Bagaimana awal jagad tercipta, banyak yang berspekulasi. Namun pengetahuan kita ini belum bisa membuktikan mana yang benar. Apakah jagad tercipta dari tidak ada?
Jagad Raya mengembang. Inilah kenyataan yang tidak bisa kita sangkal, sejak Edwin Hubble mengamati pergerakan menjauh galaksi, tahun 1928 lalu. Ke arah manapun kita memandang, kita melihat galaksi menjauh; semakin jauh jarak galaksi itu dari burni, semakin cepat geraknya.
Dengan logika sederhana saja, kita mengerti, bahwa di masa lampau, jagad tentu lebih mampat dari sekarang ini. Semakin lampau, semakin padat. Dan antara 12 — 18 milyar tahun lalu, semua materi dalam jagad menggumpal dalam sebuah titik padat tak terhingga. Titik ini — serupa dengan titik jantung lubang hitam — disebut singularitas.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Itulah awal penciptaari alam maha luas yang kita tinggali. Tapi apa yang terjadi saat penciptaan, tepatnya tak ada yang tahu. Kalau materi termampatkan begitu rupa, ruang waktu, melebur, sampai-sampai hukum-hukum fisika yang kita kenal selama ini ikut melumat. Keadaan yang tak tergambarkan!
Secara singkat, kita bisa saja mengatakan jagad berawal dari Big Bang. Tapi, apakah benar Big Bang? Dengan pertolongan kemajuan bidang fisika partikel, para ilmuwan memang berhasil mengintip pintu-pintu lorong masa lalu. Sekarang ini perbatasan pengetahuan manusia berkisar sekitar pintu kelima; pintu masuk bertuliskan 10-35 detik.
Setiap ruang, dalam lorong itu, mengisahkan sebuah tahap evolusi jagad raya, ditandai dengan sifat-sifat khusus materi serta interaksinya. Kita sendiri, kini, berada dalam ruang yang dingin, renggang dan materi berbentuk atom. Kalau ruang ini kita telusuri ke arah masa lalu, suhu terasa semakin tinggi. Lalu, tibalah kita pada pintu pertama, bertanda 500.000 tahun setelah Big Bang. Di dalamnya adalah ruang kemilau bersuhu 3.000°. Tumbukan antar partikel begitu garang, sehingga atom-atom tak pernah terbentuk. Semua materi berbentuk inti bebas elektron bebas, dalam wujud fisik yang disebut plasma.
Dengan cara sama, kita akan sampai pada pintu ke dua, yang berhad dibuka tahun 1930-an. Pintu megah ini bertandakan 3 menit setelah Big Bang. Dalam ruangan itu, tumbukan partikel terlalu energetik hingga intipun tak bisa terbentuk. Yang ada hanya partikel-partikel berenergi tinggi. Dan di ujung ruang nuklir ini, terpampang pintu 100 mikro-detik. Di belakang pintu ini, partikelpun sudah tak mungkin terbentuk. Bentuk materi yang ada disebut Quark. Quark adalah partikel dasar yang akan membentuk inti atom.
Pintu berikutnya adalah pintu ke empat bertuliskan seper-seratus trilyun detik. Sebuah pintu yang membatasi ruang yang memamerkan sifat-sifat fisika yang tak pernah kita kenal sebelumnya. Dalam era kita, jagad raya diatur oleh 4 hukum dasar: gravitasi, elektromagnetik, gaya lemah dan gaya kuat (lihat AKU TAHU/Februari ’84). Gravitasi merupakan gaya terlemah namun paling dominan, karena pengaruhnya pada materi/energi. Elektromagnetik mengikat atom, molekul, benda hidup hingga pengaturan kegiatan harian manusia. Sementara itu, dunia sub-atom diatur oleh gaya lemah yang bertanggung jawab pada peristiwa peluruhan radioaktif; dan gaya kuat, yang mengikat inti atom, yang nienyatukan quarks menjadi inti atom.
