GELAK tawa membahana di auditorium Gedung IMERI Fakultas Kedukteran Universitas Indonesia (FKUl). Jalan Salemba Jakarta Pusat. Hari itu FKUI merayakan ulang tahun salah seorang profesor kebanggaan mereka Padmosantjojo.
Perayaan pada 6 Februari lalu itu berlangsung gayeng. Para tamu yang kebanyakan adalah anak didik Padmosantjojo, tak canggung menanyakan banyak hal. Dari urusan kedokteran, keluarga, sampai hobinya. Berkali-kali, pria yang akrab disapa Padmo itu berhasil membuat mereka ger-geran. “Saya ini dari kecil memang tukang jalan, dari umur empat tahun di Surabaya sudah bisa jalan ke kebun binatang, museum, naik trem listrik sendiri. Padahal naik tangga saja belum bisa,” ujarnya.
Di usia 80, Padmo masih ingat detail kejadian-kejadian, bahkan kenakalannya di masa bocah. Ia juga masih aktif. Seusai acara ulang tahun itu, ia masih ngantor sepekan sekali di FKUI. ”Kadang masih ada pasien, tapi sekarang saya pilah-pilih, hanya mau menerima pasien lama,” katanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Padmo adalah dokter yang paling disorot saat operasi Pristian Yuliana dan Pristian Yuliani bayi kembar siam dempet kepala vertikal (kraniopagus), 30 tahun lalu. Sebagai ketua tim bedah, ia bertugas memisahkan kepala dua bayi tersebut dan memimpin jalannya operasi.
Padmo dan anggota timnya yang berjumlah 98 orang memisahkan YulianaYuliani pada 21 Oktober 1987, saat keduanya berusia 2 bulan 21 hari. Selama 13 jam, mereka berjibaku, menyayat kulit kepala, mengebor dan mengerat tengkorak berikut selaput otak di baliknya milimeter demi milimeter, lalu menutupinya dengan tulang penutup kepala tiruan dari semen tulang.
Gaung keberhasilan operasi itu terdengar sampai ke telinga para dokter bedah anak dunia. Dipimpin Profesor Mario Brock dari Berlin, Jerman, bersama Profesor Becks-guru Padmo saat berkuliah di Rijks Universiteit, Groningen, Belanda– para dokter bedah itu datang ke Jakarta. Bersama Menteri Pendidikan Belanda, Wilem Joost Deetman, mereka meminta Padmo memutar ulang rekaman operasi dan menjelaskan strateginya.
Padmo memutarkan videonya di FKUI.”Mereka kaget. ‘Lho, kok bisa kamu ya, padahal tidak ada alat-alat yang baik,” ujarnya. Ia kemudian mempresentasikan prinsip pembedahan tersebut dalam pertemuan ahli bedah saraf dunia di Marrakesh, Maroko, pada 2005.
Beberapa hari setelah para dokter dari luar negeri itu pulang ke negara masing-masing, Padmo dipanggil oleh Menteri Pendidikan Fuad Hassan. Fuad memberi surat penghargaan. Beberapa bulan setelahnya, Padmo diangkat menjadi guru besar tetap FKUI.
Iskandar Wahidiyat, yang menjadi Kepala Bagian Kesehatan Anak kala itu, mengatakan Yuliana-Yuliani pertama kali ditangani di bagiannya. Ia meminta mereka dioperasi secepatnya. ”Waktu itu ada tiga dokter spesialis bedah saraf di Rumah Sakit Cipto, saya memilih Padmo karena yakin dia mampu,” kata guru besar ilmu kesehatan anak FKUI ini, Kamis pekan lalu.
Selain Padmo, ada dokter spesialis bedah saraf Hilman Mahyuddin dan Lucas B. Atmadji, dua yunior Padmo yang juga ikut dalam tim operasi. Hilman mengingat, karena keberhasilan mereka, ucapan selamat berdatangan dari berbagai penjuru dunia sampai dua bulan lamanya. Mereka menjadi satu- satunya tim yang berhasil mengoperasi bayi kembar siam kraniopagus. Tak jauh dari waktu operasi Yuliana-Yuliani, dokter di Amerika Serikat gagal mengoperasi bayi dari Jerman. ”Di Jerman tak bisa mengoperasi, lalu dibawa ke Amerika, tapi mereka meninggal juga,” katanya Kamis pekan lalu.
Padmo adalah dokter spesialis bedah saraf keempat di Tanah Air. la mulai belajar bedah saraf pada 1963, mengikuti jejak Profesor S.K. Handoyo, Profesor Soewadji, dan Profesor Basoeki. Dua nama pertama adalah gurunya.
