Prof. Dr. Teuku Jacob, M.S., M.D., D.Sc. adalah seorang anak bangsa yang memiliki keahlian ilmiah yang khas, yaitu antropologi ragawi (physical anthropology), lebih khusus lagi Paleoantropologi. Melihat jalur pendidikannya, mestinya ia menjadi dokter, karena gelar sarjana pertamanya di bidang ilmu kedokteran, Fakultas Kedokteran, UGM, tahun 1956. Namun apa daya, ia paling anti dengan bau mayat. Padahal bergumul dengan mayat adalah bagian penting dalam pendidikan kedokteran. Tak guna berputus asa, karena jalan keluar pasti ada. la tetap berurusan dengan mayat, tapi dengan mayat yang tidak berbau lagi, yaitu yang telah memfosil berumur ribuan tahun. Inilah bahan garap bidang antropologi ragawi yang digelutinya.
Untuk sampai pada keahliannya itu, jauh sudah jalan yang telah ia tempuh. Ia telah berangkat ke University of Arizona di Tucson untuk belajar antropologi (1957- 1958), ke Howard University di Washington DC untuk belajar antropologi ragawi (1958-1960), kemudian mengikuti rotating internship di Providence Hospital, Washington DC (1960- 1961). Dari dua studi terakhir ini, beliau mendapatkan dua gelar magister. Gelar doktor diperolehnya di Rijksuniversiteit Utrecht, Belanda, 1968. Status sebagai Guru Besar pun melekat padanya sejak 1971.
Bagaikan bukti dari gairahnya kepada Ilmu pengetahuan, sudah 279 artikel –belum termasuk 10 buah buku— dihasilkannya dalam rentang tahun 1960-1999. Minat yang ditunjukkan dalam tulisan-tulisannya begitu luas. Setidaknya menurut analisis staf akademiknya, karya tulis Teuku Jacob mencakup tema kemanusiaan, pendidikan, dan pengetahuan, lalu tema yang menyangkut bidang keahliannya yaitu paleoantropologi. Terdapat pula tulisan-tulisan mengenal bioantropologi, studi perdamaian (polemologi), biologi, ekologi, dan penulisan ilmiah (hodegetika).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Demikianlah, T Jacob telah melewati berbagai sekolah, pekerjaan, pengaIaman, dan jaman. Tertarik dengan itu Zainrud Khatulistiwa mewawancarai T. Jacob di ruang kerjanya yang bersahaja di kantornya, yaitu Laboratorium Bioantropologi dan Paleoantropologi di bilangan kampus Universitas Gadjah Mada, Bulaksumur.
lnilah petikan wawancara dengan Jacob;
Bisa dikatakan Anda telah merasakan hidup di jaman ketika masih dijajah oleh Belanda dan Jepang, lalu jaman yang dikatakan sebagai “ketika politik menjadi panglima”, kemudian masa orde baru, dan akhirnya era reformasi. Bagaimana kesan Anda yang telah mengalami hidup dalam bermacam-macam jaman di Republik ini?
Tantangan di tiap jaman berbeda-beda. Jaman penjajahan, kemerdekaan, pembangunan semuanya berbeda. Di jaman penjajahan orang ingin merdeka. Coba lihat buku sejarah! Semua rakyat ingin merdeka, itu adalah aspirasi besar, dan untuk merdeka tidaklah gampang.
Sering dikatakan bahwa ada suatu masa pada masa pasca kemerdekaan, pembangunan itu tidak terprogram, sebaliknya politik menjadi panglima?
Ya, itu semboyan saja. Memang adakalanya bahwa suatu periode lebih memperhatikan hal tertentu, tapi itu sebetulnya adalah masalah sesaat. Adapun reformasi, reformasi kan belum selesai. Sisa-sisa yang dulu kan masih ada. Jadi reformasi hanya sesaat, sesudah itu hilang. lni serupa dengan revolusi di Eropa 1884. Saat itu beberapa kepala negara terguling, tetapi pola masyarakat tidak berubah, malah kembali seperti semula. Karena untuk menggulingkan seseorang tidak perlu waktu panjang, tapi untuk reformasi perlu waktu, yaitu waktu untuk perubahan mental sebagian besar rakyat. Reformasi pada rakyat, itulah yang paling penting. Kalau yang di bawah sudah berubah, maka yang di atas akan berubah. Tapi kalau mengubah yang di atas belum tentu berubah yang di bawah.
Dari mana dimulainya perubahan atau reformasi itu?
Dari diri sendiri, yang di dalam kepala itu yang harus diubah. Jangan semuanya salahkan pemimpin. Kalangan rakyat ini harus berubah dahulu. Kalau rakyat tidak berubah, pemimpin tak akan berubah. Jadi, bukan mengubah pemimpin tapi diri sendiri. Mengubah jalan pikiran, mentalitas, serta sikap, dari situlah semuanya dimulai.
Salah satu cara mengubah diri sendiri itu adalah pendidikan?
Ya, tapi jangan mengharapkan pendidikan dari guru saja. Pendidikan juga dari sendiri. Kalau murid tidak belajar maka tak akan bertambah pengetahuannya. Murid harus belajar. Guru kan cuma membimbing.
Secara kuantitatif saat ini jumlah sekolah sudah semakin banyak, pendapat Anda?
Ya, tapi jumlah orangnya juga makin banyak. Tak sebanding antara pertambahan rakyat dengan sekolah. Itu harus dilihat, jangan cuma melihat jumlah sekolah antara dulu dan sekarang. Lihat juga berapa jumlah rakyat dulu dan sekarang. Begitu juga berapa jumlah guru? Apakah sama banyaknya pertambahan jumlah guru dengan jumlah rakyat? Guru itu artinya adalah guru yang bekerja sebagai guru, bukan lulusan sekolah guru yang kemudian tidak bekerja sebagai guru. Kalau dia bekerja sebagai pemancing, kan bukan guru. Harap diperhatikan sudah betulkah perbandingan guru dengan rakyat? Apakah tambah besar atau tambah kecil? Jangan dihitung bangunan sekolah saja!
Bagaimana dengan gejala terakhir yang menunjukkan bertambahnya Perguruan Tinggi (PT) terutama di setiap kabupaten/kota?
Ya, itu otomatis. Kalau sekolah menengah bertambah maka sekolah tinggi pun bertambah. Orang tidak punya pekerjaan, yang paling mudah ya bikin sekolah. Lulus dari sospol lalu tidak ada pekerjaan maka dibuatnya sekolah sospol. Kemudian sekolah itu meluluskan sospol lagi yang juga tidak ada pekerjaan, maka dia buat lagi sekolah sospol di kecamatan dan seterusnya.
Anda melihat gejala itu sebagai apa?
Bagaimanapun orang harus mengisi perutnya. Untuk itu harus ada pekerjaan. Kalau tidak ada pekerjaan orang tidak bisa makan. Tidak bisa makan berarti tidak bisa hidup.
Dengan keadaan PT di kabupaten/ kota sedemikian itu, apakah bisa diterapkan pada mereka normatifitas PT yang dikenal sebagai Tridharma (pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat)?
Yang paling penting adalah pendidikan dulu. Kalau sudah beres baru penelitian dan sebagainya. Jangan belum apa-apa sudah penelitian. Kalau pendidikannya tidak benar, mau penelitian orang akan cari uang melulu, tidak ada gunanya. Jadi pendidikan ini sulit, yang paling pokok bagi sekolah adalah mendidik.
Bagaimana pendidikan yang benar itu?
Pendidikan yang benar artinya pendidikan yang membuat orang bisa mencari makan, bisa membuat orang menjadi pendukung kebudayaannya, dan membuat orang menjadi lebih baik. Tidak ada yang lain dari itu, yang bersifat massal hanya yang tiga itu, lainnya hanya tetek bengek. Pendidikan yang benar dalam jangka panjang dan yang paling penting adalah membuat manusia menjadi manusia yang lebih baik. Dalam jangka pendek, harus bisa membuat orang mampu mencari makan dan siap pakai. Sekolah harus dapat membuat anak bodoh menjadi lebih pandai. Jangan sampai terlalu banyak orang bodoh di satu negeri, sebab kalau terlalu banyak maka negeri itu akan tidak karuan (kacau-red). Tidak karuan karena mereka di sini mencuri, di sana berbuat kerusakan, di sini membuat kekacauan. Itu saja yang dikerjakannya. Tetapi tidak perlu pula semuanya menjadi orang yang sangat pandai. Sebab kalau semua menjadi sangat pandai mungkin tidak ada yang menjadi pekerja kasar.
