penelitian Informatika LIPI mengatakan semakin banyak data atau citra yang dikumpulkan, membuat identifikasi AIKO semakin akurat. Karena itulah, sejak sebulan terakhir, pengembangan alat ini didukung Menteri LHK yang memerintahkan gubernur untuk menggerakkan pelaku usaha kehutanan, pengelola kesatuan pengelolaan hutan, dan pemangku kepentingan setempat untuk menyuplai sampel kayu ke Pusat Litbang Hasil Hutan.
Pun dukungan datang dari Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendiidkan Tinggi dengan mengerahkan kampus-kampus yang memiliki fakultas atau program studi kehutanan untuk mengirimkan sampel kayu ke xylarium Bogoriense.
Sangat penting
Kepala Pusat Litbang Hasil Hutan Dwi Sudharto mengatakan hasil identifikasi jenis kayu ini sangat penting karena terkait tarif iuran sumber daya hutan, barang bukti di pengadilan, hingga dasar pengolahan kayu di industri. “Tidak ada toleransi kesalahan dalam mengidentifikasi kayu,” kata dia.
Aplikasi AIKO pun sangat informatif karena menunjukkan berbagai keterangan terkait kayu tersebut. Misal dari sisi nama lokal, nama latin, nama dagang, klasifikasi kayu, berat jenis, kelas kuat, kelas awet, dan potensi kegunaan. Informasi ini diharapkan dapat meningkatkan kinerja pelaku usaha dan industri perkayuan. Pelaku industri membutuhkan keakuratan jenis kayu agar proses produksinya lebih ekonomis dan tepat. Ini karena setiap kayu membutuhkan penanganan, perawatan, dan peruntukan masing-masing.
Selain itu, kata dia, identifikasi yang cepat dan akurat sangat diperlukan petugas bea dan cukai saat mencurigai kesesuaian dokumen pengiriman barang dengan jenis kayu pada produk. Alasan serupa juga diperlukan bagi penegak hukum untuk mengecek jenis kayu sebagai barang bukti di lapangan dan pengadilan.
Para peneliti telah membuat AIKO (sebelumnya bernama WoodID) menjadi lebih mudah. Pada tahun lalu, aplikasi ini hanya bisa dipakai dengan menggunakan komputer desktop. Kini, aplikasi sudah bisa disuntikkan dalam ponsel cerdas.
Dwi mengatakan pengembangan AIKO pun diprediksi meningkatkan pendapatan negara bukan pajak (PNBP). Selama ini, setiap sampel yang dimohonkan untuk identifikasi, Puslitbang Hasil Hutan memungut Rp 250.000 sebagai PNBP. Catatan dia, setiap tahun Pusat Litbang Hasil Hutan menyetor sekitar Rp 300 juta PNBP dari identifikasi kayu.
Pertimbangan PNBP ini yang sempat menjadi tantangan dalam pengembangan AIKO. Sempat dikhawatirkan, pengembangan AIKO akan menutup potensi PNBP. Ini yang membuat system AIKO diberi paywall. Artinya, pengguna dikenai tarif – yang masih belum ditentukan – tiap mengakses identifikasi kayu.
Meski demikian, Dwi mengibaratkan AIKO ini motor sepeda motor yang belum dilengkapi roda dan berbagai sarana pendukung. Ia belum bisa dipakai secara umum karena masih membutuhkan sentuhan lagi agar bisa diunggah di Playstore maupun IOS. Lagi-lagi, teknologi yang memudahkan dan aplikatif ini terkendala pembiayaan lanjutan.
“Kami masih mencari-cari siapa yang mau membiayai ini supaya bisa dipakai masyarakat luas,” kata Dwi.
Ia yakin apabila AIKO bisa dipakai secara luas maka akan ada 300 perusahaan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hutan tanaman Industri (HTI) serta 10.000 industri kayu besar dan kecil, 600 Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), 57 administratur Perhutani, sekitar 30 pelabuhan ekspor (bea cukai), 60 UPT BKSDA/Taman Nasional, polisi, ditjen gakkum sebagai pengguna AIKO. Ia mengalkulasi simulasi bila satu hari AIKO dipakai 500 kali dengan tarif Rp 100.000 per identifikasi, akan menghasilkan miliaran rupiah bagi PNBP.–ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 24 September 2018