Apa yang akan terjadi jika dokter hidup dalam anggapan masyarakat bahwadia pasti kaya? Pertanyaan itu menggelisahkan Yurdhina Meilissa (27), dokter muda lulusan terbaik Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi tahun 2009. Dalam kegelisahan itu, Icha, begitu dia biasa dipanggil, mencari jawab.
Pertanyaan itu bukan pertanyaan baru. Namun, pertanyaan itu mengguncang ketika diajukan kepada dirinya langsung. ”Tidak hanya sekali. Tidak hanya oleh orang yang tidak dikenal, tetapi juga orang-orang dekat,” ujar Icha yang lincah bertutur selincah dirinya naik motor bebek membelah jalan-jalan di Jakarta.
Karena kelincahannya bertutur, dalam percakapan sekitar 45 menit, di sela-sela pelatihan di Pusat Pendidikan dan Latihan Aparatur
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kementerian Kesehatan di Jakarta Selatan, Rabu (22/4), banyak informasi dan kisah baru disampaikannya. Kisah dan informasi itu menambah kisah dan informasi yang jauh sebelumnya secara informal kami percakapkan.
Lulus dari FK Universitas Yarsi tahun 2009 dan pendidikan profesi dokter umum tahun 2012, seperti kebanyakan dokter muda dan juga harapan ibunya, Icha berpikir bisa segera praktik sebagai dokter. ”Biaya kuliah di kedokteran mahal,” ujar Icha sambil tertawa.
Sejumlah kursus lalu dia rencanakan. Karena sudah banyak dibiayai orangtua, Icha merasa harus membiayai sendiri kursus-kursus yang disyaratkan, seperti Advanced Cardiac Life Support (ACLS), Advanced Trauma Life Support (ATLS), Elektrokardiografi (EKG), dan Hiperkes.
Cita-cita awal Icha sebangun dengan cita-cita ibunya. Menjadi dokter, segera praktik di rumah sakit, dan menjadi dokter spesialis jantung.
Sejumlah upaya dilakukan selepas kuliah, termasuk segera mendaftar PTT (pegawai tidak tetap) di tempat terjauh dan paling tidak diminati dengan harapan diterima. Icha mendaftar PTT di Papua.
Upayanya untuk segera PTT kandas. Icha tidak diterima mendaftar di Papua. ”Sedih rasanya. Terlebih saya tidak tahu kenapa tidak diterima.
Pendaftaran online dan tidak ada penjelasannya,” ujar Icha.
Namun, untuk upayanya segera bisa praktik dan menjadi dokter spesialis tetap dirintis. Icha lalu bekerja sebagai penasihat medik di Asuransi
Jasindo dan praktik di klinik dan rumah bersalin di Bekasi. Dari dua aktivitas ini, Icha mendapati keanehan-keanehan seperti resep berlebih dengan tagihan tinggi. Apa yang didapatinya terkait perilaku dokter dan pasien saat itu disimpannya di dalam hati.
Awal perubahan
Di tengah upayanya itu, Icha mendapati program Pencerah Nusantara (PN) tahun 2012. Program ini menghimpun dokter muda, bidan, perawat, dan pemerhati kesehatan untuk ditempatkan di daerah terpencil yang buruk akses kesehatannya. Dalam tim, peserta program selama setahun berupaya memetakan dan mengatasi masalah kesehatan riil. Program dijalankan Kantor Utusan Khusus Presiden RI untuk Millennium Development Goals (MDGs).
”Saat bergabung, tidak ada itu namanya berbakti untuk bangsa dan negara. Saya ikut PN pertama-tama karena bisa ke daerah mengganti kecewa saya gagal PTT dan ingin cepat praktik dokter lalu jadi spesialis,” ujarnya.
Dari 1.043 pendaftar program PN, dipilih 32 orang. Icha termasuk di dalamnya. Bersama tiga orang lain sebagai satu tim, Icha ditempatkan di Ogotua, Kabupaten Tolitoli, Sulawesi Tengah. Di daerah terpencil dan terluar ini, listrik lebih kerap padam. Rumah warga hanya dialiri listrik pada pukul 18.00-01.00. Sinyal telepon seluler jangan diharapkan.
Karena itu, saat Puskesmas Ogotua buka di pagi hari, tidak ada aliran listrik. Tiap tindakan untuk pasien yang mengharuskan menggunakan listrik, pasien dibebani biaya membeli solar untuk generator set.
”Sebagai dokter umum yang bertugas di puskesmas, saya tidak bisa melakukan apa-apa. Tidak ada pasien yang datang,” ujar Icha mengenang awal-awal tugasnya di Ogotua.
Bersama timnya, Icha lantas memetakan masalah kesehatan di Ogotua.
Untuk mendapatkan data sahih, Icha turun ke pelosok Ogotua, seperti Pulau Lingayan yang pernah diklaim Malaysia sebagai wilayahnya.
