Bahasa Kita Jadi Bahan Bincang Dunia Maya

- Editor

Selasa, 28 Juli 2015

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Tulisan Norimitsu Onishi tentang bahasa Indonesia, yang terbit di The New York Times (baca Kompas, 20 Juni 2015, halaman 6), tiga hari kemudian ditanggapi Michel S, seorang Indonesia yang menetap di Jerman.

Pampangan yang diunggah di hircus.indonesiamatters.com/indonesians-adopting-english-5/, dengan tajuk “Indonesian adopting English: but in what way?”, melanjutkan ulasan mengenai anak-anak Indonesia yang berbahasa pertama bahasa Inggris. Pampangan berbahasa Inggris ini menuai 27 tanggapan dari kalangan Indonesia dan dunia.

Untuk menyekolahkan anak ke sekolah internasional yang layak, demikian secara ringkas pandangan Michel, bagi orangtua menengah-atas yang mampu bukanlah persoalan. Namun, bagaimana dengan orangtua lain, yang membesarkan anaknya dengan bahasa Inggris, tetapi bahasa Inggris mereka sendiri belepotan, didukung bahasa Inggris pekerja rumah tangga (PRT)-nya yang lebih berantakan lagi. Mungkin saja anak itu mampu berbicara dalam tiga bahasa (bahasa daerah, Indonesia, dan Inggris), tetapi ketiganya sama-sama rendah tingkat kemahirannya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Pandangan ini mengundang tanggapan David, yang berbagi kesannya bahwa banyak kalangan menengah ke atas sesungguhnya tidak peduli apakah anaknya menguasai bahasa Inggris secara baik atau tidak. Yang membanggakan hanya ini: dari mulut anaknya dapat keluar bahasa Inggris. Sikap orangtua ini terkait ke perilaku unjuk lagak (snobbery): berbangga diri anaknya belajar di sekolah yang berbahasa Inggris.

Lain lagi dari penanggap yang berinisial ET. Memang jelas ada unjuk lagak, tetapi ada juga tujuan praktis, yaitu menyiapkan anak meraih kemampuan untuk berkompetisi dalam keadaan masa kini yang terus berkembang (barangkali maksudnya tuntutan “globalisasi”). Segi ini belum terbayangkan oleh para nasionalis tahun 1920-an ketika mereka mencanangkan jati diri Indonesia.

Namun, ketiganya ini barulah pendapat atau pandangan. Bagaimana hasil penelitian menyangkut kasus ini?

Kasus ini unik karena bahasa pertama anak Indonesia yang lahir dan dibesarkan di Indonesia (Kompas, 20 Juni 2015) adalah bahasa asing, bahasa yang tidak diujarkan di lingkungan sekitar. Keluarga Jawa yang tinggal di Australia, misalnya, apabila melahirkan anak di sana, bisa jadi anaknya menjadi penutur berbahasa pertama bahasa Inggris. Kalau keluarga itu tinggal di India, bisa jadi anak Jawa tadi berbahasa pertama bahasa Hindi atau bahasa Inggris karena bahasa Inggris dan Hindi diujarkan di lingkungan kehidupan sehari-hari. Bahasa Inggris di India, seperti juga di Singapura, Filipina, bukan bahasa asing.

Dijunjung di luar
Di Indonesia, bahasa Inggris merupakan bahasa asing, bukan bahasa sehari-hari masyarakat luas, sebagaimana di India, Singapura, atau Filipina. Di sinilah keunikan Indonesia: mengapa dan bagaimana bahasa Inggris sampai bisa menjadi bahasa pertama bagi cukup banyak anak Indonesia yang lahir dan dibesarkan di Indonesia?

Salah satu kemungkinan jawabannya dapat ditangkap dari hasil penelitian Rebecca Urip, mahasiswa Unika Atma Jaya, terhadap tiga keluarga di Jakarta dengan delapan anak, dalam rentang usia 4-17 tahun. Menurut penelitian yang tertuang di dalam tesis S-2-nya yang diuji 28 Mei 2015 di Program Studi Linguistik Terapan Bahasa Inggris, Sekolah Pascasarjana Unika Atmajaya, anak-anak itu sejak TK mengikuti sekolah dengan pengantar bahasa Inggris dan bergaul dalam lingkungan berbahasa Inggris.

Ketika kepada setiap orangtua diajukan pertanyaan, “Seandainya Anda harus memilih salah satu di antara kedua bahasa ini, mana yang harus dikorbankan: bahasa Indonesia atau Inggris?”, masing-masing sama jawabannya, “Bahasa Indonesia.”

Ketika ditanya mengapa, jawaban yang muncul, antara lain, bahasa Inggris lebih efisien, lebih membuka peluang ke dunia luas, lebih banyak menyediakan sumber pengetahuan. Mengenai seni dan budaya Indonesia, mereka berpandangan bahwa itu sudah tidak relevan lagi dengan situasi saat ini. Alih-alih nonton ini, anak-anak dilimpahi tontonan yang berbahasa Inggris.

Bagaimana dengan lingkungan komunikasi anak sehari-hari? Mereka di rumah bercakap-cakap dalam bahasa Inggris dan hanya bergaul dalam lingkungan yang berbahasa Inggris. Mereka pun sadar, memahami, dan menerima perlakuan orangtua yang diterapkan kepada mereka. “This is my parents’ policy. They don’t want me to mix-up with Indonesian students because they want me to, you know, really learn English and everything.”

Mereka hanya berbahasa Indonesia dengan PRT dan sopir, dengan logat asing pula, seperti orang asing saat berbahasa Indonesia. Bagi anak-anak ini, bahasa Indonesia turun dan sempit fungsinya.

Akan tetapi, di lingkup mancanegara, bahasa kita justru dijunjung tinggi dan menarik minat luas. Dalam posting-posting WordPress, setelah bahasa Spanyol, bahasa Indonesia merupakan bahasa yang menempati urutan ketiga paling banyak digunakan.

Menurut Dirjen Informasi dan Diplomasi Publik Kementerian Luar Negeri Andri Hadi, saat ini ada 45 negara yang mengajarkan bahasa Indonesia. Di Vietnam, sejak akhir 2007, pemerintah daerah Ho Chi Minh City telah mengumumkan secara resmi bahasa Indonesia menjadi bahasa kedua. Vietnam adalah anggota ASEAN pertama yang menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi kedua di negaranya.

Bahwa bahasa Indonesia mulai tak lagi dikuasai oleh sebagian di antara anak-anak Indonesia masa kini, karena mereka mulai beralih jadi penutur yang lebih fasih berbahasa asing (Inggris) daripada berbahasa sendiri, suatu kekhasan yang barangkali tiada duanya di dunia. Apakah keunikan ini sesuatu yang patut dibanggakan atau diratapi?

BAMBANG KASWANTI PURWO, GURU BESAR LINGUISTIK UNIKA ATMA JAYA, JAKARTA
———-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 Juli 2015, di halaman 7 dengan judul “Bahasa Kita Jadi Bahan Bincang Dunia Maya”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Menghapus Joki Scopus
Kubah Masjid dari Ferosemen
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Misteri “Java Man”
Empat Tahap Transformasi
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
Gelar Sarjana
Gelombang Radio
Berita ini 7 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Jumat, 2 Desember 2022 - 14:59 WIB

Misteri “Java Man”

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:15 WIB

Empat Tahap Transformasi

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB