Sosok Pendeta Yonky Karman dikenal publik, antara lain, melalui tulisan-tulisannya di Kompas selama 15 tahun terakhir. Tanpa banyak mengutip ayat-ayat Kitab Suci, ia menggunakan Injil Perjanjian Lama sebagai salah satu sumber inspirasinya untuk berkarya. Dari Injil Perjanjian Lama, pemikirannya berkelana menuju teologi kebangsaan.
Pengalaman nabi-nabi Perjanjian Lama dalam melaksanakan tugas-tugas profetiknya itu antara lain yang ikut mendorongnya menuangkan pikiran-pikirannya dalam tulisan di sejumlah surat kabar, buku-buku, dan ruang-ruang kelas di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta.
Dosen Perjanjian Lama itu mengilustrasikan, dalam Perjanjian Lama, jumlah kata bumi atau tanah (Ibrani: erets) lima kali lebih banyak daripada surga (Ibrani: shamayim). Hal itu bermakna, spiritualitas yang ingin ditampilkan Perjanjian Lama adalah spiritualitas bumi atau tanah, soal bagaimana menata bumi atau tanah, bukan soal bagaimana masuk surga.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Perjanjian Lama menginspirasi aktivitas saya. Saya merasa terpanggil untuk peduli dengan semua masalah di Indonesia. Bagi umat Kristiani Indonesia, tanah sucinya ya di sini, di Indonesia,” ujar Yonky ketika ditemui di Kampus Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, Senin (8/6).
Kalaupun menyebut ayat, Yonky merujuk ke Yeremia 29:7, yang isinya mendorong umat mengupayakan dan mendoakan kesejahteraan kota tempat mereka tinggal sebab kesejahteraan kota itu juga kesejahteraan mereka.
Ayat ini, bagi Yonky, penting. Siapa pun yang mengupayakan kesejahteraan kota atau negeri tempat dia tinggal secara tidak langsung ia mengupayakan kesejahteraan dirinya. Baik untuk umat belum tentu baik untuk kota atau negerinya.
“Orang yang mengupayakan kesejahteraan kota, kabupaten, provinsi, atau negerinya secara tidak langsung ia mengupayakan kesejahteraan dirinya atau umatnya. Ayat ini menjadi landasan untuk berteologi kebangsaan,” tutur pengajar Bahasa Ibrani yang juga menjadi anggota tim revisi di Lembaga Alkitab Indonesia untuk tiga kitab dalam Perjanjian Lama.
Teologi kebangsaan pantas menjadi alternatif bagi semakin berkembangnya teologi keumatan. Teologi keumatan berlangsung ketika umat memperjuangkan kepentingan umatnya sendiri, bukan memperjuangkan bangsa yang di dalamnya umat menjadi bagian tak terpisahkan. “Faktanya sekarang teologi keumatan masih lebih unggul dari teologi kebangsaan,” kata alumnus Sekolah Tinggi Teologi Injili, Leuven, Belgia, itu.
Kegelisahan intelektualnya bangkit ketika gelombang reformasi muncul tahun 1997-1998. Pada era reformasi, tatanan lama berubah. Inilah kesempatan masyarakat berdemokrasi dan menyalurkan aspirasi mengutak- atik model-model bernegara dan bermasyarakat.
“Sepertinya Republik ini melakukan uji coba. Dalam uji coba ini, banyak praktik bermasyarakat keluar dari amanat konstitusi, sebutlah dalam bidang politik, ekonomi, atau pendidikan. Sebagai warga negara, saya hanya ingin mengingatkan bahwa sudah ada acuan konstitusional dalam bernegara dan bermasyarakat,” ujar pria kelahiran Jakarta, 9 Mei 1959, itu.
Salah satu kejadian yang mendorong menuliskan kegelisahannya di surat kabar Kompas adalah adanya usulan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 2000 untuk memasukkan kembali “Piagam Jakarta”. Waktu itu Yonky mendampingi istrinya, dr Dewi Saraswati Gaduh, SpOG yang bertugas di sebuah rumah sakit bagi orang miskin di pedalaman Kalimantan Barat.
Tulisan yang diterbitkan 14 Juli 2000 itu berjudul “Wajibkah Negara Mengontrol Kehidupan Rohani Umat?” Dari tulisan pertama ini, sebanyak 151 tulisan dengan berbagai topik telah diterbitkan di Kompas hingga 25 Mei 2015. Tulisan terakhirnya berjudul “Nasionalisme dan Ekonomi”. Sebagian tulisan itu dikumpulkan dalam buku Runtuhnya Kepedulian Kita: Fenomena Bangsa yang Terjebak dalam Formalisme Agama (Penerbit Buku Kompas, 2010).
Dalam teologi kebangsaan, menurut Yonky, hal yang perlu diprioritaskan adalah perlunya mempertahankan kebangsaan yang berkembang pada awal pembentukan negara. Kebangsaan tersebut tidak boleh dirusak oleh hal-hal yang bersifat keumatan. Pemuka agama wajib membuka wawasan umat agar umat tidak hanya memikirkan kepentingannya sendiri, tetapi juga memikirkan kepentingan bangsa. Apabila gagasan ini dijadikan gerakan sosial oleh berbagai organisasi kemasyarakatan, ini modal sosial yang besar untuk membangun Indonesia yang adil dan makmur.