Tetapi, dalam ruang ke lima itu, energi terlalu tinggi sehingga terwujudlah identitas dasar gaya lernah dan gaya elektromagnetik; dan jumlah total gaya yang mengatur interaksi materi berkurang menjadi tiga saja.
Kedua gaya itu bergabung pada suhu seribu trilyun derajat, sesuai dengan energi seratus milyar elektron-volt. Pada saat itulah terlihat bahwa gaya elektro-lemah diangkut oleh partikel-W. Sebelumnya, para ilmuwan hanya mengenal foton sebagai pengangkut gaya pada cahaya.
Pintu ke empat baru berhasil dibuka Desember tahun lalu. ‘Kuncinya’ ditemukan di reaktor pemercepat partikel CERN di Swiss.
Pintu terakhir yang diharap dapat segera didobrak adalah pintu ke lima. Kita punya gagasan anggun tentang sifat alam dalam ruang di belakangnya, tapi kita belum berhasil membuktikannya.
Tapi, semua ilmuwan sepakat: dalam umur yang begitu singkat, jagad raya mempunyai energi luar biasa tinggi, setara dengan suhu sepuluh ribu trilyun-trilyun derajat. Pengatur jagadpun sudah berkurang menjadi dua gaya saja. Karena gaya kuat kini bergabung dengan gaya elektro lemah, menjadi sebuah gaya gabungan.
Sifat pemuaian jagad juga berbeda seluruhnya dengan yang kita amati melalui teropong kita. Pada usia 10-35 detik itu, laju pengembangan jagad tiba-tiba bertambah dengan dahsyat, hingga seluruh ruang mengalami inflasi hebat . Dari sebesar proton, ruang memuai sebesar buah anggur, dalam waktu super singkat. Teori inflasi diajukan oleh seorang ahli fisika partikel dari MIT (Massachusetts Institute of Technology), Alan Guth tahun 1980.
Pengaruh pandangan Guth cukup besar. Karena ada masa dimana kecepatan pemuaian ruang berubah, para ilmuwan berfikir kembali bahwa mereka tidak bisa menarik garis menuju masa lalu dengan begitu saja . Selama ini, kita mencoba memahami masa muda jagad dengan mengembalikan seluruh gerak pengembangan ke masa lalu. Hingga sampailah kita pada titik singularitas tadi. Guth memberi kemungkinan singularitas tak pernah ada!
Jawab terhadap kemungkinan itu tersembunyi dalam ruang berikutnya, di belakang pintu tertutup bertuliskan Era Planck . (Max Planck adalah salah seorang penemu mekanika kuantum). Dalam masa itu, sepersepuluh juta trilyun-trilyun-trilyun detik setelah Big Bang, kita tak bisa lagi membedakan gravitasi, gaya terakhir yang sejak tadi enggan bergabung, dengan gaya gabungan. Maka dikenallah sebutan gaya paduan agung. Sayangnya kita belum menemukan kunci masuk ke ruang misterius Planck. Terlalu sukar menggabungkan gravitasi dengan gaya pengatur dunia mikro.
Sekarang ini, bolehlah kita bersabar menganggap ruang Planck sebagai perbatasan terakhir yang boleh kita masuki. Kita semula menduga di sana tersimpan singularitas. Tapi sekarang?
Untuk memperoleh gambaran pengembangan jagad, fisikawan James Trefil mengajak kita menunggui adonan roti yang sedang mengembang. Karena adonan roti memakai ragi, reaksi kimia akan menghasilkan karbondioksida yang membuat adonan memuai menjadi beberapa kali lebih besar dari ukuran semula.
Kalau seseorang masuk ketika adonan sedang memuai, ia bisa mengukur kecepatan pemuaian, dan menelusur ulang ukuran dan bentuk adonan mula-mula. Ia menemukan waktu awal ketika adonan masih sangat padat, tapi tidak dari sebuah titik. Ada ukuran batas, dimana sebelumnya proses yang berlangsung berbeda sama sekali. Yaitu proses pencampuran bahan-bahan pembuat adonan.
