Sejak beberapa tahun lalu, Zakir Sabhara, Dekan FTI UMI Makassar, berkeliling ke berbagai medan bencana bersama mahasiswanya. Baginya, medan bencana adalah tempat belajar tentang hidup yang tak akan ditemukan di kampus.
KOMPAS/RENY SRI AYU—Dekan FTI UMI Makassar dan aktivis kemanusiaan Zakir Sabara berdiri di depan kabin dari kontainer yang digunakan sebagai posko sukarelawan mahasiswa setiap terjadi bencana, Selasa (5/5/2020), di Kampus UMI di Makassar.
Bagi Zakir Sabara, terjun ke medan bencana memberi pengalaman dan pelajaran hidup yang mendalam. Bencana menggembleng jiwa kerelawanan dan empatinya kepada sesama manusia. Ia ingin pengalaman itu dirasakan juga oleh mahasiswa-mahasiswanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Zakir adalah Dekan Fakuktas Teknologi Industri Universitas Muslim Indonesia (FTI UMI), Makassar. Di sela kesibukannya mengajar, ia selalu berusaha menyempatkan diri menjadi sukarelawan di berbagai bencana, mulai dari banjir, tsunami, gempa, hingga pandemi Covid-19. Ia berusaha melibatkan mahasiswanya untuk terjun sebagai sukarelawan demi mendapat pengalaman hidup yang tidak akan mereka peroleh dari bangku kuliah.
Ketika wabah Covid-19 melanda Indonesia, Zakir segera menggerakkan mahasiswanya untuk menjadi sukarelawan. Padahal, ketika itu Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan belum mengumumkan kasus positif Covid-19 di wilayahnya. Pemprov baru mengumumkan kasus pertama positif Covid-19 pada 19 Maret 2020.
Mahasiswa yang digerakkan Zakir berasal dari tiga jurusan di FTI. Setiap jurusan diberi tugas yang berbeda-beda. Mahasiswa Jurusan Teknik Kimia diberi tugas memproduksi cairan pencuci tangan dan disinfektan. Jurusan Teknik Industri ditugasi memproduksi pelindung wajah dan masker.
Adapun Jurusan Teknik Pertambangan diberi tugas lapangan, yakni membagikan cairan pencuci tangan, alat pelindung diri, paket bahan pokok, dan melakukan penyemprotan cairan disinfektan. Lebih dari 300 bangunan di Kota Makassar, Kabupaten Gowa, Maros, Pangkep, hingga Bone di zona merah yang telah mereka semprot. Bangunan itu meliputi rumah sakit, puskesmas, fasilitas umum, perkantoran, dan permukiman di zona merah.
”Awalnya kami bergerak dengan apa yang kami miliki. Beli bahan cairan pencuci tangan dan disinfektan, lalu memproduksinya di kampus,” katanya, Selasa (5/5/2020) sore, di pelataran FTI UMI. Sejauh ini, Zakir dan mahasiswa sudah sebulan menginap di kampus demi perang melawan Covid-19.
Apa yang dilakukan Zakir dan mahasiswanya ternyata mendorong warga dan sejumlah lembaga untuk ikut terlibat. Ada yang menyumbangkan alkohol, kain untuk pakaian hamzat, dan hamzat yang sudah jadi. Ada seorang penjahit yang bersedia menjahitkan hamzat dengan ongkos yang sangat rendah, Rp 30.000 per potong.
”Alhamdulillah, banyak orang baik dan kami mendapat kepercayaan (untuk menyalurkan bantuan). Semua bantuan kami kelola di kampus dengan tetap menaati protokol kesehatan. Anak-anak yang menjadi relawan kami jaga betul agar tidak ikut menjadi pembawa virus,” ujar Zakir yang aktif mengunggah kegiatan dan penyaluran bantuan masyarakat lewat media sosial. Baginya, bantuan berupa sepotong kue pun harus dipertanggungjawabkan kepada penyumbangnya dan masyarakat.
Aktivis lama
Zakir sendiri punya pengalaman panjang dalam kegiatan sosial dan kerelawanan sejak masih kuliah. Saat itu, bersama sejumlah rekan mahasiswa UMI, ia ikut membentuk Yayasan Pekabata yang berposko di dekat TPA Tamangapa, Makassar. Secara rutin, Zakir dan kawan-kawan mengajar anak-anak dan warga di sekitar TPA.
Mereka juga berkeliling kota untuk mengajar anak-anak jalanan. Zakir dan kawan-kawan menemui pekerja seks komersial sekadar untuk mendengarkan kisah hidup mereka dan membagikan pengetahuan atau saran.
Ketika tsunami melanda Aceh pada 2004, Zakir terjun sebagai sukarelawan bencana. Ia dan kawan-kawan aktif di posko Makassar untuk mengatur bantuan yang akan dikirim ke Aceh.
Di luar kegiatan itu, Zakir juga menjadi aktivis yang siap turun ke jalan untuk mempersoalkan kebijakan pemerintah atau pihak kampus yang menurut dia tak berpihak kepada rakyat. Karena itu, sering mengkritik kampus, ia kaget ketika diminta oleh Dekan FTI untuk menjadi dosen di sana setelah lulus kuliah.
