Laboratorium Bagian Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah, memiliki fungsi ganda. Fungsi utamanya memang untuk meneliti penyakit dan pengobatannya. Namun, di tempat itu pula latihan tari dan musik tradisional berlangsung. Di sana Prof Edi Dharmana berkarya dalam dua dunianya.
Hingga jenjang SMA, Edi kerap tampil di berbagai panggung pertunjukan di Salatiga untuk menari dan bermain drama. Ibunya juga sangat mendukung, dengan kerap membuatkan kostum tari. Ia mengingat lakon yang dimainkan dalam pentas pertamanya adalah ”Gatotkaca Lahir”.
Setelah lulus SMA dan diterima di Fakultas Kedokteran Undip, waktu dan perhatian Edi tersita untuk kuliah. Namun, sesekali ia masih menikmati pertunjukan tari, termasuk pentas wayang orang Ngesti Pandowo, yang waktu itu masih pentas rutin di Gedung Rakyat Indonesia Semarang, tepat di sebelah tempat kosnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Setelah lulus dan mengajar di Fakultas Kedokteran Undip, dia kembali menekuni dunia seni. Dalam perjalanannya, Edi pun dipercaya menjadi ketua UKM kelompok tari Fakultas Kedokteran Undip, yang hingga kini aktif mengirimkan delegasi dalam berbagai misi kebudayaan di sejumlah negara.
”Seni itu untuk keseimbangan hidup. Selain melatih emotional quotient (kecerdasan emosional) dan soft skill, dalam seni mahasiswa juga belajar bekerja sama dan tentunya ikut nguri-uri (melestarikan) budaya,” kata Edi.
Ketika melanjutkan studi kedokteran di Belanda pun, Edi tetap menari. Beberapa kali dia menari dalam berbagai kesempatan di Kedutaan Besar Indonesia untuk Belanda.
Enam tahun terakhir, Edi aktif di kesenian wayang orang. Ia dan beberapa kawannya membentuk kelompok paguyuban penggemar wayang orang Ngesti Pandowo. Ia pun dipercaya menjadi Ketua Dewan Pembina WO Ngesti Pandowo. Ia membantu mencarikan sponsor untuk pentas, mengajak pejabat dan dosen untuk ikut main wayang orang, serta ikut bermain dalam pertunjukan.
WO Ngesti Pandowo, yang didirikan Ki Narto Sabdo, merupakan salah satu dari tiga wayang orang di Indonesia yang masih aktif. Wayang orang yang lain ialah WO Bharata di Jakarta dan WO Sriwedari di Solo. Kondisi dua WO tersebut jauh lebih baik ketimbang Ngesti Pandowo.
Biaya operasional untuk pertunjukan wayang orang mahal. Sekali pertunjukan yang berlangsung di Gedung Ki Narto Sabdo Taman Budaya Raden Saleh, Semarang, dibutuhkan biaya Rp 5 juta hingga Rp 6 juta. Kapasitas gedung pertunjukan untuk 300 orang kerap hanya terisi sepertiganya sehingga tidak menutup biaya operasional.
”Selama ini yang menutup kekurangan biaya operasional adalah dana abadi Ngesti Pandowo dan dana bantuan dari pemerintah provinsi setiap tahun. Tidak seperti di Jakarta, di Semarang ini sulit mendapatkan sponsor untuk pertunjukan wayang orang,” ujar Edi.
Edi mengatakan, idealnya ada keberpihakan dan kepedulian dari semua pihak untuk keberlangsungan wayang orang. Tanpa itu, wayang orang akan tetap sulit bertahan hidup. Ia mencontohkan WO Sriwedari yang pemainnya dijadikan pegawai negeri sipil dan biaya operasionalnya ditanggung pemerintah.
Namun, Edi tetap berjuang bersama-sama dengan pengurus WO Ngesti Pandowo. Upaya yang saat ini tengah dilakukan adalah menyuarakan agar WO Ngesti Pandowo tetap dipertahankan berpentas di Taman Budaya Raden Saleh, di tengah rencana pembangunan sebuah wahana rekreasi di kawasan Taman Budaya Raden Saleh yang mengancam eksistensi WO Ngesti Pandowo.
