Pengetahuan Adim (54) tentang energi listrik tak banyak. Dia bahkan tak tamat sekolah dasar. Namun, kemampuannya ampuh memberikan terang bagi orang-orang di sekitarnya.
Matahari belum tenggelam, kaki-kaki kokoh Adim tangguh menapaki tanjakan dan turunan di Desa Citengah, Sumedang Selatan, Jawa Barat, Kamis (8/8/2019) lalu. Berjalan di antara hijau kebun teh, ia ditemani sahabatnya, Alit (35), hendak menuju hulu Sungai Cisoka. Di sana, ada kincir air miliknya yang ia buat sendiri 16 tahun lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/ SAMUEL OKTORA–Adim, perintis dan pembuat kincir air untuk pembangkit listrik di Dusun Cisoka, Desa Citengah, Kecamatan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Kamis (8/8/2019).
”Sesuai perkiraan. Bukan karena kincir kayu dan dinamo yang rusak, tapi karena debit air berkurang karena kemarau. Ini yang membuat pasokan listrik ke rumah berkurang. Biasanya bisa empat lampu sekarang hanya satu,” katanya.
Hingga tahun 1985, Cisoka tidak berpenghuni. Kedatangan Adim dan kawan-kawannya membuat dataran tinggi kaki Gunung Buligir itu dihuni manusia. Datang dari Kabupaten Bandung, Garut, dan Cianjur, mereka bekerja di kebun teh yang baru dibuka. Dari hanya segelintir orang, mereka beranak pinak. Kini ada 74 orang yang tinggal di Cisoka.
Sebagai pionir, keterbatasan jadi kudapan. Mulai dari membangun rumah, akses air bersih, hingga listrik. Masalah listrik jadi yang paling pelik. Tak bisa diambil begitu saja dari alam, mereka bertahun-tahun mengandalkan lampu minyak tanah sebagai sumber penerangan.
Jengah dengan kondisi itu, Adim maju menawarkan solusi. Pernah membuat kincir air untuk membangkitkan listrik saat tinggal di Cisewu, Garut, ia menerapkannya di Cisoka. Adim mencobanya untuk rumahnya sendiri. Ia menggunakan kayu puspa (Schima wallichii) yang relatif tahan terhadap air, dinamo bekas sepeda motor, dan kabel telepon untuk membawa listrik ke rumahnya.
”Potensinya menjanjikan. Tiga sungai melintasi dusun ini, yakni Sungai Cisoka, Ciburulung, dan Sungai Marencak. Sumber airnya dari mata air Cipaku dan Sabeulit,” katanya.
KOMPAS/ SAMUEL OKTORA–Adim (belakang) dan Alit (depan) sedang berjalan menyusuri kebun teh, yang juga terpasang kabel telepon untuk menghantarkan daya listrik dari lokasi kincir air ke rumah warga di Dusun Cisoka, Desa Citengah, Kecamatan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Kamis (8/8/2019). Sejak tahun 1985-an sampai kini, warga Dusun Cisoka, untuk mendapat listrik, mengupayakan secara mandiri dari kincir air. Di dusun ini tidak terdapat jaringan listrik negara.
Sistem pembangkit listriknya sederhana, yakni kincir air berdiamater 40 sentimeter. Untuk memaksimalkan putaran air, kincir itu diletakkan di dalam kotak kayu.
Dari kincir, ia lantas memasang karet pemutar dari ban truk yang disambungkan ke dinamo sepeda motor. Dari sana listrik dihasilkan. Dia juga membuat kanal air menggunakan paralon ukuran 3-4 inci agar arus airnya kencang.
Terobosan Adim tak sia-sia. Listrik akhirnya masuk ke rumahnya. Langkah Adim pun kemudian diikuti warga Cisoka yang lain. Satu demi satu mereka juga membuat kincir air. Dari 19 rumah yang ada, kini sudah ada 12 kincir yang dibuat.
Adim mengatakan, tidak semua warga membuat kincir karena harganya juga lumayan besar. Untuk satu kincir dengan segala komponen, plus kabel telepon bekas itu, harganya Rp 2,5 juta-Rp 3 juta. Harga dinamo yang paling mahal kalau baru sekitar Rp 1 juta.
”Ada warga yang listriknya menumpang dari mereka yang mempunyai kincir. Sama sama membantu,” ujar Adim, yang juga membuat kincir air untuk warga dusun tetangga.
Saat membantu, ia tak pernah meminta imbalan rupiah. Uri Suhri (68), warga yang tinggal di kawasan Margawindu, dusun tetangga, merasakan keahlian Adim sejak 2006. Uri mempunyai enam saung dan satu warung makan yang dibuat tahun 2002. Namun, pengunjung yang ingin berwisata ke kebun teh dan air terjun tak dapat datang malam hari karena dalam kondisi gelap gulita. ”Dengan adanya kincir ini, jadi ada penerangan di saung saya. Kalau lewat jalan sini malam hari tidak gelap lagi,” ucap Uri.
Ida Suparman (60), warga Cisoka lainnya, juga membuat kincir air tahun 2005. Dia memutuskan membuat kincir karena listrik sangat dibutuhkan untuk anak-anaknya belajar.
Ida punya tiga anak, dua di antaranya lulus SMA, dan yang bungsu kini masih menempuh pendidikan di Pesantren Baitul Arqom, Malajalaya, Kabupaten Bandung. ”Manfaatnya besar sekali dengan adanya listrik. Anak-anak saya tak kesulitan untuk belajar,” kata Ida.
Walakin, listrik yang dihasilkan dari kincir air itu tak sepenuhnya stabil. Misalnya, seperti saat ini, dari 12 kincir di Cisoka, hanya enam kincir, yakni milik Adim, Alit, Dedi, Rian, Ida Suparman, dan Asep, yang berfungsi. Enam kincir lainnya tak berfungsi baik karena kurang mendapat dorongan kuat arus air.
Warisan
Bila itu terjadi, warga terpaksa menggunakan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) sumbangan donatur tahun 2004. Namun, kebayakan aki PLTS ini sudah rusak setelah pemakaian masa enam tahun. Sementara harga aki PLTS ini relatif mahal bagi warga Cisoka, yakni sekitar Rp 800.000.
Sejumlah warga pun memanfaatkan aki sepeda motor atau mobil. Namun, dengan aki sepeda motor ini daya yang dihasilkan tidak terlalu besar sehingga mereka terbatas hanya dapat menyalakan satu atau dua lampu.
Semua urusan perbaikan dan pembuatan kincir diwariskan pada Alit. Adim tak ingin pengetahuan pembuatan kincir hanya berhenti padanya. Alit menerima kepercayaan itu dengan bahagia. Ia mulai mengambil peran dalam setiap hal tentang kincir air.
Akan tetapi, Adim sangat berharap listrik negara segera masuk ke kampungnya. Tak perlu lagi ada kincir air bila tiang listrik sudah mengantarkan terang bagi dia dan warga kampung.
Adim
Lahir: Garut, 1 Januari 1965
Pendidikan: Sekolah dasar Cisewu Garut (tidak Lulus)
SAMUEL OKTORA
Sumber: Kompas, 16 Agustus 2019