Awalnya Zakir menolak. Alasannya, dia tak tepat jadi pengajar. Namun, dekan yang menawarinya berkata bahwa itu permintaan rektor. Menghadap rektor, Zakir lagi-lagi menyatakan penolakannya sehingga rektor memintanya menghadap Ketua Yayasan UMI saat itu, Prof Basalamah, yang oleh para mahasiswa sudah dianggap sebagai bapak.
”Saya menghadap ke ketua yayasan untuk menyatakan penolakan saya. Tetapi, sesampai di sana, belum sempat saya ngomong, ketua yayasan dengan cara kebapakan langsung meminta saya menyiapkan diri untuk mengajar. Saya akhirnya luluh dan bersedia ikut tes,” tuturnya.
Singkat cerita, melalui serangkaian tes, dia lulus menjadi dosen. Namun, dia tak mengajar selama lebih dari setahun. Alasannya, dia hanya lulusan S-1 dan tak pantas mengajar mahasiswa S-1. Dia kemudian meminta izin mengambil S-2 walau tanpa biaya kampus. Zakir berangkat ke ITS, Surabaya, dan menyelesaikan kuliah dengan sangat baik. Setelah itu, ia kembali ke UMI menjalankan tugasnya sebagai dosen.
Suatu ketika, dia diminta menjadi pembantu dekan. Namun, ia mundur dari jabatan itu karena berbeda pendapat dengan pihak kampus. Dia tak peduli saat rekan sejawatnya mengatakan perbuatannya akan membuat dia tak lagi punya peluang menduduki jabatan apa pun. Bagi Zakir, mengajar mahasiswa sudah sesuatu yang membahagiakan.
Namun, nasib berkata lain. Tahun 2014, dia diminta menjadi dekan FTI UMI. Cukup lama Zakir berpikir hingga akhirnya menerima dengan syarat dirinya diberi keleluasaan melakukan perombakan setidaknya di fakultas yang dipimpinnya. Ia membenahi urusan administrasi dan pengelolaan keuangan agar lebih transparan.
Sebagai aktivis sosial dan kemanusiaan, ia mendorong mahasiswa terlibat sebagai sukarelawan di medan bencana. Dengan cara itu, ia ingin mahasiswanya menjadi orang-orang yang siap menghadapi aneka tantangan dalam hidup.
”Entah mereka bekerja di mana, terjun ke mana, menjadi pemimpin, saya berharap mereka akan selalu punya sifat kerelawanan, empati, menjunjung nilai kemanusian, dan siap di segala situasi termasuk kondisi bencana,” ucapnya.
Zakir tidak hanya sebatas mendorong, tapi juga memfasilitasi mahasiswa yang menjadi sukarelawan bencana. Ia membangun Cabin FTI UMI di area ruang berkegiatan mahasiswa. Kabin yang terbuat dari kontainer bekas itu menjadi posko mahasiswa setiap kali ada bencana.
Sejauh ini, Zakir dan mahasiswanya telah berpengalaman menjadi sukarelawan di berbagai medan bencana. Mereka antara lain terjun ke lokasi bencana gempa di Lombok, NTB; gempa dan likuefaksi di Palu, Sulawesi Tengah; serta banjir besar di beberapa kabupaten di Sulawesi Tenggara.
Zakir bersyukur belakangan menteri pendidikan mengeluarkan keputusan yang mengonversi kerja kerelawanan dengan hitungan SKS. Hal yang sudah lama dia gagas di kampus, tetapi belum terwujud.
”Sebenarnya mahasiswa saya tak peduli. Mereka sudah senang melakukan kerja-kerja kerelawanan. Tetapi, dengan keputusan ini, setidaknya ada apresiasi bagi mahasiswa yang menghabiskan waktu di lapangan dan kadang bertaruh nyawa,” katanya.
Zakir Sabhara H Wata
Lahir: Ujung Lamuru, Bone, Sulawesi Selatan, 24 Mei 1975
Istri : Purnamasari
Anak: Muhammad Emir Yassiturusi Lawata, Diva Suci Ininnawa Lawata, dan Muhammad Fuja Pallawa Lawata.
Pendidikan:
Sekolah Dasar Inpres 3/77 Ujung Lamuru, Bone (1987)
Sekolah Menengah Pertama Negeri Ujung Lamuru, Bone (1990)
Sekolah Menengah Atas Negeri Lappariaja, Bone (1992)
Sekolah Menegah Atas PGRI Lappariaja, Bone (1993)
S-1 Teknik Kimia Fakultas Teknologi Industri Universitas Muslim Indonesia (1999)
S-2 Teknik Kimia Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya (2004)
S-3 Program Doktor Ilmu Lingkungan (PDIL) Universitas Brawijaya, Malang (2018)
Jabatan:
Dekan FTI UMI periode 2014-2019 dan 2019-sekarang
Oleh RENY SRI AYU
Editor BUDI SUWARNA
Sumber: Kompas, 13 Mei 2020