Ia yakin adonan roti tidak bermula dari sebuah titik singular karena ia sudah sering sekali melihat orang membuat roti. Tapi manusia cuma mengenal satu alam semesta, sehingga persoalannya menjadi tidak sesederhana adonan roti. Mungkinkah, sebelum era Planck, tidak pernah ada titik singularitas itu? Apabila benar begitu, apa maksud Big Bang?
Istilah Big Bang memang digunakan untuk menjelaskan dua gejala yang sama sekali berbeda. Pertama, Big Bang digunakan untuk menggambarkan peristiwa eksplosif, pembentukan jagad dari sebuah titik singularitas. Tapi, bisa juga menggambarkan seluruh skenario pemuaian dan evolusi seperti uraian di atas tadi. Big Bang sendiri tidak dipertentangkan. Yang menjadi persoalan bagi para kosmolog kini, apakah pemuaian itu benar bermula dari sebuah titik mampat tak berhingga, yang tak terlukiskan oleh matematika milik kita selama ini.
Sedikitnya, ada tiga pandangan yang telah dikembangkan oleh para kosmolog: geometrik, dimensi jamak dan dinamika. Skenario geometrik disukai oleh kosmolog yang mencoba mengungkapkan era Planck memakai Teori Kenisbian Umum Einstein. Teori ini dengan indah mengisahkan bagaimana kita bisa sampai pada sebuah alam semesta yang akan mulai mengembang. Tapi tidak menjelaskan bagaimana alam semesta itu bisa menjadi ‘ada’.
Sebelum Big Bang
Beberapa waktu lalu, Francois Englert dan Raoul Brout dari Free University di Brussels mengembangkan pandangan yang mengatakan bahwa jagad sepenuhnya hampa sebelum Big Bang. Sejak mula, sifat hampanya tidak stabil. Bayangkanlah kehampaan itu sebagai kisi-kisi yang membentang datar. Bila segumpal kecil materi muncul dalam jagad Brout-Englert, kisi akan mengembang sedikit. Energi positif yang diperlukan untuk mencipta materi diimbangi dengan energi negatif akibat pemuaian kisi. Sehingga energi total tetap kekal. Model Brout-Englert begitu rupa, sehingga sekali saja materi muncul, kisi mengembang; makin banyak materi yang tercipta, makin mengembang, dan seterusnya.
Dalam pandangan ini, waktu nol menjadi tidak berarti. Sepotong massa yang muncuk pertama kali berasal dari fluktuasi acak yang umum terlihat dalam. sistem sub atorn. Sekali materi muncul, dinamika ‘ruang hampa’ tumbuh menjadi alam .semesta yang kini kita kenal. Tapi kenapa ruang hampa itu harus punya sifat seperti yang diharapkan oleh mereka berdua, tidak begitu jelas.
Sementara itu, pandangan matra jamak jauh lebih susah dibayangkan. Sehari-hari kita hidup dalam ruang-waktu matra-4. Pandangan matra jamak bermain-main dengan 10 atau 11 matra. Tentu kita tak bisa menggambar mahluk apapun yang punya begitu banyak matra.
Menurut pencetus gagasan ini, jagad terlihat singular karena kita memandang sesuai pilihan kita, 4 matra. Tapi, dalam 10 matra misalnya, singularitas akan lenyap. Misalnya saja , seekor semut merambat pada sehelai plastik tipis yang dibentangkan di atas meja. Dengan tenang ia mengembara di atas dataran dua-matra hingga sampai ke tepi meja, ia mengikuti bentuk meja -turun masuk matra ke tiga. la masih hidup, tapi rekan semut di belakangnya terkejut alang kepalang. Masalahnya, ia tak mengerti ada dimensi ke tiga. Baginya teman tercintanya lenyap ditelan singularitas.
