Akibat Hukum Pencopotan Gelar Guru Besar atau Profesor

- Editor

Kamis, 10 Agustus 2023

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Pertanyaan
Seorang dosen bergelar guru besar atau profesor dicabut gelarnya oleh Mendikbudristek. Apa dasar hukum kewenangan atau alasan tertentu bagi Mendikbudristek mencabut gelar profesor?

Intisari Jawaban
Guru besar atau profesor termasuk dalam jenjang jabatan fungsional tertinggi bagi dosen atau jabatan akademik dosen. Patut Anda catat, usulan kenaikan jabatan dosen menjadi guru besar ini diajukan kepada Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, untuk kemudian diterbitkan surat keputusan. Lalu, apa alasan yang bisa mendasari pencopotan guru besar atau profesor? Apa konsekuensi hukumnya?

Ulasan Lengkap
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Pengajuan Usulan Guru Besar
Perlu diketahui sebelumnya, guru besar atau profesor termasuk dalam jenjang jabatan fungsional tertinggi bagi dosen atau jabatan akademik dosen.[1] Pangkat/golongan guru besar adalah pembina utama madya (IV-D) atau pembina utama (IV-E).[2]

Disarikan dari Jabatan Akademik Dosen yang dibuat oleh Imam Aschuri, syarat naik jabatan regular ke guru besar adalah antara lain sebagai berikut:

Ijazah harus S3/Doktor/setara;
Telah tiga tahun sejak S3/Doktor;
Minimal telah dua tahun dalam jabatan terakhir (lektor kepala);
Minimal 10 tahun pengalaman kerja sejak dosen tetap;
Menjadi penulis pertama dalam karya ilmiah pada jurnal internasional;
Mencapai angka kredit yang dipersyaratkan;
Persetujuan senat universitas;
Mempunyai sertifikat pendidik.

Sebagai informasi tambahan, gelar profesor atau guru besar ini diperoleh dari pengajuan usulan kenaikan jabatan ke Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi yang mana paling lambat diajukan dalam kurun waktu satu tahun sebelum dosen pengusul mencapai batas usia pensiun. Hal ini tertuang dalam SE Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi No. 166/E.E4/K8/2020. Setelahnya, akan diterbitkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi tentang kenaikan jabatan akademik dosen.

Hukuman Disiplin Berat PNS dan Pencopotan Guru Besar
Kemudian untuk menyederhanakan jawaban, kami mengasumsikan dosen yang Anda sebut dalam pertanyaan berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil (“PNS”). Sehingga dosen PNS tersebut tunduk pada PP Disiplin PNS.

Selanjutnya kami mengasumsikan pencopotan gelar profesor tersebut merupakan akibat dari jenis hukuman disiplin berat, yang mana terdiri atas:[3]

penurunan jabatan setingkat lebih rendah selama 12 bulan;
pembebasan dari jabatannya menjadi jabatan pelaksana selama 12 bulan; dan
pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS.

Adapun pejabat yang berwenang menghukum antara lain adalah presiden, pejabat pembina kepegawaian, pejabat pimpinan tinggi madya atau pejabat lain yang setara, pejabat pimpinan tinggi pratama atau pejabat lain yang setara.[4]

Oleh karena itu, kami mengasumsikan pejabat pembina kepegawaian instansi pusat yang dalam hal ini Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi berwenang menetapkan penjatuhan hukuman disiplin bagi pejabat pimpinan tinggi madya, pejabat pimpinan tinggi pratama, dan pejabat fungsional jenjang ahli utama di lingkungannya,[5] yang dalam hal ini guru besar dengan golongan pembina utama madya (IV-D) atau pembina utama (IV-E).

Dikarenakan guru besar atau profesor telah dikenakan hukuman disiplin berat, yang mana kami asumsikan dikenai pembebasan dari jabatannya menjadi jabatan pelaksana selama 12 bulan, hal ini berakibat pada pencopotan gelar guru besar atau profesor yang merupakan kewenangan dari Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.

Dengan demikian, yang bersangkutan tidak lagi merupakan guru besar dan tidak menduduki jabatan fungsional atau jabatan akademik dosen. Sehingga, menurut hemat kami, yang bersangkutan kini menduduki jabatan administrasi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 13 huruf a UU ASN.

Namun hal lain yang perlu diperhatikan adalah terkait batas usia pensiun. Untuk batas usia pensiun bagi pejabat administrasi adalah 58 tahun.[6] Ini berbeda dengan batas usia pensiun dosen adalah 65 tahun, sedangkan bagi profesor yang berprestasi dapat diperpanjang hingga batas usia pensiun 70 tahun.[7] Maka apabila yang bersangkutan telah melebihi usia 58 tahun, otomatis ia telah memasuki usia pensiun.

Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen;
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara;
Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil;
Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Refomasi Birokrasi Nomor 17 Tahun 2013 tentang Jabatan Fungsional Dosen dan Angka Kreditnya;
Surat Edaran Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Nomor 166/E.E4/K8/2020.

Referensi:
Jabatan Akademik Dosen, yang diakses pada 20 Juli 2023, pukul 09.00 WIB.
[1] Pasal 1 angka 3 dan Pasal 48 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (“UU 14/2005”)
[2] Pasal 6 ayat (3) huruf d Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Refomasi Birokrasi Nomor 17 Tahun 2013 tentang Jabatan Fungsional Dosen dan Angka Kreditnya
[3] Pasal 8 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (“PP Disiplin PNS”)
[4] Pasal 16 PP Disiplin PNS
[5] Pasal 18 ayat (1) dan (2) PP Disiplin PNS
[6] Pasal 90 huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara
[7] Pasal 67 ayat (4) dan (5) UU 14/2005

Bernadetha Aurelia Oktavira, S.H.

Sumber: hukumonline.com, Kamis, 20 Juli 2023

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten
Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker
Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat
Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel
Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina
Soal Polemik Publikasi Ilmiah, Kumba Digdowiseiso Minta Semua Pihak Objektif
Berita ini 33 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 24 April 2024 - 16:13 WIB

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 April 2024 - 13:24 WIB

Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten

Rabu, 24 April 2024 - 13:20 WIB

Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker

Rabu, 24 April 2024 - 13:11 WIB

Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat

Rabu, 24 April 2024 - 13:06 WIB

Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB