Prof. Somadikarta Dengan Waletnya

- Editor

Jumat, 24 September 2021

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Mendengar nama walet, terbayang dalam ingatan kita sop sarang burung walet yang menjadi makanan bergengsi kaum berduit. Memang sarang burung walet mahal harganya. Konon satu ons-nya berharga Rp.470.000. Padahal dari segi rasa, sarang burung walet tidak begitu membuat lidah bergoyang. Rasanya malahan cenderung hambar.

BANYAK yang mengatakan, kalau habis makan sop sarang burung walet, kita tidak cepat lelah, seperti burung walet ketika mencari makan.

Sarang burung walet biasanya digemari oleh orang-orang Cina. Yang menghidangkan makanan ini biasanya juga restoran khusus Chinese food.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Mengapa sarang burung walet menjadi makanan mahal? Itu gara-gara suatu kepercayaan yang berkembang di daratan Cina. Burung walet tahan terbang berjam-jam. Burung itu bahkan tidak pernah kelihatan hinggap. Berkembanglah anggapan bahwa burung walet mempunyai daya tahan yang luar biasa. Sarang burung walet, karena terbuat dari ludah burung perkasa itu, lalu dipercaya dapat membuat orang menjadi kuat. Di daratan Cina sendiri tidak ada burung walet, karena iklimnya tidak cocok, terlalu dingin.

Dari segi ilmiah, walet, sampai sekarang masih merupakan misteri taksonomi yang belum tuntas dipecahkan oleh para ahli burung di dunia. Burung ini ternyata sangat sulit diselidiki. Itu karena walet selalu terbang dengan kecepatan tinggi. Burung ini juga sering menukik ke bawah untuk menyambar serangga lalu melesat lagi ke atas. Ternyata burung walet mempunyai kaki yang sangat lemah sehingga kalau hinggap ia tidak bisa terbang lagi. Ia hanya hinggap dengan cara menggantung, biasanya di dinding-dinding gua. Inilah mengapa ia selalu terbang. Hal itu sebagian besar karena terpaksa.

Tak banyak tempat di Indonesia yang dihuni walet. Sementara ini sarang walet di Indonesia antara lain terdapat di Sidoarjo, Pantai Utara dekat Semarang, Tegal, Pemalang, dan Cirebon.

Selain di Karang Bolong, sarang burung walet terdapat juga di Ciampea, Bogor. Tetapi, yang di Bogor sekarang sudah hancur, karena diambil kapurnya. Burung ini termasuk salah satu yang tercepat terbangnya. Tetapi, sebenarnya kalau sudah tahu kebiasaan hidupnya gampang untuk menangkapnya. Pasang saja jala halus tepat di tempat-tempat ia biasa lewat, seperti di kolong-kolong jembatan.

Dalam suatu kesempatan, baru-baru ini AKUTAHU berhasil menemui Prof. Somadikarta. Ia merupakan salah seorang dari 100 ahli burung di dunia. Kebetulan ia banyak meneliti mengenai burung walet ini.

Menjawab pertanyaan AKUTAHU mengenai pilihannya untuk meneliti walet, Prof. Somadikarta berkata, “Sebenarnya penelitian burung walet telah dikembangkan sejak abad ke 17. Tetapi karena sulitnya, sebagian karena penyebaran burung walet sangat luas (dari Seychelles sampai Marquesas, ke utara dan selatan dibatasi oleh garis lintang sampai sekarang kita belum tahu berapa jenis burung walet yang ada. Saat ini baru 52 jenis walet yang diketahui. Identifikasi burung ini sangat sukar karena jenis-jenis burung ini sangat mirip satu sama lain. Tetapi, walaupun sulit begitu, kan harus ada yang mengerjakan?”

Walau penyebarannya sangat luas, walet selalu memilih habitat yang sama. Burung walet selalu tinggal di gua-gua atau tempat-tempat yang menyerupai gua. Karena habitatnya sama, jenis-jenis burung ini sangat mirip, ukuran tubuhnya, hampir sama dan warnanya kebanyakan hitam.

Selain diambil sarangnya, walet juga berguna sebagai pemakan hama. Ternyata, tidak semua sarang burung walet dapat dimakan. Sarang burung walet yang dapat dimakan berasal dari jenis Collocalia fusiphaga. Sarangnya berwarna putih. Kalau sarang walet dari jenis C. maxima sarangnya bercampur dengan bulu-bulu dan rumput.

Banyak orang yang menyamakan, burung sriti dengan walet, tetapi hal itu disangkal oleh Prof Somadikarta. “Burung sriti bukan walet, tetapi kepinis, bentuknya memang mirip sekali tetapi ordonya sangat berbeda. Sriti bisa hinggap, tetapi kalau walet hanya bisa menggantung”, demikian kata ahli burung walet itu.

KENAPA WALET?
Tahun 1952, Pak Soma sudah men-jadi asisten di UI (dulu di Bogor), tetapi karena tidak ada guru besar zoologi, ia dikirim untuk studi di Berlin, Jerman, dan selesai 29 Mei tahun 1959, kemudian langsung mengajar. Kebetulan waktu itu jabatan direktur Museum Zoologi di Bogor sedang kosong. Prof Sarwono lalu menempatkan Pak Soma menjadi pejabat direktur. Gajinya ngeri sekali untuk ukuran sekarang, Rp. 900,- untuk 3 bulan.

