Sampah, jika tidak dikelola dengan baik, akan menjadi masalah yang bisa mengganggu kehidupan manusia. Menyadari itu, Nur Lamiah (50) bersama lima ibu-ibu lainnya berkomit-men tidak akan berhenti mem-bagi ilmu pengolahan sampah.
Agar semakin banyak orang paham tentang pengolahan sampah, Nur yang sehari-hari bekerja sebagai Kepala Seksi Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Teknologi Lingkungan di Kantor Lingkungan Hidup Kota Magelang selalu mengajak stafnya untuk siap mengajarkan cara pengolahan sampah kepada siapa saja, di mana saja.
Komitmen serupa dia tekankan kepada enam temannya di Kampung Organik Legok Makmur, di Kelurahan Wates RT 001 RW 008, Kota Magelang. Mereka tak mengharapkan imbalan. Bahkan, terkadang mereka hanya diberi ongkos transportasi saja ketika memberikan ilmu mengolah sampah di luar kota Magelang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Pernah ketika pergi ke Yogyakarta dan uang yang didapat habis untuk membayar sopir, bensin, dan biaya sewa mobil, kami tetap senang,” ujar Nur yang juga pernah melakukan sosialisasi hingga larut malam.
Karena sering tampil bergantian, keenam ibu rumah tangga yang sehari-hari bekerja sebagai pedagang, penjaja kue, pegawai koperasi, dan pembantu rumah tangga tersebut kini sudah piawai berbicara tentang pengolahan sampah di hadapan berbagai kalangan.
Dari kampung
Kepedulian Nur terhadap sampah dimulai tahun 2012. Ketika itu, Nur yang menjabat sebagai Sekretaris Kelurahan Wates, Kecamatan Magelang Utara, gemas melihat salah satu rukun warga di kelurahannya sudah memiliki alat pengolah sampah, tetapi hanya memakainya ketika akan mengikuti lomba kebersihan.
Ketidakpedulian warga ini justru melecutkan semangat Nur untuk mengolah sampah di lingkungannya sendiri. Ia pun mengundang pakar pengolahan sampah dari sebuah lembaga swadaya masyarakat lingkungan untuk mengajari warga mengolah sampah. Saat itu hanya belasan warga yang terlibat.
Setelah belajar, mereka pun mencoba menerapkan ilmu pengolahan sampah itu. Mereka membentuk Paguyuban Perempuan Pengelola Sampah Terpadu (PPPST), dan menjalankan program pemenuhan kebutuhan keluarga (PKK) Sehat, Mudah, Murah, Agribisnis, Rata, dan Terkendali (SMMART).
Ketika itu, dengan modal seadanya, ibu-ibu ini mulai memanfaatkan barang-barang yang tersedia di rumah untuk membuat kompos.
”Warga memanfaatkan apa saja yang ada, seperti ember bekas, drum, dan kaleng besar yang tidak terpakai untuk tempat membuat kompos,” ujarnya.
Kompos dibuat dari sampah organik dari dapur rumah mereka. Sukses membuat kompos, mereka pun mulai mencari dana untuk menjalankan warung barter. Di warung barter ini, warga bisa menukarkan sampah non-organik dari rumah dengan bahan pokok, yang memiliki harga sesuai dengan nilai sampah yang dibawa.
Karena tidak memiliki cukup dana, ibu-ibu ini meminjam uang kas PKK RT sebesar Rp 300.000.
”Tak disangka, dengan ramainya aktivitas yang berjalan di warung barter, kami bisa langsung mengembalikan uang kas RT tersebut hanya dalam jangka waktu dua bulan,” ujarnya.
Uang dari warung barter tersebut terkumpul dari hasil penjualan sampah non-organik kepada pengepul.
Dengan banyaknya aktivitas itu, para ibu tersebut menyebut kampungnya, Kampung Kalisari, RT 001 RW 006 Kelurahan Wates, sebagai Kampung Organik Legok Makmur.