Saat di lapangan, tidak mudah memberikan pemahaman kepada warga. Pernah suatu kali Icha duduk setengah hari membujuk seorang nenek yang tidak mengizinkan anaknya yang masih remaja membawa cucunya yang menderita pneumonia parah ke puskesmas. Nenek yang tengah memecah kopra itu tidak memberi izin karena selain jauh, nenek itu juga berpikir biaya serta hilangnya penghasilan harian saat harus mengantar ke puskesmas.
Laki-laki di rumah itu tengah ke ladang memetik cengkeh. Memetik cengkeh biasa dilakukan beberapa hari karena letak ladang yang jauh dan tersebar.
”Sebagai dokter menghadapi pasien dan tidak bisa berbuat apa-apa karena kondisi yang kompleks ini membuat saya tertegun dan seperti hendak menangis. Setengah hari di situ, nenek tidak memberi izin. Beberapa hari kemudian, anak balita itu meninggal,” ujar Icha menarik napas dalam.
Perjumpaan dengan soal kesehatan nyata dan hambatan untuk pemberian layanan kesehatan di Ogotua itu menyadarkan dan mengubah cita-cita Icha. ”Dokter mungkin bisa menyelamatkan satu nyawa saat praktiknya.
Namun, kebijakan dan perbaikan sistem kesehatan bisa menyelamatkan jutaan nyawa,” ujarnya.
Di puskesmas, Icha pernah membongkar lemari tua. Di dalamnya masih tersusun rapi buku-buku yang sebagian masih terbungkus plastik.
Buku-buku itu tidak tersentuh sejak dicetak tahun 1970. Puskesmas ada dengan fasilitasnya, tapi tidak berfungsi karena sistem tidak berjalan.
Bersama tim PN, sistem diperbaiki. Tiga angkatan PN (2012-2015) diharapkan bisa menghidupkan sistem.
Rombak cita-cita
Pulang dari Ogotua, Icha merevisi cita-citanya. Keinginan cepat-cepat praktik dan menjadi dokter spesialis dirombak. Tantangan pertama datang dari ibunya yang punya mimpi dokter harus kerja di rumah sakit. Tidak secara frontal dan verbal Icha ”melawan” ibunya. Butuh proses dan capaian-capaian kecil sebagai bukti. Misalnya, sepulang dari Ogotua, Icha bergabung sebagai peneliti di Kantor Utusan Khusus Presiden RI untuk MDGs.
Dari salah satu hasil penelitiannya, Icha diundang sebagai pembicara konferensi internasional ”All Together Better Health VII” di Pittsburg, Amerika Serikat, tahun 2014. Di tahun yang sama, Icha dipilih United Nation Population Fund (UNFPA) sebagai salah satu dari 21 anak muda inspiratif pembawa perubahan sosial di Indonesia.
Capaian-capaian itu tidak cukup meyakinkan ibunya yang ingin melihatnya sebagai dokter di rumah sakit. Sambil menjadi Koordinator Manajemen Program Bidang Eksternal di Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) (transformasi kelembagaan dari Kantor Utusan Khusus Presiden RI untuk MDGs), Icha lalu praktik di Rumah Sakit Kartika Husada, Bekasi.
”Pagi sampai sore saya di CISDI, malam hari pukul 22.00-08.00 saya jaga IGD. Saya dapat 11-16 jadwal sebulan jaga IGD. Jungkir balik, tapi ini bagian dari upaya merintis cita-cita baru saya sekaligus membuat Ibu perlahan memahami,” ujar Icha.
Meskipun berjalan di dua jalur, Icha sadar, suatu saat harus memilih.
Untuk pilihan itu, Icha sudah mantap sambil menyiapkan pemahaman dan kerelaan ibunya. Setelah berubah di Ogotua, Icha ingin memperbaiki sistem layanan kesehatan di Indonesia dengan perubahan kebijakan dan perilaku baik pasien maupun dokter.
Saat ini, CISDI digandeng Kementerian Kesehatan untuk program Nusantara Sehat yang mengadopsi model Pencerah Nusantara memperkuat sistem pelayanan kesehatan primer di daerah terpencil Indonesia. Saat dijumpai, Icha sedang mendampingi pelatihan dokter umum, perawat, bidan, ahli gizi, ahli kesehatan lingkungan, analis kesehatan, tenaga kefarmasian, dan tenaga kesehatan masyarakat berusia di bawah 30 tahun.
Perubahan tengah diupayakan.
Yurdhina Meilissa
Lahir:
Jakarta, 25 Mei 1987
Pekerjaan:
Staf Peneliti di Kantor Utusan Khusus Presiden RI untuk MDGs (2013-2014)
Pendidikan
Sarjana Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Yars (2009)
Pendidikan Profesi Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi (2012)
Penghargaan
Mahasiswa Terbaik Universitas Yarsi (2008)
Lulusan Terbaik Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi (2009)
Conference Grant dari Institute of International Education, Ford Foundation, AS (2014)
Seed Research Grand dari Institute for Global Tobacco Control John Hopkins Schools of Public Health-Muhammadiyah Tobacco Control Center (2014)
Inspirational Young Leaders Driving Social Change oleh United Nation Population Fund (UNFPA) (2014)
Wisnu Nugroho
————————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 25 April 2015, di halaman 16 dengan judul “Berubah dan Mengubah di Ogotua”.