Guru Biologi sudah memesan sebuah auksanometer bertahun-tahun lamanya. Christoph Andrew Angkadjaja (18), siswa SMA Kristen Gloria Surabaya, tidak malu-malu mengisahkan keluhan guru Biologi-nya itu pada makalah hasil penelitiannya di depan para juri pada acara penjurian Konferensi Internasional Ilmuwan Belia ke-22 di Izmir, Turki, 19–25 April 2015.
Seperti umumnya generasi masa kini, yang sering dijuluki generasi Z dengan ciri, menjalani hidup dan berpikir dengan mentalitas digital, Christoph segera berpikir dengan cara pikir demikian. Christoph tak ragu bertindak.
Ia lantas merancang sebuah auksanometer sendiri, tentu saja harus yang terdigitalisasi. Auksanometer, alat yang jarang dijumpai di tempat umum karena ini peralatan pengukuran di laboratorium Biologi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Siswa SMA kelas XII biasa menggunakannya di Laboratorium Biologi, untuk menguji kecepatan tumbuh tanaman, misalnya siswa menguji kecepatan spesies tertentu tanaman, untuk dibedakan dengan spesies yang sama pada varietas yang berbeda, kondisi lingkungan seperti suhu, sinar matahari dan kelembapan yang berbeda,” kata guru Fisika SMA K Gloria, Winata.
Christoph mempelajari cara kerja auksanometer dari buku-buku dan berselancar di dunia maya. Cara kerja auksanometer mekanik sederhana, sepertinya belum banyak berubah sejak diciptakan pada 1911 (Encyclopedia Brittanica). Peralatan dengan prinsip mekanika ini bisa mengukur kecepatan tumbuh tanaman, dengan cara mengikat pucuk batang tanaman, lalu tali pengikat dikalungkan pada busur roda dan pemberat dari logam berbobot ringan, misalnya timah.
Setiap kali tanaman bertambah tinggi, tali mengendur memutar roda dan pemberat, dan akan memutar busur berjarum. Pusat busurnya adalah roda itu. Pada ujung jarum diberi kertas skala sehingga bisa diketahui panjang busur sepanjang pergerakan jarum. Itulah data kecepatan tinggi tanaman. Itu perlengkapan aslinya.
Digital
Alat yang dibuat Christoph dapat disebut sebagai versi digital alat auksanomater mekanik itu. Jika dihitung sejak penemuan auksanomater pertama kali pada 1911, dengan demikian auksanometer digital yang dibuat Christoph adalah versi berikutnya, dengan jarak waktu kedua penemuan 104 tahun. Artinya, dibutuhkan 104 tahun bagi auksanometer pertama menjadi Auksanometer 2.0 (meminjam kebiasaan di lingkungan dunia maya).
Christoph sudah mengerjakan auksanometer digital miliknya sejak ia masih duduk di bangku kelas XI (kini kelas XII) dan memenangi kompetisi ini di tingkat regional atau provinsi. ”Panitia seleksinya, International Center for Young Scientists (ICYS) Indonesia,” kata Monika, wakil ICYS di Indonesia.
Pada kompetisi ICYS internasional tahun ini, yang diselenggarakan di Turki, di kota Izmir, inovasi Christoph meraih peringkat III. Tentu ini menjadi kisah yang amat menggembirakan dan membanggakan bagi bangsa Indonesia. Prestasi ini menambah catatan kesekian kalinya siswa dan remaja Indonesia memenangi kontes sains tingkat dunia. Temuan Christoph mengungguli karya-karya sejenis untuk kategori Fisika, yang diikuti 37 siswa dari sejumlah negara di dunia, termasuk Christoph.
Christoph memberikan judul karyanya ”The Assembly of The Digital Auxanometer”, sejenis penyempurnaan dari alat terdahulu.
Winata, guru Fisika SMA Kristen Gloria, yang mula-mula mendorong Christoph membuat auksanometer digital ini. Christoph menggunakan papan rangkaian sirkuit elektronika, yang lazimnya digunakan mahasiswa S-1 Teknik Elektronika, untuk mengukur selang perubahan busur dengan bantuan sensor elektronik, dan sebuah mikrokontroler.
Alat-alat elektronik ini kini sudah dijual bebas di toko hobi dan peralatan teknik untuk bahan praktikum mahasiswa atau hobi elektronika lainnya. Christoph menggunakan potensiometer, semacam alat putar volume di pesawat radio, yang dipasang pada pusat roda auksanometer sebagai sensor yang mengubah data manual menjadi data elektronik.
Perubahan tegangan potensiometer diubah oleh mikrokontroler menjadi data digital. Sisanya, dikerjakan komputer. Mikrokontroler diberi antarmuka ke komputer, ditambah sensor kelembapan dan suhu, tabel di komputer Christoph memunculkan data kombinasi tinggi tanaman, kecepatan tumbuh, kelembapan, dan suhu.
Bisa dimengerti betapa mengasyikkannya mengutak-atik alat ini bagi remaja laki-laki. Bagi Christoph, mengutak-atik barang elektronika ini bisa menjadi hobi.
Tidak mengherankan jika pertanyaan juri, pada ICYS di Turki ini bisa dijawab Christoph dengan baik. Jurinya terdiri dari para guru besar dan pemegang gelar doktor dari perguruan tinggi di Eropa. Salah satu juri bertanya, apakah tali itu tidak malah ”menarik” tanaman?
Christoph yang sudah membekali diri dengan teori dari guru biologinya, bisa meyakinkan juri. Tali itu, jawab Christoph, tidak membuat ujung batang (apikal) tanaman tertarik sehingga lebih panjang dari seharusnya.
Kepala Sekolah SMA Kristen Gloria Aryanii Dewi mengungkapkan, karya Christoph juga mendapat pujian dari Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, saat Christoph dan medalinya ditun- jukkan kepada Risma.
Namun, kebanggaan pada diri Christoph terjadi, terutama saat ia mendalami tabel data yang didapatkan bersama Winata, guru Fisika-nya. Ini pula yang kini membuatnya tertarik pada fisiologi tumbuhan. ”Bahwa ternyata, tumbuhan bisa berubah-ubah kecepatan tumbuh. Grafik kurva pertumbuhannya bisa berupa kurva menanjak pada pagi hari, lalu melandai saat siang hari, dan melambat lagi malam hari. Luar biasa,” kata Christoph, dengan mata berbinar.
Binar matanya melebihi kilau medali perunggu dari ICYS yang ia miliki bersama sertifikat kemenangannya. Niscaya saat itu pastilah akan menjadi saat paling berarti dalam diri ilmuwan muda ini.
CHRISTOPH ANDREW ANGKADJAJA
LAHIR: Surabaya, 24 Agustus 1997
ORANGTUA: –
SEKOLAH : SMA Kristen Gloria 1 Surabaya
PRESTASI:
-Pemenang IPB Regional Gold Medal Bidang Fisika
-Pemenang Lomba International Conference for Young Scientists Bronze Medal Bidang Fisika
FOTO-FOTO: KOMPAS/DODY WISNU PRIBADI
DODY WISNU PRIBADI
———————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 Juni 2015, di halaman 16 dengan judul “Generasi yang Mendigitalkan Segala Hal”.