Jamu
Sementara itu, penelitian Edi mengenai khasiat jamu atau obat herbal terus berjalan. Edi meneliti beberapa tanaman herbal yang dapat dikombinasikan dalam pengobatan kanker.
”Memang tanaman herbal tidak sepenuhnya dapat menggantikan pengobatan konvensional, tetapi keberadaannya dapat mendukung obat konvensional, atau membantu tubuh mengatasi efek samping dari pengobatan konvensional,” kata Edi.
Edi mengakui, belum ada bukti valid mengenai efektivitas obat herbal sebagai pendamping pengobatan konvensional. Namun, obat herbal terbukti dapat membantu menekan efek negatif dari pengobatan. Beberapa tanaman yang mengandung antioksidan tinggi, seperti mahkota dewa atau teh hijau, membantu mempertahankan jumlah sel darah putih.
Ia berharap para dokter mau melirik obat tradisional mengingat Indonesia memiliki variasi tanaman herbal terbesar kedua di dunia setelah Amazon. Penggunaan jamu atau obat tradisional, seperti halnya kesenian tradisional, membutuhkan keberpihakan.
Produksi fitofarmaka, misalnya, obat hipertensi dari seledri, ternyata biayanya mahal sehingga harga jualnya juga mahal, hampir sama dengan obat kimia.
Ia membandingkan dengan kondisi di Tiongkok yang sudah menggarap serius, bahkan pendidikannya khusus, ada universitas khusus untuk pengobatan herbal.
”Produsen obat herbal juga terbukti mendapatkan keuntungan besar. Di Indonesia, dari sisi pendidikan sudah dimulai di Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada. Ke depan, tinggal upaya menjadikan obat herbal bisa lebih murah dan merakyat,” tutur Edi.
Edi menginginkan anak-anak jangan hanya diberi mimpi spektakuler, tetapi harus didorong turut melestarikan budaya Indonesia menjadi spektakuler. Ia dan anak-anak didiknya sudah memulai dengan perjuangan itu.
KOMPAS/AMANDA PUTRI
PROF DR EDI DHARMANA, MSC, PHD, SPPARK
LAHIR:
Salatiga, 12 Maret 1947
ISTRI:
Edipeni Pramusinto (61)
ANAK:
Dian Kartika Sari (37)
Intan Nurcahyani (31)
PENDIDIKAN:
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang (lulus sebagai dokter umum tahun 1976)
Master Immunoparasitology, Universitas Amsterdam, Belanda (lulus 1980)
Doktor Imunologi, UMC St Radboud, Nijmegen, Belanda (lulus 2001)
Spesialis Parasitologi Klinik, Indonesian College for Clinical Parasitology, Jakarta (2004)
Guru Besar Universitas Diponegoro, Semarang (2005)
PEKERJAAN:
Dosen S-1, S-2, dan S-3 Fakultas Kedokteran Undip
Dosen Program Magister Biomedis FK Unissula
Anggota Tim Transplantasi Hati dan Sumsum Tulang FK Undip-RS dr Kariadi
Konsultan Laboratorium Imunologi RS Telogorejo
ORGANISASI:
Ketua Dewan Pembina Wayang Orang Ngesti Pandowo
Ketua Kelompok UKM Tari FK Undip
PENGHARGAAN:
Dosen Teladan III FK Undip (1993)
Dosen Berprestasi dalam Bidang Penelitian FK Undip (1996)
Dosen Berprestasi FK Undip (2005, 2006) dan Undip (2009)
Best Lecturer Sampoerna Award (2009)
Rekor Museum Rekor Indonesia tahun 2009 dan 2010 dalam bidang kesenian
Piagam sebagai budayawan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Semarang tahun 2010
Prof Edi, atau Pak Edi, begitu ia akrab disapa, sejak SD sudah belajar menari. Ayahnya yang saat itu menjabat Wakil Wali Kota Salatiga secara rutin mendatangkan guru tari ke kediaman mereka. Ia dan adiknya pun belajar menari.
AMANDA PUTRI NUGRAHANTI
———–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 Juli 2015, di halaman 16 dengan judul “Antara Wayang Orang dan Obat Herbal”.