Tim peneliti dari Universitas Diponegoro dan sejumlah pihak memodifikasi alat tangkap ikan. Hasil inovasi itu diharapkan bisa menjaga keberlanjutan pengelolaan sumber daya laut.
Penangkapan ikan selama ini berorientasi pada pemenuhan kebutuhan ekonomi untuk peningkatan produktivitas. Ikan ditangkap sebanyak-banyaknya, hingga biota yang di luar target pun ikut terjaring. Dengan alat tangkap modifikasi, kualitas tangkapan bisa meingkat, keberlanjutan sumber daya ikan terjaga.
Modifikasi alat tangkap tersebut diteliti oleh Departemen Perikanan Tangkap, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Universitas Diponegoro, Kota Semarang, Jawa Tengah. Alat tangkap ramah lingkungan dirancang berdasarkan pada eto-ekofisiologi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Eto-ekofisiologi merupakan ilmu tentang perilaku atau tingkah laku hewan terhadap lingkungan atau obyek tertentu, berdasarkan adaptasi organ tubuh hewan itu. Ini menjadi dasar untuk membuat desain dan konstruksi alat tangkap serta alat bantu tangkap ikan ramah lingkungan.
Guru Besar bidang Ilmu Perikanan FPIK Undip, Aristi Dian Purnama Fitri, mengatakan, tahapan penelitiannya dimulai sejak 1999. Ketika itu, eto-ekofisiologi belum populer di Indonesia. Ia pun melihat Tokyo University, Jepang, mengkaji alat tangkap biota laut dengan ilmu tersebut.
Selanjutnya, ilmu tersebut mulai masuk ke Indonesia. “Penangkapan ikan perlu efektif, efisien, dan selektif. Misalnya, hanya ikan yang pernah sekali kawin yang terjaring dan ikan-ikan kecil bisa lolos dari tangkapan. Juga, selektif pada jenis ikan karena ikan di wilayah iklim tropis lebih beragam ketimbang subtropis,” kata Aristi, Kamis (3/9/2020).
Adapun alat tangkap modifikasi, termasuk cara menangkapnya, disesuaikan dengan perilaku ikan yang ditarget ditangkap. Sebab, ada perbedaan perilaku ikan yang tergantung dari jenis serta stadia atau fase umur ikan.
Sejak tahun 2005, Undip sudah menjalin kerja sama dengan Balai Besar Penangkapan Ikan (BBPI) Kementerian Kelautan dan Perikanan yang berkantor di Kota Semarang. Dengan demikian, setiap ilmu terkait hal tersebut dapat langsung didiskusikan dan dikolaborasikan.
Sejak tahun itu pula, kata Aristi, organisasi non-pemerintah di bidang lingkungan mulai bermitra dengan pemerintah, khususnya terkait kegiatan eksploitasi sumber daya ikan. “Banyak kolaborasi yang prinsipnya memerhatikan ketersediaan sumber daya ikan tersebut,” kata Ketua Departemen Perikanan Tangkap FPIK Undip itu.
KOMPAS/FRANSISKUS PATI HERIN—Hingga Minggu (1/22/2019), terhitung lima tahun, ratusan kapal ikan eksasing dikandangkan di Teluk Ambon, Kota Ambon, Maluku. Kapal-kapal itu pada masa Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti (2014-2019) dilarang beroperasi lantaran menggunakan alat tangkap yang tidak ramah pada lingkungan.
Lebih spesifik
Aristi menuturkan, ilmu tentang tingkah laku ikan yang dipelajari di perguruan tinggi disesuaikan dengan biota laut di daerah sekitarnya. Di Undip, pengembangan penelitian dengan memodifikasi antara lain pukat harimau mini dasar/mini bottom trawl (arad), payang, dan penjebak kepiting.
Arad, yang digunakan untuk menangkap ikan dasar perairan (demersal), selama ini acap kali menangkap semua jenis ikan dengan berbagai ukuran, termasuk anakan ikan. Hal itu membuat yang tertangkap bukan hanya ikan yang ditargetkan, tetapi juga jenis ikan lain.
Modifikasi pun dilakukan berdasarkan eto-ekofisiologi ikan, terutama pada organ penglihatan. “Tujuannya yakni meloloskan ikan dasar yang masih anakan melalui dua filter, yakni selector pada bagian badan arad dan mata jaring berbentuk persegi di bagian kantong,” ujar Aristi.