Sebelum era Planck, singularitas menjadi tidak singular lagi, kalau kita memahami sifat jamak matra dalam jagad waktu itu. Tapi matra ekstra hanya terasa pengaruhnya ketika, ukuran jagad masih sangat kecil. Setelah era Planck, efek itu tak memegang peran lagi. Spekulasi terakhir —dinamika— merupakan favorit beberapa kosmolog seperti James Trefil dan Edward Tyron. Gagasannya dimulai dengan mempelajari sifat-sifat dan perangai partikel elementer ketika dalam era Planck.
Misalnya saja kita mengambil contoh perbedaan pandangan antara fisika klasik dengan mekanika kuantum. Secara Idasik, ruang hampa berarti tidak ada molekul, atom dan sebagainya. Prinsip ketidakpastian dalam kuantum menyebabkan sistem ruang hampa sangat rumit. Pasangan partikel-anti partikel dapat meletup muncul dalam ruang kosong itu. Seperti mekanisme pembuatan pop-corn.
Edward Tyron lebih jauh beranggapan jagad sendiri mungkin merupakan ‘gelembung’ yang sedang muncul dalam samudra hampa. Kala hidup 15 milyar tahun boleh jadi cukup ‘singkat’ ditinjau dari sudut pandang mekanika kuantum. Kalau begitu, jagad yang bermula dari campuran materi dan anti materi, lalu berkembang menjadi susunan materi, cumalah sebuah ‘kebetulan’. Seperti kata Tyron, bahwa jagad raya kita hanyalah sebuah gelembung yang bisa tercipta setiap waktu.
Spekulasi lebih modem diungkapkan oleh David Schramm di Universitas Chicago. Dalarn era Planck, energi dan massa setiap partikel luar biasa besar, sehingga setiap partikel merupakan lubang hitam. Kenyataan ini berkem-bang sesuai formula terkenal. Einstein: bahwa energi setara dengan massa dikalikan kuadrat kecepatan cahaya (E=mc2).
Lubang hitam seperti itu tidak stabil. Mereka akan memancarkan energi dalam bentuk radiasi hingga akhirnya mereka sendiri meradiasi sampai lenyap. Lubang hitam yang begitu banyak dalam era Planck; mirip gelembung-gelembung busa sabun, terlihat bergelembung, meradiasi energi, lalu hilang .
Jadi bila pintu gerbang Planck yang begitu kokoh bisa kita buka, kita melihat lautan buih terbentang tanpa batas. Seperti pada garnbaran fluktiasi kuantum, jagad bermula ketika sejumlah ‘gelembung’ kebetulan muncul bersama. Bedanya, menurut skenario terakhir ini, jagad mulai ada justru pada waktu Planek. Tak ada saat nol, tak ada singularitas. Rasanya sukar membayangkan bahwa jagad yang begitu banyak rnengandung materi berupa galaksi, bintang, planet sampai manusia sesungguhnya berasal dari tidak ada.
‘Tidak ada’ itu mungkin sebuah tempat yang tidak kita mengerti. Alex Vilenkin, seorang profesor Rusta, berpen-dapat gelembung muda jagad raya telah melewati sebuah lorong dari ‘sebuah tempat; persis seperti tikus metafisik yang tiba-tiba muncul dalam ruang-waktu. Karena tidak ada berarti tak ada ruang, tak ada waktu, hanya sebuah epoch abadi. Apakah kita ‘dilemparkan’ dari sana?
Semuanya memang masih berupa ramalan ilmiah. Tapi, kelihatannya, kalau kita mencoba menghindarkan singularitas, awal kita dihadapkan pada gagasan baru yang cukup mengejutkan. Bagaimanapun, pengetahuan kita kini belum bisa membuktikan gagasan mana yang benar. Sekarang ini, pengetahuan kita mengembara dalam ruang berumur 10-35 detik, sedang pintu ke ruang Planck masih tetap tertutup. Di sanalah terletak jawab bagi pertanyaan yang paling mendasar: apakah jagad tercipta dari tidak ada?
Oleh Karlina Leksono
Sumber: AKU TAHU/September 1984