Pendidikan tinggi kita, khususnya dalam arti perguruan tinggi ala Eropa, ini sejarahnya mungkin belum lama, ia belum genap satu abad ada di Indonesia, apa pendapat Anda?
Betul, tapi kita harus lihat bahwa di jaman Sriwijaya dulu sekolah tinggi sudah ada, yaitu sekolah tinggi agama dan pengetahuan. Jadi sudah ada orang datang dari mana-mana ke Sriwijaya. Tidak hanya agama tapi juga cara hidup dan sebagainya karena Budha itu kan tidak hanya agama tapi juga cara hidup, cara membawa diri dalam masyarakat, dan sebagainya. Jadi itu merupakan masalah tentang bagaimana suatu cara hidup yang benar. Kalau dihitung, pendidikan tinggi kita itu sudah lama, hanya saja kemudian terputus. Dari keadaan tidak ada sekolah tinggi lalu Belanda mulai mendirikan sekolah-sekolah tinggi. Jadi, sekolah tinggi sudah ada waktu jaman Belanda yang paling dulu di Jakarta, yaitu kedokteran. Sedangkan universitas baru ada pada jaman kemerdekaan.
Suatu ciri khas perguruan tinggi Eropa abad pertengahan adalah adanya Trivium (tata bahasa, retorika, logika) dan Quadrivium (aritmetika, geometri, astronomi, musik) sementara ciri khas PT di sini, misalnya Sriwijaya tadi, adalah lebih kepada agama, bagaimana tanggapan Anda?
Dulu, di semua,universitas yang paling pokok adalah fakultas agama. Kemudian baru kedokteran, yang lain-lain baru datang belakangan, seperti sastra dan sebagainya. Ekonomi malah belakangan sekali. Agama dan filsafat Itu paling dulu. Setelah itu kedokteran, ilmu pasti, alam dasar, dan yang lain-lain menyusul. Adapun adalah sastra klasik tentang cara berbicara, cara berpidato, cara membaca dan sebagainya, yang lain-lain baru datang belakangan. Perguruan Tinggi di Eropa itu kan belakangan. Mula-mula muncul di Arab, yaitu di Baghdad dan Mesir. Baru setelah itu di ltalia, Perancis, dan tempat lain. Yang paling pokok di Barat itu adalah bagaimana menjadi manusia yang berdiri sendiri, menjadi manusia yang otonom. Itulah yang paling pokok. Jadi, ada pengetahuan untuk merdeka, bagaimana menjadi orang merdeka, Artes liberales. Sekarang, banyak yang tidak tahu bagaimana menjadi orang merdeka. Masih bergantung juga kepada orang lain, dan sedikit-sedikit mengadu kepada pemerintah, tidak bisa mengambil keputusan sendiri, tidak berani bertanggungjawab, tidak punya pendapat sendiri. Ini belum merdeka.
Jika ciri khas PT membentuk manusia otonom/ mandiri, maka kehadiran PT di Indonesia menjadi suatu pertentangan budaya bila dikaitkan dengan masyarakat kita yang biasanya dianggap menganut kolektivisme?
Sebetulnya dua hal itu jangan dipertentangkan. Keduanya harus bersama-sama. Dalam kolektif ada individu. Individu tergolong pula ke dalam kolektifitas. Jadi tidak bisa dipertentangkan. Manusia adalah sosok individual, tetapi dia juga kolektif. Jadi jangan harus individual atau harus kolektif, itu tidak bisa! Tinggal bagaimana mendapatkan kombinasi yang baik antara diri pribadi dan komunitas.
Bagaimana pendapat anda tentang adanya perbedaan sikap dan perlakuan terhadap eksakta dan humaniora?
Itu salah sendiri. Orang sosial merasa rendah diri dalam pertemuan dengan orang eksakta. Sementara orang eksakta merasa dia lebih berguna karena dia dapat memprediksi lebih tepat daripada ilmuwan sosial. Sebetulnya ilmu pengetahuan itu satu. Pemisah-misahan ilmu pengetahuan itu maksudnya adalah untuk memudahkan. Ada orang yang lebih berbakat di bidang ini, ada yang lebih berbakat di bidang itu. Jadi tidak bisa dipisahkan. Misalnya saja, bagaimana bisa menerapkan pertanian kalau tidak tahu sosiologi desa?
Mengapa hal itu bisa terjadi?
Itu bisa terjadi karena orang tidak bisa menguasai semuanya. Yang ada adalah orang yang berbakat bahasa serta ada pula yang berbakat berhitung. Keterpisahan ini berlanjut terus. Sebetulnya pemisahan (analisis-red) itu dimaksudkan untuk disatukan kembali (sintesis-red). Jadi kelanjutan dari analisis kan sintesis. Kalau tidak ada sintesis tidak ada gunanya analisis. Analisis gunanya untuk dapat membuat sintesis.
Ada yang mengatakan bahwa derajat ilmu eksakta, seperti kedokteran, menarik karena ketika jaman penjajahan Belanda banyak terdapat dokter, menurut Anda?
Ya, karena mahal biayanya. Peralatannya mahal. Sedangkan humaniora cuma bicara atau tulisan sudah cukup. Tapi kalau teknik kan perlu peralatan mahal. Oleh karena itu mempunyai standing ekonomis. Karena peralatannya mahal, maka untuk memberi jasa terpaksa dia pungut mahal. Kalau tidak, dia tidak bisa membeli peralatannya itu, jadi begitu. Humaniora sangat tergantung pada budaya sedangkan yang eksakta kurang bergantung dengan budaya. Dalam humaniora yang pokok adalah budaya, kemudian baru berbeda-beda. Keduanya sebetulnya sama, tapi daya prediktifnya berbeda. Oleh karena itu dari dulu saya bilang, SMA jangan dipisah (menjadi jurusan-jurusan-red), dipisah kalau sudah di Perguruan Tinggi.
Seandainya suatu daerah di Indonesia menjadikan Anda sebagai konsultan pendidikan, lalu Anda diminta untuk mempersiapkan suatu pend dikan yang ideal bagi daerah itu, maka apa yang akan Anda sarankan?
Orang yang dididik harus tahu lingkungannya. Misalnya daerah Maluku yang tujuh puluh persennya merupakan perairan, maka yang dididik harus bisa mempergunakan air. Dia harus bisa berenang, harus tahu memancing, naik perahu, dan sebagainya. Jadi, dia tidak perlu tahu bagaimana naik gunung dan sebagainya karena di Maluku gunung tidak banyak dan tidak tinggi-tinggi. Dia harus kenal lingkungannya yang paling kecil, sudah itu baru melebar, sampai akhirnya dia harus tahu keadaan dunia dan alam. Karena semua itu tempat tinggalnya. Jadi, tahun terakhir di bangku SD harus bisa mengetahui keadaan pada waktu itu dan di tempat itu. Dia harus bisa baca koran, tahu kejadian sekarang. Tahu mana berita yang bisa dipercaya, mana yang tidak bisa, mana yang disangsikan, mana yang harus kita waspadai tapi belum tentu terjadi. Jadi, jangan lulus SD koran pun tak tahu. Karena kalau tidak baca koran bisa gampang menjadi buta huruf lagi. Buta huruf sekunder ini lebih sulit memberantasnya.
Dengan resep pendidikan seperti itu, apa yang terjadi ketika Anda bertukar pikiran dengan mereka?
