Sri Asih mengembangkan pembibitan macadamia yang dibagikan gratis kepada warga. Harapannya, tanaman macadamia bisa mendukung pemulihan lahan dan bisa memberikan dampak ekonomi bagi warga.
KOMPAS/DEFRI WERDIONO–Sri Asih, penyuluh kehutanan dan pelestari lingkungan di Malang, Jawa Timur.
Hampir 30 tahun Sri Asih (48) menemani masyarakat, baik di dalam maupun luar kawasan hutan, di Malang Raya, Jawa Timur. Sebagai penyuluh kehutanan, tidak terhitung lagi berapa komunitas warga yang telah ia dampingi terkait upaya rehabilitasi lahan dan pemberdayaan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pada Desember 2019, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar menyerahkan penghargaan kepada sejumlah tokoh pada acara Gerakan Nasional Pemulihan Daerah Aliran Sungai 2019, di Kota Batu, Jawa Timur. Salah satu penerima penghargaan itu adalah Sri Asih yang tinggal di Kelurahan Temas, Kecamatan/Kota Batu.
Perempuan paruh baya itu menerima penghargaan atas jasanya sebagai penyuluh kehutanan yang aktif berkontribusi dalam kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan. Seusai menerima penghargaan, Asih sempat menunjukkan kepada Siti Nurbaya—dan pejabat daerah yang hadir—demplot bibit macadamia yang dibuat oleh Kelompok Tani Hutan (KTH) Panderman, di mana Asih menjadi pembimbing teknis sekaligus manajer.
Tanaman macadamia cukup dikenal di wilayah Jawa Timur bagian timur, seperti Kabupaten Bondowoso. Sayangnya, di wilayah Kota Batu dan Kabupaten Malang (Jawa Timur bagian tengah dan barat), tanaman ini belum banyak dibudidayakan.
Padahal, macadamia dinilai cocok untuk pemulihan lahan. Vegetasi yang memiliki kulit buah keras ini juga cocok dengan kondisi topografi Batu yang ada di dataran tinggi. Tanaman ini mampu tumbuh pada ketinggian 800 meter di atas permukaan laut.
Satu lagi keuntungannya, vegetasi ini punya produktivitas dan nilai ekonomis tinggi. Satu pohon disebut-sebut mampu menghasilkan 20-25 kilogram kacang per tahun dan meningkat seiring bertambahnya usia. Harga kacang macadamia mentah Rp 180.000-Rp 220.000 per kilogram dan naik menjadi Rp 450.000-Rp 600.000 per kilogram dalam bentuk olahan.
KOMPAS/KOMPAS/DEFRI WERDIONO–Sri Asih (lima dari kiri) saat menerima piagam penghargaan dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar pada acara puncak Gerakan Nasional Pemulihan Daerah Aliran Sungai 2019 di Batu, Jawa Timur, Desember 2019 lalu.
”Saat ini, ada stok 7.500 batang bibit macadamia di tempat kami. Yang 6.000 batang milik kelompok, bantuan dari BPDAS (Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Brantas). Sementarar 1.500 batang punya saya sendiri,” ujar Asih melalui aplikasi percakapan daring, Senin (13/4/2020).
Sebelumnya, Asih telah membagikan 1.000 bibit gratis ke petani di Batu untuk uji coba. Menurut rencana, bibit macadamia yang masih tersisa akan dibagikan ke petani secara cuma-cuma saat memasuki musim hujan pada akhir tahun 2020.
Bibit-bibit itu diberikan oleh Asih dalam rangka perkenalan kepada petani. Upaya ini juga membawa harapan jangka panjang, yakni diharapkan bisa membantu upaya konservasi lahan. Saat ini sebagian lahan di Batu dan sekitar, seperti Pujon (Kabupaten Malang) didominasi oleh lahan pertanian, khususnya sayur dan minim tegakan.
”Harapannya, tanaman ini bisa diterima masyarakat tanpa mereka harus terganggu usahanya dalam menanam sayur. Siapa tahu jika dalam perkembangannya nanti macadamia ini lebih menjanjikan sehingga di satu sisi bisa menjadi alternatif pendapatan ekonomi dan di sisi lain membantu pemulihan lahan,” katanya.
Meski bagi sebagian petani tanaman ini terbilang baru, Asih tidak menemui kendala saat membagikannya. Semua dilakukan tanpa paksaan dan selaras dengan kemauan petani, misalnya lokasi tanam di pinggir lahan sehingga tidak menghalangi sinar matahari yang dibutuhkan oleh sayuran.
”Meski gratis kita tidak serta-merta langsung menanam. Yang penting petani mau menerima dulu sambil melihat perkembangannya,” ujarnya.
Asih dan KTH Panderman mulai mengembangkan bibit macadamia sejak 2019. Selain mengembangkan secara berkelompok, Asih juga mengembangkan bibit sendiri. Untuk membuat bibit swadaya, ia memanfaatkan buah macadamia dari hasil panen tetangga yang jumlah masih sangat terbatas.