Tantangan
Dari belasan orang yang semula aktif dalam pengolahan sampah organik, jumlahnya kemudian berkurang empat orang. Namun, mereka tetap berjalan.
Selain pengomposan dan warung barter, mereka kemudian mengembangkan program bank sampah. Hampir serupa dengan warung barter, di bank sampah ini setiap sampah yang dibawa warga akan dihitung dan ditimbang. Dari hasil penimbangan dan penilaian sampah inilah, warga bisa mendapatkan uang untuk ditabung di bank sampah yang dapat diambil kapan saja jika diperlukan.
Sebagian sampah plastik yang ada di bank sampah kemudian dijadikan aneka kerajinan dengan melibatkan seorang perajin. Setiap bulan, perajin tersebut menyetorkan lima persen dari hasil penjualannya untuk menambah kas di bank sampah.
Sementara kompos hasil pengolahan sampah organik dipergunakan untuk membuat pertanian sayur di lahan sempit di halaman rumah masing-masing. Mereka yang tidak memiliki lahan yang cukup masih bisa menanam dengan menggunakan polybag.
Hasil pertanian ini terserap oleh pasar dari warga sekitar. Bahkan, kalangan pegawai negeri di lingkup Kota Magelang pun tak ragu menjadi pelanggan mereka.
”Ketika ada sejumlah tanaman sayuran atau buah mulai panen, saya biasanya cukup mengabarkannya kepada rekan-rekan dan pelanggan lewat pesan singkat di telepon. Dalam sekejap, semua panen habis dipesan pembeli,” ujarnya tersenyum.
Selain hasil panen, sebagian konsumen juga membeli bibit tanaman yang dikembangkan ibu-ibu tersebut. Bahkan, dari sebagian panen jahe yang mereka tanam, ada yang sudah diolah untuk membuat sirup jahe. Pelanggannya pun datang dari beberapa kota sekitar Magelang, bahkan ada yang dari Jakarta.
Kepopuleran produk yang dihasilkan dan kiprah Nur bersama rekan-rekannya di Kampung Organik Legok Makmur telah menarik perhatian banyak orang. Tidak sedikit orang yang kemudian mengunjungi kampung ini karena mereka ingin belajar mengolah sampah.
Nur mengatakan, dia dan rekan-rekannya sempat terkejut ketika kampung mereka didatangi tiga bus rombongan dari Kepulauan Riau. ”Bagaimana tidak panik. Jalan kampung kami sangat kecil, tidak mampu dilewati becak dan kendaraan roda empat, tiba-tiba saja harus dilewati ratusan orang yang berduyun-duyun datang,” ujarnya.
Nur Lamiah
LAHIR
Magelang, 21 April 1965
PENDIDIKAN
– S-1 Universitas Negeri Tidar, Magelang
SUAMI
Indarto Andriyono (54)
ANAK
Novan Eka Setiawan (25)
Nurul Indah Dewi Larasati (23)
Rifki Ramadhani (19)
Tahun 2013, Kampung Legok Makmur mendapatkan bantuan dana Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) sebesar Rp 47 juta. Dana itu digunakan untuk mengembangkan peternakan ayam arab dan kolam ikan lele.
Dari beragam aktivitas yang dijalankan, Kampung Organik Legok Makmur bisa menyisihkan penghasilannya untuk uang kas dan aksi sosial, seperti sumbangan untuk pos lanjut usia (lansia), santunan untuk warga lansia kurang mampu, dan sunatan massal.
Berkat kiprahnya dalam pengolahan sampah, Nur yang semula bekerja di Kantor Kelurahan Wates sejak setahun lalu diangkat sebagai salah satu kepala seksi di Kantor Lingkungan Hidup Kota Magelang.
Dengan jabatan barunya, Nur tetap ingin terus menyebarkan pengetahuan tentang pengolahan sampah.—-REGINA RUKMORINI
———————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 April 2015, di halaman 16 dengan judul “Berbagi Ilmu Pengolahan Sampah”.