Negara dan aparatusnya seharusnya menjunjung kebangsaan pada tingkat daerah sampai nasional. Sayang, banyak kepala daerah pada era reformasi tega memainkan isu keagamaan untuk politik kekuasaan. Isu keumatan dimainkan oleh penguasa, tetapi sesungguhnya hanya diperalat untuk meraih atau melanggengkan kekuasaan.
“Agama di Indonesia sebenarnya sebuah modal sosial yang sangat besar, tetapi dampaknya bagi perbaikan sosial tidak kelihatan. Saya rasa ini karena seringnya politisasi agama,” ujar pendeta yang ditahbiskan di Gereja Kristen Setia Indonesia, Jakarta, tahun 2003, itu.
Yonky menilai sah saja keberadaan partai (berlatar) agama karena agama juga mengandung kritik sosial. Namun, kepedulian utama dalam berpartai seharusnya soal bangsa, bukan lagi soal umat. Berpolitik sesungguhnya mengupayakan kesejahteraan kota (Yunani polis), kesejahteraan negeri.
Moralitas Pancasila
Untuk bernegara dan bermasyarakat diperlukan moralitas yang lebih daripada sekadar moralitas agama. Seberapa pun universalnya, moralitas suatu agama sulit dilepaskan dari ciri ke-umatan dan karenanya sulit menjadi landasan bagi moralitas berbangsa dan bernegara. Itu sebabnya Pancasila menjadi mutlak untuk umat apa pun di Indonesia dalam konteks berbangsa dan bernegara.
Pancasila, menurut Yonky, harus terjabar dalam perilaku bermasyarakat dan bernegara. Pada tingkat negara, pejabat-pejabat dalam bertutur kata dan melaksanakan kebijakan harus dijiwai Pancasila. Seorang menteri agama, misalnya, menjadi menteri bagi semua orang Indonesia, termasuk orang yang karena alasan- alasan tertentu belum dapat beragama.
“Kalau elite politik dan agama memberikan contoh yang baik implementasi Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, pastilah rakyat mudah menerjemahkan Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara,” ujar Yonky.
Banyak dari kita terjebak dalam teologi keumatan. Itu antara lain karena penghayatan Pancasila berhenti pada sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Padahal, kalau sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, diutamakan, dampak sosialnya pasti lebih besar.
“Bukankah tujuan akhir kita untuk bernegara adalah mencapai keadilan sosial? Seandainya Pancasila dibaca dengan urutan terbalik, wajah Indonesia kini akan lain,” kata Yonky.
Yonky juga mengingatkan, sejak awal bernegara, Indonesia dengan sadar tidak mengadopsi kapitalisme. Penjajahan yang berlangsung sangat lama justru merupakan gabungan dari kekuatan dagang dan senjata. Jalan sosialisme menjadi inspirasi dan kekuatan para pendiri bangsa untuk memerdekakan Indonesia. Berbeda dari sosialisme-komunisme, sosialisme Indonesia tidak bisa meninggalkan watak religiusnya. Jalan sosialisme berarti juga revolusi sosial, bukan dengan pertentangan kelas, melainkan membangun masyarakat berbasis keadilan sosial. Jalan sosialisme ini harus diteruskan.
“Saya lebih memilih istilah revolusi sosial, bukan revolusi mental. Suatu mentalitas terbentuk dari laku yang terus diulang. Untuk memiliki mentalitas baru, mentalitas lama harus dikikis dengan habitus baru, yakni implementasi Pancasila dalam praktik-praktik kehidupan sosial,” kata Yonky.—Subur Tjahjono
———–
Yonky Karman
Lahir: Jakarta, 9 Mei 1959u Istri: Dewi Saraswati Gaduhu Anak: – Adrian Prasetya Karman- Karina Arivia Karman
Pendidikan:- Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang, Jawa Timur (BTh)-1985- Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta (Drs)-1992- Seminari Teologi Calvin, Grand Rapids, Amerika Serikat (ThM)-1993- Sekolah Tinggi Teologi Injili, Leuven, Belgia (PhD)-2004u Disertasi: “Aspek-aspek Komunikasi dengan Arwah dalam I Samuel 28:3-25 Sehubungan dengan Penampakan Arwah Samuel: Sebuah Tafsir”.
Pekerjaan:- 1985-1987: rohaniwan di Gereja Kristus Tuhan, Kediri, Jawa Timur1987-1992: rohaniwan di Gereja Kristen Jakarta1994-1998: dosen Perjanjian Lama di Sekolah Tinggi Teologi Bandung, Jawa Barat2003-2007: dosen Perjanjian Lama di Sekolah Tinggi Teologi Cipanas, Jawa Barat2008-sekarang: dosen Perjanjian Lama di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta
Publikasi:- Penderitaan, Doa, dan Kematian, 1998- Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama, 2004- Merayakan Hidup dalam Keberagaman, 2007- Kitab Rut, 2009- Runtuhnya Kepedulian Kita, 2010- Republik Galau Merajut Asa, 2014
———-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 25 Juni 2015, di halaman 36 dengan judul “Dari Perjanjian Lama Menuju Teologi Kebangsaan”.