”Untuk bibit macadamia kami mengembangkan sejak tahun lalu. Kalau bibit tanaman lain, seperti durian, nangka, alpukat saya sudah memulai sejak 2006. Bibit-bibit itu juga saya berikan cuma-cuma,” kata perempuan yang aktif di beberapa lembaga yang berkecimpung di bidang lingkungan dan hutan ini.
Menurut Asih, apa yang dilakukannya tidak mengganggu kinerjanya sebagai aparatur sipil pemerintah. Bibit lainnya yang berasal dari pemerintah juga tetap disalurkan sesuai sasaran dan lokasi yang telah ditentukan.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO–Ilustrasi: Bibit tanaman macadamia yang disiapkan Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (BPDASHL) Citarum Ciliwung di Sukajaya, Bogor, Selasa (28/1/2020).
Kegiatan sosial
Keterlibatan Asih terhadap upaya rehabilitasi lahan dan pemberdayaan masyarakat sekitar hutan berlangsung sejak 1992. Tahun 1992-2000 ia masih berstatus tenaga honorer dengan insentif Rp 50.000-Rp 100.000 per bulan. Terkadang insentifnya molor sampai tiga bulan. Baru pada 2000, ia menjadi aparatur sipil pada Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur.
Selama masa itu, ibu tiga orang anak ini lebih banyak berkecimpung pada bidang sosial. Kegiatannya beraneka ragam, mulai dari pengembangan bibit tanaman hingga membuat aneka demplot percontohan, seperti demplot tanaman porang, jahe, serai merah, hingga budidaya lebah madu, dan sengon.
Ia pun kerap merogoh kocek sendiri selama bertugas. ”Namun, saya tidak serta-merta menggunakan dana pribadi. Karena terbatas, saya punya anak yang harus dibiayai. Jadi, saya juga menjalin kerja sama dengan mitra perusahaan (CSR),” katanya.
KOMPAS/DEFRI WERDIONO–Sri Asih, penyuluh kehutanan dan pelestari lingkungan di Malang, Jawa Timur.
Asih mencontohkan jika ada lahan kosong, masyarakat butuh apa, nanti dirinya yang akan menghubungkan ke perusahaan pemilik CSR. Begitu pula soal pemasaran, dia berusaha mencarikan solusi pemasaran.
Asih juga aktif mendampingi kelompok tani pada kegiatan penghijauan dan pembuatan dam penahan (menggunakan bronjong) yang menjadi program Perum Jasa Tirta I sampai sekarang. ”Dari situ ada keterampilan yang didapat oleh warga. Misalnya mereka bisa menganyam kawat bronjong sehingga bisa menjadi pekerjaan tambahan jika sewaktu-waktu ada yang membutuhkan,” tuturnya.
Selama proses pendampingan Asih selalu menekankan tiga hal kepada komunitas yang didampingi, yakni bagaimana tindakan yang dilakukan itu bermanfaat untuk lingkungan, memberdayakan masyarakat lain di lingkungan tersebut, dan meningkatkan perekonomian diri mereka sendiri.
Apa yang dilakukan Asih tidak hanya kepada warga dan komunitas peduli lingkungan. Tidak jarang ada siswa atau mahasiswa datang ke rumahnya untuk mencari data, meminta bibit, penanaman pohon, hingga konsultasi masalah skripsi. Sebaliknya, Asih juga tidak alergi mendekat ke kampus sambil mengajak kaum intelektual itu melakukan penghijauan.
Menurut alumnus Magister Ilmu Pertanian (S2) Universitas Tribhuwana Tunggadewi Malang ini, komunitas masyarakat yang peduli dengan lingkungan sebenarnya banyak namun mereka masih butuh pihak lain untuk mendapat dukungan. Begitu pula dengan pemulihan lahan tidak bisa dilakukan dengan hanya menanam setelah itu ditinggal. Semua harus diikuti dengan perawatan.
”Berapa banyak lahan yang belum tertanami, sedangkan oksigen berasal dari situ. Sementara untuk menanam butuh waktu. Tidak bisa hanya sekadar menanam, tetapi juga harus merawat. Karena itu, saya mengubah slogan dari ’Gerakan Menanam’ menjadi ’Gerakan Perawatan Pohon’ yang aksinya lebih luas,” katanya.
Asih kini punya keinginan bisa mengubah limbah plastik menjadi paving blok guna mengurangi sampah plastik yang kian banyak. Ia pun berharap ada pihak yang bisa memberikan bantuan peralatan untuk itu.
Sri Asih
Lahir : Lamongan, 17 Agustus 1972
Suami: Sugino
Anak: 3
Pendidikan:
– Universitas Islam Balitar, Blitar, Jawa Timur (S1)
– Universitas Tribhuwana Tunggadewi, Malang, Jawa Timur (S2)
Penghargaan:
Penyuluh kehutanan yang aktif kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Oleh DEFRI WERDIONO
Editor: MARIA SUSY BERINDRA
Sumber: Kompas, 16 April 2020