Akhmad Sabarudin, Jejak Maut pada Gen

- Editor

Kamis, 29 November 2018

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Dia mengembangkan teknik deteksi dini kanker lewat analisis DNA.

Akhmad Sabarudin, 45 tahun, adalah ahli kimia yang tengah mencari cara untuk “mengalahkan” kanker dan penyakit berbahaya lainnya. Saat ini ia meneliti metode deteksi cikalbakal kanker. “Deteksi dini sangat penting sebagai upaya awal penanganan penyakit,” kata dosen Universitas Brawijaya, Malang, itu kepada Tempo ketika ditemui di kantornya, dua pekan lalu.

Tapi jangan salah sangka. Yang dimaksudkan oleh Sabarudin bukanlah diagnosis biasa yang menggunakan uji darah, foto x-ray, atau pemindai magnetik/ MRI, melainkan dengan menelusuri kejanggalan pada rantai deoxyribonucleic acid (DNA). “Deteksi DNA Termetilasi dan Single Nucleotide Polymorphism (SNP) Berbasis Polimer Organik Monolith untuk Deteksi Dini Kanker Secara Cepat dan Akurat”, demikian topik penelitian yang ia lakukan bersama tiga peneliti lain.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

SNP secara natural terdapat dalam rantai DNA manusia dan telah lama dipakai para ilmuwan sebagai penanda biologis. Materi genetik ini diyakini bisa menunjukkan letak gen yang terkait dengan penyakit tertentu. Demikian pula keberadaan DNA termetilasi, menurut Sabarudin, biasanya berkaitan erat dengan penyakit genetik, seperti tumor ataupun berbagai jenis kanker.

Karena itu, doktor lulusan Okayama University, Jepang, ini optimistis deteksi terhadap pola SNP dan metilasi DNA akan membantu menguak cikal-bakal kanker dan penyakit berbahaya lain, seperti lepra, hepatitis, autoimun, neuropsikiatri, sickle-cell anemia, dan fibrosis kistik.

Sabarudin menceritakan, dalam penelitian ini mereka mengembangkan teknik pemisahan serta deteksi DNA termetilasi dan SNP yang cepat, akurat, dan dengan efisiensi tinggi. Menurut dia, teknik pemisahan serta deteksi cepat penting untuk menghindarkan dampak negatif terhadap pasien yang timbul di kemudian hari.

Sabarudin telah memulai penelitian deteksi DNA termetilasi sejak 2010, ketika menempuh pendidikan pasca-doktoral di Universitas Nagoya, Jepang, dengan beasiswa dari Japan Society for the Promotion of Science. Belakangan, riset tersebut ia lanjutkan dengan bantuan tiga peneliti lain, di antaranya berasal dari Tokyo University of Pharmacy and Life Sciences.

Pengembangan teknologi diagnostik untuk keperluan kesehatan, menurut Sabarudin, sangat penting bagi Indonesia. “Sebaran penduduk yang luas harus diikutidenganpengembangan teknologi diagnostik untuk mencukupi kebutuhan yang terus meningkat,” katanya.

Sebetulnya Sabarudin ditawari meneruskan risetnya di Jepang, dengan gaji sekitar Rp 40 juta per bulan sebagai peneliti. Tapi dia memilih pulang ke Indonesia dan mengembangkan penelitiannya di sini. “Karena saya tidak bisa sendirian menelitinya, saya melibatkan tiga orang dan saya jadi kepala timnya,” kata dia.

Meski telah kembali bekerja di Tanah Air, jaringan penelitian Sabarudin dengan ahli lain di luar masih terjaga baik. Saat ini, sambil meneliti deteksi DNA termetilasi, Sabarudin terlibat penelitian lain bekerja sama dengan Universitas Gifu dan Tokyo University of Pharmacy and Life Sciences—keduanya di Jepang.

Sumber: Koran Tempo, KAMIS, 16 AGUSTUS 2018

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten
Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker
Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat
Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel
Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina
Soal Polemik Publikasi Ilmiah, Kumba Digdowiseiso Minta Semua Pihak Objektif
Berita ini 115 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 24 April 2024 - 16:13 WIB

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 April 2024 - 13:24 WIB

Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten

Rabu, 24 April 2024 - 13:20 WIB

Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker

Rabu, 24 April 2024 - 13:11 WIB

Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat

Rabu, 24 April 2024 - 13:06 WIB

Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB