Budidaya udang termasuk salah satu jenis usaha berisiko tinggi. Risiko itu bisa ditimbulkan oleh abrasi laut, pun hama di dalam tambak. Pembudidaya udang lebih sering dihantui kebangkrutan daripada kesuksesan usaha. Suka dan duka budidaya udang tersebut membawa Hasanuddin Atjo (55) pada sebuah inovasi teknologi.
Inovasi teknologi tersebut dinamai budidaya udang teknologi supra intensif. Disebut supra intensif karena ada lima komponen penggerak usaha yang komplementer, yaitu pengelolaan lingkungan tambak, teknologi (konstruksi dan pengelolaan kotoran), benih, sarana produksi (pakan), dan manajemen usaha.
”Ini subsistem yang diintensifkan. Kelimanya paralel, bergerak bersama untuk kemajuan usaha,” ujar Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Tengah itu, Sabtu (18/4), di Palu, Sulteng.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kunci teknologi tambak terletak pada pengelolaan limbah secara modern. Caranya, limbah udang tidak dibiarkan melarut di dalam tambak sebagaimana yang biasa dilakukan para petambak udang pada umumnya. Pada inovasi tersebut, Hasanuddin menyedot limbah udang ke pusat (central draine). Dari sana, limbah pakan dan kotoran dibuang melalui pipa ke salah satu sudut tambak. Kotoran udang tersebut langsung dibuang setiap dua jam. Dengan cara ini, kualitas air tambak akan terus terjaga baik.
Bergelut dalam dunia pertambakan udang sejak 1991, membuat Hasanuddin bisa menyimpulkan bahwa pengelolaan limbah ini akan berpengaruh signifikan pada produktivitas dan kualitas air tambak. Apalagi, hama tambak kemudian diketahui lebih banyak muncul akibat tidak terawatnya lingkungan internal tambak (kotoran).
Hubungan antara pengelolaan lingkungan dan produktivitas tambak menjadi pergulatan ilmiah Hasanuddin pada periode 2000-an. Pasalnya, saat itu ia bergumul dengan studi doktoral pada Program Studi Perikanan di Universitas Hasanuddin Makassar, Sulawesi Selatan.
”Setelah berbagai kajian, disimpulkan faktor lingkungan memengaruhi produktivitas tambak hingga 60 persen. Artinya, kalau kondisi internal tambak dapat dikendalikan, penyakit bisa dihindari. Pada gilirannya produktivitas dan kualitas udang terdongkrak,” ujar peraih gelar doktor dari Program Studi Sistem Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar (2005) itu.
Limbah yang tak diatur dengan baik di dalam tambak, berkorelasi langsung dengan persediaan oksigen yang amat dibutuhkan udang. Jika limbah dihancurkan dengan mikroba pun, ”perang” memperebutkan oksigen tetap berlangsung. Tentu saja, kondisi tersebut akan berdampak pada kesehatan udang.
Pada tambak budidaya udang tek- nologi supra intensif, persediaan oksigen tidak cuma dilakukan dengan pengaturan limbah, tetapi juga dengan kincir air dan sambungan pompa udara di dalam tambak. Perangkat tersebut membuat air selalu bergerak dengan gelembung-gelembung air yang selalu terpantau.
Uji coba
Kurun 2004-2011 merupakan masa uji coba teknologi supra intensif. Dari ketekunan selama tujuh tahun tersebut, Hasanuddin sampai pada kesimpulan, tambak harus beton (bukan tanah), luasannya tidak boleh terlalu besar, dan ketinggian tambak di darat minimal 4 meter di atas permukaan laut.
”Dengan begitu, kolam dapat dikendalikan,” kata pemilik belasan tambak di Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan itu.
Setelah teknologi tersebut stabil sejak 2011, anak keempat dari tujuh bersaudara ini mempraktikkannya di Kabupaten Barru. Di tambak berukuran 20 meter x 20 meter, ditaburkan sekitar 400.000 benih udang jenis vaname (udang putih). Selama 100 hari, tambak menghasilkan udang sebanyak 6,8 ton dengan rata-rata ukuran 100 ekor per kilogram. Panenan tersebut hampir selalu stabil pada setiap siklus (musim tabur). Jumlah tersebut 5-10 kali lipat produksi pada tambak biasa.
Kesuksesan tersebut disebarkan pada sejumlah tempat, termasuk di tambak yang dikelola Dinas Kelautan dan Perikanan Sulteng di Kelurahan Mamboro, Kecamatan Palu Utara. Kolam tersebut menjadi percontohan untuk Sulawesi Tengah. Tambak seluas 400 meter persegi mulai dipakai sejak 2013 atau sudah empat kali musim panen dengan rata-rata produksi 6,8 ton udang per tahun.
Dengan harga udang saat ini yang mencapai Rp 72.000 per kg, tambak tersebut sudah menghasilkan sekitar Rp 1,96 miliar hanya dalam dua tahun.
Tambak percontohan yang sama dibangun di Nusa Tenggara Timur, sejumlah tempat di Pulau Jawa, dan dua kabupaten di Sulteng. Pengusaha lokal juga sudah mulai melirik inovasi pertambakan tersebut.
Hasanuddin mengakui, tambak udang supra intensif membutuhkan modal yang tak sedikit. Untuk kolam 400 meter persegi, misalnya, pembudidaya merogoh Rp 500 juta untuk konstruksi dan minimal Rp 250 juta untuk operasional per siklus.
Hasanuddin Atjo
LAHIR
Poso, 14 Mei 1960
PENDIDIKAN
S-1 pada Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor, Jawa Barat, (1983)
S-2 Program Studi Sistem Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar (1999)
S-3 Program Studi Sistem Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar (2005)
JABATAN
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Tengah
Ketua Shrimp Club Indonesia Wilayah Sulawesi
ISTRI
Huria Fatima
ANAK
Rejan Ahmad (24)
Dewi Nurul Sakinah (23)
Rahma Ranjani (18)
Devi Nur Halisa (9)
Namun, biaya tersebut setimpal dengan produksi udang yang jauh di atas rata-rata. ”Kalau dalam konteks industrialisasi, sebuah usaha harus dapat dikalkulasi. Tambak dengan teknologi supra intensif ini bernapas industrialisasi. Pengusaha bisa menghitung modal yang keluar dengan kepastian produksi udang. Jadi, usaha high calculate,” kata bapak empat anak itu.
Diasumsikan, Indonesia mencetak 5.000 hektar tambak dengan teknologi supra intensif dengan produksi 100 ton udang per siklus (dua siklus per tahun). Dalam setahun dihasilkan satu juta ton udang. Jika dikelola untuk mendapatkan nilai tambah, keekonomian udang berlipat ganda.
Pria kelahiran Poso, 55 tahun silam, ini belum berniat mematenkan hak cipta teknologi budidaya udang supra intensif. Ia lebih memilih gencar ”memprovokasi” pemerintah daerah membangun tambak udang, sembari tak henti membuka kemungkinan inovasi. Saat ini masih dirancang peluang empat kali panen (siklus) per tahun. Sejumlah perangkat teknologi akan ditambah. Selama ini panenan paling banyak tiga kali per tahun.
Hasanuddin juga tengah merancang penggunaan telepon pintar untuk mengontrol kondisi tambak. Dengan perangkat itu, pembudidaya bisa mengetahui perkembangan tambak dari waktu ke waktu dari tempat nan jauh.————-Videlis Jemali
———————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 April 2015, di halaman 16 dengan judul “Inovasi Budidaya Udang”.