Minggu ini di Universitas Airlangga berkumpul para pakar komunikasi. Mereka risau dengan perkembangan teknologi komunikasi mutakhir, karena para ilmuwan dan sarjana komunikasi tampaknya belum siap menghadapinya. Di universitas, para mahasiswa belajar tentang komunikasi tradisional selama satu semester, di luar kampus hampir seluruh kegiatan Komunikasi dilakukan dengan media komunikasi modern. Di perguruan tinggi mereka mempelajari teknik-teknik menulis berita, tetapi tidak pernah mengenal program (wordstar) WS4 dan WS5. Fakultas dan jurusan ilmu komunikasi hidup pada abad pertengahan, sementara masyarakat yang akan menampung para alumni telah memasuki era globalisasi.
Sebenarnya para pakar komunikasi tidak perlu risau. Kesenjangan antara realitas masyarakat dan pendidikan tinggi bukan hanya terjadi pada ilmu komunikasi, tapi juga pada ilmu-ilmu yang lain. Bukankah mahasiswa-mahasiswa fakultas hukum masih berkutat pada hukum warisan kolonial? Bukankah teori-teori sosial diperoleh dari latar belakang budaya yang berbeda dengan latar belakang budaya Indonesia?
Para ilmuwan komunikasi risau tentang ketidaksiapan para alumni untuk menerima teknologi baru, padahal alumni disiplin apa pun tak ada yang bakal siap pakai. Kurikulum relatif tetap untuk jangka waktu tertentu, sedangkan teknologi berubah setiap saat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Merisaukan teknologi yang selalu berubah adalah merisaukan dalam istilah Plato particulare, ilmuwan harus berada pada abstraksi yang Iebih tinggi pada universals. Yang patut mendapat perhatian universitas bukan penyelesaian kasus demi kasus, bukan solusi untuk peristiwa-peristiwa khusus, tetapi kriteria yang bersifat umum. Memang penting bagi para mahasiswa untuk mampu menggunakan perangkat keras, komunikasi modern, tetapi yang lebih penting lagi ialah merumuskan prinsip-prinsip umum untuk menghadapi teknologi komunikasi.
Pernah ada satu saat dalam literatur komunikasi ketika teknologi komunikasi dianggap dapat menyelesaikan segala pesoalan. Ketika Lerner, Pye, dan Schramm meletakkan embrio komunikasi pembangunan, mereka meletakkan media komunikasi sebagai, panacea.
Anda berpendidikan dan berpenghasilan rendah, belilah surat kabar. Masyarakat tidak memiliki empati (yang menjadi bibit modernisasi) dan kekurangan entrepreneurship (yang menjadi pendorong utama kemajuan ekonomi); perbanyak surat kabar, sebarkan radio, dan bagikan pesawat televisi. Sepuluh tahun kemudian, para pakar komunikasi pembangunan berkumpul lagi di Hawaii, dan mereka sudah kehilangan optimisme mereka pada media massa.
Media massa, menurut Lerner ketika meralat teorinya, telah menaikkan keinginan masyarakat lebih dari kemampuan mereka. Karena keinginan itu tidak terpenuhi, mereka mengalami frustrasi, yang pada gilirannya meluas menjadi keresahan sosial. Keresahan sosial hanya dapat diatasi dengan campur tangan militer. Walhasil, pemanfaatan teknologi komunikasi modern hanya mengantarkan bangsa pada kekuasaan militer, Lerner dan kawan-kawannya telah mengoreksi teori mereka, tetapi teori lama mereka diterapkan menjadi kebijakan di negara-negara Dunia Ketiga. Para menteri penerangan masih juga menyelenggarakan proyek-proyek pengadaan teknologi komunikasi.
Untunglah, belakangan ada kebangkitan baru pandangan yang meletakkan teknologi sebagai primadona lagi. Model lama dalam jubah baru. Satelit, faksimili, teletext, dan media elektronik lainnya dianggap sebagai sarana untuk mempercepat pembangunan. Bahkan, para pakar komunikasi mulai menyarankan upaya pengembangan sistem informasi yang memaksimalkan penggunaan komputer. Komunikasi saja tidak cukup; diperlukan kompunikasi (gabungan komuter dengan komunikasi).
Namun, semua itu hanyalah solusi partikular. Pertanyaan kita yang paling mendasar ialah bagaimana menggunakan teknologi komunikasi itu untuk mencapai tujuan kita yang luhur. Yaitu, meningkatkan
martabat kemanusiaan kita, menyebarkan kesejahteraan secara merata, dan menghilangkan penindasan. Yang harus dijawab bukan hanya bagaimana pengaruh teknologi komunikasi pada budaya kita, tetapi bagaimana budaya kita dengan sistem nilai yang kita anut harus mempengaruhi penggunaan teknologi komunikasi. Komunikasi dan budaya, alih-alih sebagai infrastruktur, sekarang harus dipandang sebagai suprastruktur. Mengapa kita tidak menggali sistem nilai kita dalam menghadapi teknologi komunikasi; lalu dari situ kita merumuskan kebijakan komunikasi pembangunan kita. Kita rumuskan universals, kemudian kita jabarkan dalam particulare.
Misalnya, bila sistem nilai Anda Islam, bukanlah semua harus Anda arahkan agar menyebarkan rahmat(kasih) bagi semesta alam. Bila sistem nilai Anda Kristiani, bukankah kasih harus mendasari seluruh kebijakan Anda. Apa pun sistem nilai yang Anda anut, kita menemukan unsur kasih kepada sesama manusia sebagai nilai yang kita sepakati. Kasih adalah lawan dari penghisapan, penindasan, dan penjajahan. Bagaimana kalau dalam Kongres II ISKI ini kita rumuskan komuni-kasih dan bukan kompunikasi.
Oleh Jalaluddin Rakhmat
Sumber: Jawa Pos, 8 Maret 1991