Waktu ditawari untuk mengambil spesialisasi Pak Soma memilih Ornitologi. Kenapa? Karena tidak ada yang mengambil spesialisasi itu karena sukarnya. Guru besarnya, Prof. Meyer berkata,” Masih muda kok mau ambil yang sukar?!” Selain mengambil spesialisasi di bidang yang paling sukar, Pak Soma masih memilih untuk meneliti bidang Ornitologi yang masih banyak masalah taksonominya, yaitu burung walet.

PROSPEK BISNIS
Di pasaran, sarang burung walet biasanya kita dapatkan di toko obat Cina. Biasanya diiklankan asli dari Cina. Warnanya ada yang putih, kuning, merah, sampai hitam. Harganya bervariasi. Yang paling mahal berwarna putih. Konon harga per kilonya sekarang sekitar 5 juta rupiah.

Prospek bisnis pengelus lidah yang satu ini memang sangat cerah. Indonesia mengapalkan sarang burung seharga 20 juta dollar setahun ke Hongkong. Itu baru Hongkong, belum negara-negara lain.

Negara lain yang juga mengekspor sarang burung walet adalah Thailand, Malaysia, bahkan Cina yang sama sekali tak menghasilkan sarang burung walet. Cina mengimpor untuk kembali mengekspor ke banyak negara lain.

Karena prospek yang sangat menguntungkan ini, Pak Soma kini sedang mendidik orang untuk membudidayakannya. Ia mengaku belum menemukan resep yang pas untuk membudidayakannya. Kenapa begitu susah sih?

Kesulitan pembudidayaan burung walet sebagian besar karena sifat burung itu sendiri. Burung walet biasanya terbang terus menerus. Makan pun ia sambil terbang. Kalau lelah, ia masuk ke gua dan menggantungkan diri di dinding gua. Kaki burung walet sangat lemah. Ia tidak bisa mengambil ancang-ancang untuk terbang dengan kakinya yang lemah itu.

Karena kakinya yang lemah itu burung walet digolongkan dalam ordo Apodidae, burung yang “tak berkaki”. Karena kakinya yang lemah itu pula, burung walet hanya bisa makan dengan cara menyambar. Ia tidak bisa seperti ayam, jongkok diam-diam sambil mematuki makanannya. Menurut Prof Somadikarta, makanan pokok burung walet hanya serangga. Ia tidak doyan makanan lain.

Pembudidayaan burung walet dilakukan dengan mengusahakan agar burung itu mau bersarang di rumah-rumah. Rumahnya dipilih yang gelap untuk meniru lingkungan burung walet yang gelap. Jika berhasil, nantinya sarang burung walet dapat dipanen sesuai dengan pasarannya.

Pada jenis walet tertentu, di kegelapan 20 persen ia sudah mau bersarang. Tetapi untuk mendapatkan sarang yang putih, kegelapan harus total.

Cuma, sampai sekarang pembudidayaan masih sukar. Belum diketahui cara terbaik. Misalnya pada rumah tertentu, kawanan burung walet itu mau membuat sarangnya dan bertelur, tetapi pada rumah lain mereka ogah. Walaupun ke dua rumah itu bersebelahan dan sama gelapnya.

Untuk memikat burung walet, ada kiat-kiat yang bisa dicoba. Misalnya, di rumah yang telah disediakan diputar rekaman suara burung walet. Itu dimaksudkan agar burung walet mengira tempat yang baru itu banyak teman-temannya. Cara ini kadang berhasil.

Cara lain dengan menggunakan burung sriti untuk mengasuh anak burung walet. Sarang burung sriti beranak walet itu kemudian ditempatkan di rumah kosong. Setelah dewasa burung walet asuhan sriti telah terbiasa dengan rumah itu. Ia kadang memanggil teman-temannya untuk tinggal bersama.

Sebenarnya walet cepat berkembang biak. Menurut Prof. Soma, dari bertelur sampai menetas walet hanya perlu waktu tiga minggu.

Burung walet, sekali bertelur dua. Kalau sarangnya diambil, mereka berusaha untuk membuat sarang lagi. Kalau tak dirangsang demikian, mereka hanya akan bertelur dua saja.

Tak terasa hari semakin siang, dan waktu yang disediakan untuk AKU-TAHU telah habis. Pada saat itu tamu-tamu yang lain sudah menunggu.

Mau tahu pesan Pak Soma pada generasi muda? “Jangan suka ikut-ikutan, jadilah pelopor,” katanya. “Kalau kamu terpaksa mengerjakan apa yang sudah pernah dikerjakan orang, berusahalah untuk mengerjakannya dengan jauh lebih baik,” sambungnya lagi. [R. R/BW]

Sumber: Majalah AKU TAHU 125/OKTOBER 1993

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten
Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker
Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat
Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel
Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina
Soal Polemik Publikasi Ilmiah, Kumba Digdowiseiso Minta Semua Pihak Objektif
Berita ini 82 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 24 April 2024 - 16:13 WIB

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 April 2024 - 13:24 WIB

Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten

Rabu, 24 April 2024 - 13:20 WIB

Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker

Rabu, 24 April 2024 - 13:11 WIB

Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat

Rabu, 24 April 2024 - 13:06 WIB

Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB