Orang Bajo selama lebih dari 1.000 tahun dikenal sebagai pengelana lautan. Mereka tinggal di atas kapal, lahir, tumbuh, bekerja, menikah, hingga meninggal di laut.
Hal yang sejak lama menimbulkan kekaguman terhadap masyarakat Bajo adalah kemampuan menyelam sampai kedalaman 70 meter dan bertahan sampai 5 menit tanpa alat bantu pernapasan, hanya berbekal pemberat agar tak mengapung dan ”kacamata” kaca berbingkai kayu. Mereka menghabiskan 60 persen aktivitas kerja rata-rata 8 jam sehari di laut menangkap ikan, kulit penyu, dan terumbu karang yang dijadikan perhiasan.
Apa yang membuat orang Bajo bisa bertahan lama di bawah laut menarik perhatian Melissa A Ilardo, saat ini peserta program pascadoktoral di University of Utah di Salt Lake City, Amerika Serikat, saat ia meneliti terumbu karang di Asia Tenggara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut Ilardo, masyarakat Bajo yang hidupnya bergantung pada kegiatan menyelam memperlihatkan sistem adaptasi fisiologis terhadap kondisi lingkungan yang baru. Beberapa riset sebelumnya ditujukan pada kemampuan beradaptasi terhadap kondisi kurang oksigen di daerah ketinggian.
Hasil riset Ilardo dan teman-teman diterbitkan di jurnal Cell pekan lalu. Kesimpulannya, masyarakat Bajo berevolusi karena cara hidupnya sehingga memiliki ukuran limpa lebih besar dari rata-rata orang biasa. Ukuran limpa yang lebih besar memberi kemampuan pasokan oksigen darah lebih besar saat limpa berkontraksi.
Mamalia, termasuk manusia, memiliki ”respons menyelam” yang dirangsang kondisi tak bernapas beberapa saat dan saat wajah berada dalam air dingin. Efek fisiologis respons ini, antara lain, menurunkan konsumsi oksigen, pendistribusian aliran darah ke organ paling sensitif pada kondisi kurang oksigen, dan kontraksi otot limpa yang lalu mengirim sel-sel darah merah kaya oksigen ke dalam sistem sirkulasi darah.
KOMPAS/ARBAIN RAMBEY–Desa Bajo di Wangi-wangi, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, adalah desa air karena hampir semua rumah terletak di atas air. Dengan kondisi ini, beberapa penjual makanan pun menjajakan dagangannya dengan perahu. Foto diambil 2 September 2015.
Hubungan kontraksi limpa dan ketahanan lama menyelam pertama kali dihipotesiskan tahun 1990 dalam riset pada orang Ama di Jepang yang bekerja sebagai penyelam mutiara laut. Riset lain terhadap anjing laut mengungkap relasi positif kemampuan menyelam maksimum dan ukuran limpa, mengindikasikan ada relasi ukuran limpa dan kemampuan lama menyelam. Namun, riset pada relasi keduanya belum pernah dilakukan di tingkat genetika.
Adaptasi genetika
Ilardo memakai dua pendekatan untuk memastikan ada potensi adaptasi genetika pada masyarakat Bajo. Awalnya Ilardo dkk memastikan secara fisiologis ukuran limpa orang Bajo memang lebih besar dengan membandingkan limpa orang Bajo dan warga Saluan.
Ada 59 orang Bajo dan 34 orang Saluan dari dua desa tepi pantai, yakni Jaya Bakti dan Koyoan di Sulawesi Tengah, yang berjarak 25 kilometer, ikut dalam riset. Dari sampel itu, 16 orang Bajo dan satu orang Saluan dikeluarkan dari analisis riset karena punya relasi dekat genetika dan basis komunitas.
Dari pemeriksaan ultrasonografi, ukuran limpa orang Bajo 50 persen lebih besar dari limpa orang Saluan meski tak tampak perbedaan antara orang Bajo yang penyelam dan bukan penyelam. Jadi perbedaan itu disebabkan faktor keturunan, bukan karena orang Bajo lebih banyak menjadi penyelam.
Uji genetika memakai contoh ludah memastikan orang Bajo memiliki gen yang membuat limpa mereka lebih besar. Salah satu hasil riset menunjukkan ada mutasi di sebagian genom orang Bajo. Genom itu mengatur aktivitas gen pengatur aliran darah untuk disalurkan ke organ vital paling membutuhkan oksigen.
Mutasi juga terjadi pada gen yang bertanggung jawab memproduksi enzim anhidrase karbonat untuk memperlambat terbentuknya karbon dioksida di aliran darah. Pembentukan karbon dioksida umum terjadi pada penyelaman lama dan dalam. Dua mutasi itu terkait kontraksi otot di sekitar limpa dan rendahnya kadar oksigen di darah.
Ilardo menyimpulkan, warga Bajo mengalami adaptasi unik terkait ukuran limpa dan respons pada aktivitas menyelam. Temuan itu menambah daftar contoh adaptasi genetika penting dilalui manusia dalam sejarah evolusi terakhir, seperti adaptasi pada diet makanan.
Sama seperti adaptasi ekstrem lain yang dialami manusia, seperti adaptasi terhadap diet setelah manusia memelihara ternak, adaptasi genetika pada masyarakat Bajo adalah konsekuensi dari praktik kebudayaan. Itu membuktikan kebudayaan dan biologi berevolusi bersama-sama selama ribuan tahun.
Hasil riset ini, menurut Ilardo, memiliki manfaat nyata secara kedokteran untuk memahami relasi antara hipoksia, fungsi tiroid, volume sel, dan ukuran limpa.(NINUK M PAMBUDY)
Sumber: Kompas, 26 April 2018