Padmo, yang lahir pada 26 Februari 1938, bercita-cita menjadi ahli bedah sejak kecil. Namun, di tengah perjalanan, ia juga ingin menjadi ahli saraf. Keinginannya tak lepas dari cacat di wajahnya. Ketika berusia enam bulan, anak ke-13 dari 17 bersaudara ini menderita infeksi jamur di daerah telinga dan wajah bagian kanan. Serangan jamur itu menyebabkan mukanya menjadi miring dan otot-otot wajah sebelah kanan lumpuh atau disebut merot dalam bahasa Jawa. Jika didiagnosis sekarang, cacat ini disebut kelumpuhan saraf otak VII, type perifere. ”Daripada saya bingung, saya gabungkan keduanya, ahli bedah dan ahli saraf,” ujarnya.
Dengan menjadi dokter bedah saraf, kata dia, juga akan bisa lebih banyak menolong orang. Sebab, tak semua penyakit yang berhubungan dengan saraf bisa diobati oleh dokter saraf. Misalnya, tumor atau perdarahan otak yang tetap harus dibedah oleh dokter bedah saraf. ”Malah saya bisa menolong pasien saraf dengan tuntas,” ucapnya.
Namun, saat Padmo menyampaikan keinginan ini, Profesor Soewadji yang mewawancarainya malah mengisyaratkan agar ia mundur. Kepala Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo waktu itu pun menyarankan agar Padmo berpikir ulang. ”Man bunuh diri kamu, Padmo?” ujarnya menirukan ucapan kepala rumah sakit tersebut.
Menjadi dokter spesialis bedah saraf bukan pilihan yang umum kala itu. Selain masa sekolahnya lebih lama dibanding spesialisasi lain, peralatan untuk operasi masih minim. Operasinya lebih sulit dan dokter spesialis bedah saraf tak menghasilkan uang. Keadaan ekonomi Indonesia waktu itu, kata Padmo, masih sulit. Setelah dibedah, pasien butuh perawatan panjang yang tentu mengeluarkan biaya yang tak murah. Kepada dokter, mereka selalu berkata sudah tak memiliki uang lagi. ”Bayarannya 2M: Matur suwun, Mas,” tuturnya.
Namun Padmo tak peduli. Ia tetap bertekad masuk ke jalur itu. la menyusun rencana hidupnya dengan matang. Untuk urusan ekonomi, misalnya, ia berniat mengandalkan pasangannya. la mencari wanita yang mangerti perjuangan bedah saraf lndonesia dan berpenghasilan cukup untuk membiayai keluarga. Pencarian pasangan itu mulai dilakukan saat Padmo melanjutkan studi di Belanda ”Bedah saraf itu saya anggap saja hobi, istri yang cari uang supaya saya bisa hidup dan makan enak.”
Bertemulah ia dengan Thea Tarek, gadis asal Sulawesi Utara lulusan Fakultas Administrasi Bisnis Universitas McGill, Kanada, yang kemudian dinikahinya. Sajak awal, Padmo mengatakan tak bisa menjamin kehidupan mereka setiba di lndonesia. ”Tapi saya kira karena dia dokter, kaml tak akan hidup melarat,” kata Thea.
Nyatanya perkiraan Thea salah. Setahun setelah mereka tiba di Jakarta, Padmo yang bekerja di RSCM tak mendapatkan gaji selama setahun gara-gara masalah administrasi. Beruntung, Thea yang bekerja di perusahaan Jerman bergaji berlipat-lipat dibanding Padmo sehingga mereka tetap bisa makan enak. ”Gajinya cukup untuk hidup berdua, bahkan berlima,” ucapnya.
Padmo seolah-olah tak peduli urusan uang. Menurut Hilman, muridnya yang paling senior, gurunya itu tak pemah meminta bayaran dari pasien. Kebiasaan ini ditiru oleh para muridnya, termasuk Hilman. Tapi belakangan, sekitar tahun 200-an, kepada mereka, Padmo mengatakan perilaku ini salah. ”Karena setelah pensiun, kami tak punya apa-apa,” ujar guru besar tetap FKUI ini.
Meski mengatakan kepada anak didiknya bahwa cara mereka salah, Padmo masih mempraktikkannya. Menurut Hilman, yang ruang kerjanya persis berada di seberang ruangan Padmo, kebiasaan itu dilakukan sampai sekarang. ”Dari saya masuk sampai sekarang yang konsultasi ke Prof Padmo tak ditarik bayaran,” katanya.
Keluarga Padmo bahkan menyekolahkan Yuliana dan Yuliani sampai perguruan tinggi. Yuliana kini sedang menempuh program doktor ilmu nutrisi dan teknologi di Institut Pertanian Bogor, sedangkan Yuliani bekerja sebagai dokter umum di Padang. ”Semoga nanti saya bisa mengambil spesialisasi bedah saraf seperti Pakde (panggilan mereka kepada Padmo),” ujar Yuliani.– NUR ALFIYAH
Sumber: Majalah Tempo, 15 April 2018