Pada payang, yang digunakan untuk menangkap ikan permukaan perairan (pelagis) yakni dengan menambahkan window (jendela), dengan bentuk mata jaring persegi pada badan payang. Selama ini mata jaring pada badan payang umumnya berbentuk belah ketupat, yang berdampak pada bervariasinya ukuran panjang tubuh ikan. Ukuran mata jaring pada window 2,5 sentimeter (cm).
Penempatan window di samping badan payang berdasarkan hasil kajian eto-ekofisiologi organ penglihatan. Kebiasaan ikan permukaan saat berenang yakni menghindari obyek di hadapannya dengan berenang ke samping dan ke bawah.
Hasil penelitian menunjukkan, modifikasi payang mampu menangkap ikan dengan ukuran lebih besar dibandingkan alat tangkap payang asli. “Hal itu menunjukkan modifikasi alat tangkap payang dengan window mampu meloloskan ikan ukuran anakan,” kata Aristi.
Pada ikan tenggiri misalnya. Dalam penelitian di Kendal pada 2013, ikan terkecil yang terjaring dengan payang mofidikasi yakni 29 total length (TL) sentimeter (cm), sedangkan pada payang asli 10 TL cm. Sementara pada ikan selar, ukuran panjang ikan yang terkecil yakni 14 cm, sedangkan pada payang asli 1 TL cm.
Selain itu, modifikasi alat tangkap juga dilakukan pada penjebak kepiting bakau, dengan sudut kemiringan pintu masuk 40 derajat dan celah pelolosan setinggi 3 cm. Modifikasi tersebut membuat alat mampu menangkap kepiting stadia dewasa dan meloloskan kepiting stadia anakan.
Dari hasil penelitian di Kendal pada 2014, lebar karapas minimal kepiting yang ditangkap dengan alat hasil modifikasi yakni 4,4 cm-7 cm. Sementara pada alat asli berkisar 2 cm-3,4 cm. Adapun alat modifikasi penjebak kepiting itu telah terdaftar paten dengan Nomor IDS000002607, sejak Maret 2018.
Selama ini, lantaran terkait pemenuhan kebutuhan hidup, nelayan menggunakan jaring agar ikan, ukuran apa pun, sebanyak-banyaknya tertangkap. Padahal, ada nilai tambah jika yang tertangkap satu jenis dan berukuran besar. ”Satu kilogram isi dua ekor lebih baik daripada 1 kilogram isi enam ekor,” ujar Aristi.
Maka dari itu, sejak 2019, Undip melakukan penelitian bersama BBPI dan PT Arida terkait alat tangkap pengganti cantrang. Kala itu, sejak 2016, sejumlah alat tangkap termasuk cantrang dilarang pemerintah, sehingga ada upaya bersama untuk mencari solusi.
Hal itu merupakan penelitian berskala kecil dan belum tuntas. “Sempat ada prototipe, tetapi untuk diuji coba di kolam biasa. Ini bukan proyek besar dari sebuah kebijakan. Dananya pun sendiri. Hanya keinginan dari kami untuk membantu pemerintah dalam melaksanakan standardisasi alat tangkap,” katanya.
Pada tahun 2020, KKP kembali mengizinkan alat tangkap cantrang digunakan lagi. Menurut Aristi, di satu sisi ia prihatin karena kebijakan kembali berubah. Namun, dari sisi peneliti, hal itu tak masalah. Sebagai dosen, yang independen, dirinya memang berkewajiban untuk terus meneliti.
Alat bantu tangkap
Selain alat tangkap modifikasi, Aristi juga meneliti alat bantu tangkap ikan yang berfungsi mengusir biota laut yang dilindungi dari alat tangkap. Sebab, selama ini, banyak jenis ikan yang hampir punah tak sengaja tertangkap. Dengan alat bantu, hal tersebut bisa dihindarkan.
Alat itu sudah diujicobakan antara lain pada alat tangkap long line dan gillnet agar hiu dan pari tak tertangkap. “Dengan demikian, kesan perikanan tangkap tak hanya eksploitasi, tetapi juga memerhatikan konservasi untuk biota-biota laut yang dilindungi,” ujar Aristi.
Alat tangkap modifikasi dan alat bantu tangkap ikan berbasis eto-ekofisiologi diharapkan tak hanya untuk nelayan tradisional. Nelayan skala industri kecil, sedang, dan besar memiliki tanggung jawab sama dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya ikan.
Sementara itu, Dekan FPIK Undip Tri Winarni Agustini berharap, alat tangkap yang didasarkan pada tingkah laku ikan dapat terus dikembangkan. Dengan demikian, ke depan, manfaatnya akan banyak dirasakan oleh banyak nelayan.
Oleh ADITYA PUTRA PERDANA
Editor: EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 7 September 2020