Pertama orang ingin agar nasional harus sama. Padahal ada yang harus sama tapi ada yang harus berbeda. Harus lengkap, jangan pendidikan dipecah-pecah kayak lukisan Picasso, kacamata sendiri, hidungnya sendiri. Tapi dia tidak menggambar manusia yang utuh. Karena terpecah-pecah, sepanjang jaman jadinya manusia terfragmentasi. Manusia terfragmentasi menjadi suku cadang, yang bisa diganti-ganti. Makanya kini saya membantu mendirikan fakultas kedokteran di Universitas Muhammadiyah Surakarta. Saya katakan bahwa yang paling pokok adalah pendidikan kedokteran yang holistis, menyeluruh. Manusia jangan dilihat hanya dirinya saja, tapi lihat juga keluarganya, desanya, lingkungannya, makanannya, pikirannya, dan sebagainya. Semua itu mempengaruhi penyakitnya dan juga pada kesehatannya. Juga yang pokok adalah pendidikan kedokteran yang integratif, artinya yang kita pelajari sepotong-sepotong itu harus kita integrasi kembali. Jadi saling keterkaitan. A berkaitan dengan B, B dengan C, dan seterusnya. Apa yang dikerjakan tangan harus diketahui oleh mata. Jangan tangannya di sini matanya di sana, kemungkinan keliru akan lebih banyak. Tidak bisa diperhatikan sepotong-sepotong. Manusia harus utuh. Bila tidak utuh maka dia tidak bahagia, tak merasa sebagai dirinya seluruhnya. Anggota keluarga yang mengidap penyakit jantung, kalau keluarganya tidak turut merawat dan memperhatikan, sembuhnya akan lama atau malah sukar sembuh. Karena manusia merupakan kesatuan mental.
Pandangan tentang manusia idealnya menyeluruh, lalu sekarang ini wacananya kembali pada pembangunan daerah. Nah sekarang orang daerah hanya berpikir cari investasi, bagaimana menurut Anda?
lya karena di nasional diberi contoh demikian. Waktu dulu diberi contoh, pokoknya modal asing masuk, hutang masuk, jadi hidupnya dari modal asing dan hutang. Padahal hutang itu harus dibayar, lalu digadaikanlah tambang dan hutan. Kalau kita habisi yang rugi adalah kita sendiri karena benda-benda yang terdapat di alam ini terbatas. Berusaha dimakan sepuas-puasnya di masa kini. Kalau manusia tidak rakus mungkin cukup untuk memenuhi kebutuhannya apa yang terdapat di dunia sekarang. Dunia dapat memenuhi kebutuhan manusia, tapi tidak cukup memenuhi kerakusan manusia. Jadi di situ orang bergantung pada hutang, karena banyak negara yang berlebih uang, tidak bisa ditanam, salah satu cara ialah dengan menghutangkan uang itu. Jadi uang itu hidup, dia beri sekian, tapi yang diterima lebih banyak lagi.
Sedikit tentang penelitian, ada yang bicara tentang nasionalisme penelitan betapa banyak temuan berasal dari Indonesia tetapi malah lari ke luar negeri, bagaimana pendapat Anda?
Orang perlu uang, menyangka uang lebih berharga dari pusaka. Kuburan orang tuanya dijual, bahkan rangka orang tuanya dijual. Ini banyak terjadi. Rangka Toraja itu banyak dijual di daerah lain. Saya lihat di California di mana rangka itu pamerkan. Pada waktu tsunami di Aceh banyak orang Malaysia mencari naskah kuno. Naskah kuno itu dibeli oleh orang Malaysia karena di sana (Aceh-red) banyak orang perlu uang. Begitu juga di sini banyak yang cari keris, tombak kuno, pintu berukir atau gamelan yang keramat. Pusaka semacam patung-patung candi saja banyak yang dijual. Kejadian ini bukan di Indonesia saja, tetapi juga di negara lain mulai Cina, Afghanistan, India, Thailand, Irak, Mesir, dan Yunani. Kadang-kadang barang museum juga dijual. Orang takut, hormat, dan patuh kepada uang. Uang dianggap dewa dunia. Seperti kunci keramat ke tempat yang tidak bisa dimasuki, tapi dengannya kita bisa masuk. Asal ada uang semuanya bisa dibeli. Orang bisa dibeli, bagian badan bisa dibeli, darah bisa dibeli. Jadi hampir tidak ada yang tidak bisa dibeli. Pikiran orang pun dapat dibeli. Bahkan waktunya juga dibeli kan? Kalau dia bekerja dalam waktu satu jam, maka dia akan dibayar sekian. Artinya dalam satu jam itu dia tidak boleh bekerja untuk dirinya sendiri, karena waktunya sudah dibeli.
Naskah: Erwan R Foto: Budi, Arif W.
Sumber: Majalah sains popular Zamrud Khatulistiwa Edisi I- Agustus 2005