Dua kali gagal panen padi yang dialami petani di desanya membuat Badri memutar otak. Ia menemukan solusi dengan mendorong petani bertani dengan pupuk organik cair.
KOMPAS/KHAERUL ANWAR–Badri, anak muda dari Dusun Sukamulia, Desa Pohgading Timur, Lombok Timur. Ia memberdayakan petani dengan pupuk organik cair.
Semangat Badri (31) tak pernah surut membantu petani agar produksi tanaman pangan dan sayuran mereka mencapai hasil maksimal. Ia membuat pupuk dan pestisida organik cair berbahan dedaunan dan limbah sayur rumah tangga.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Awalnya, petani dusun ini gagal panen padi dua kali musim tanam tahun 2008-2009. Ini akibat penggunaan (pupuk) bahan kimia berkepanjangan,” ujar Badri ketika mulai bercerita tentang aktivitasnya memberdayakan petani lewat pupuk dan pestisida organis, Minggu (9/2/2020).
Warga Dusun Sukamulia, Desa Pohgading Timur, Lombok Timur, sekitar 69 kilometer sebelah timur Kota Mataram itu melanjutkan, penggunaan pupuk kimia dalam jangka panjang mengakibatkan kerusakan unsur tanah, matinya mikroorganisme pengurai bahan organik, serta kerusakan batang tubuh tanaman. Ujungnya hasil panen tidak maksimal.
Gagal panen padi antara lain dialami orangtua Badri yang memiliki 24 are sawah atau kurang dari seperempat hektar pada 2008-2009. Kegagalan panen terjadi akibat serangan ulat dan belalang. Badri yang saat itu berstatus mahasiswa jurusan biologi terdorong untuk mengatasi persoalan gagal panen padi di desanya. Ia memilih cara bertanam organik. Mulai 2010, ia bereksperimen meracik pupuk organik cair (POC).
Berdasarkan studi pustaka ia mengetahui bahwa tanaman memerlukan unsur nitrogen (N), fosforus (P), dan kalium (K). ketiga unsur kimia itu dapat memacu pertumbuhan tanaman, membantu penyerapan air dan unsur hara, serta menjaga tanah dari efek penggunaan pupuk kimia berlebihan.
KOMPAS/KHAERUL ANWAR–Badri ketika mengolah pupuk organik cair di kediamannya di Dusun Sukamulia, Desa Pohgading Timur, Lombok Timur.
Badri kemudian mengumpulkan beragam sampah organik seperti limbah sayur, daun pisang, daun mangga, daun lamtoro, dan sebagainya. Sampah itu ditumbuk hingga berbentuk ekstrak lalu direndam dalam air selama satu minggu untuk proses fermentasi. Tujuannya untuk mengeluarkan unsur N, P dan K dari ekstrak sampah organik tersebut.
Ekstrak itu disaring dan airnya disimpan dalam wadah yang nantinya dijadikan POC. Ampasnya dijadikan pupuk kompos. “Hasil fermentasi yang baik akan menghasilkan bau khas. Jika fermentasinya gagal, baunya akan kurang baik,” tuturnya.
POC yang dihasilkan digunakan Badri untuk pemupukan tanaman. POC ia campur air kemudian disemprotkan pada tanaman. Uji coba dilakukan pada lahan milik orangtuanya yang ditanami kacang panjang.
Badri membutuhkan waktu tiga tahun eksperimen untuk menemukan komposisi campuran POC yang pas, yakni 150 mililiter (ml) POC dicampur ke dalam 15 liter air. Hasilnya kacang panjang tumbuh subur dari daun, batang, hingga buahnya. Kacang panjang yang semula bisa dipanen tiga kali, kini bisa enam kali.
Eksperimen yang berhasil pada kacang panjang, ia coba aplikasikan pada tanaman padi dengan komposisi 4 liter POC untuk 2.500 liter air per hektar. Hasilnya pun menggembirakan. Hasil panen mencapai 6 ton-7 ton padi per hektare, melebihi hasil panen menggunakan pupuk kimia yang rata-rata 5 ton per hektar.
Keberhasilan bercocok tanam dengan POC yang dilakukan Badri lambat-laun mengubah pola pikir petani di kampunya. “Petani awalnya enggan menggunakan POC karena produknya tidak banyak di pasar, waktu panennya juga lama. Sekarang mereka sadar dengan POC tanaman tidak diganggu hama dan penyakit. Meski masa panennya lama yang penting padi selamat, bisa dipanen,” tutur Badri.
Menyebar
Kesuksesan bertani dengan pupuk POC itu segera menyebar di kalangan petani melalui cerita dari mulut ke mulut dan media sosial. Cerita tidak hanya menyebar di Desa Pohgading Timur tempat Badri tinggal, tetapi juga hingga ke luar desa. Sejumlah petani di daerah lain di Lombok, misalnya, minta dibuatkan juga POC.
Pada 2015, petani dari luar Pulau Lombok seperti Bali, Kalimatan Tengah, Kalimantan Timur, Papua, Blitar dan Tuban (Jawa Timur), dan Sumbawa juga memesan POC. Tahun 2017 Badri mengirim 150 liter POC pesanan petani di Bali dan 2.000 liter POC pesanan petani di Papua. Badri menjual POC dengan harga Rp 20.000 per 150 ml untuk petani dari luar Lombok. Ia mampu memproduksi 300 liter-500 liter POC per bulan.
KOMPAS/KHAERUL ANWAR–Badri dengan pupuk organik cair buatannya.
Untuk 400-an petani di dusunnya, ia memberikan POC secara gratis. Mereka cukup membawakan bahan baku, sementara Badri mengerjakan proses fermentasi POC. Sebagai gantinya, setelah panen para petani tersebut memberi Badri beras, sayuran, dan buah-buahan. Untuk petani di luar dusun, ia menerima pembayaran seikhlasnya.
Setelah sukses dengan POC, Badri mengembangkan produk lain yakni pestisida organik, terutama untuk mengatasi serangan hama siput pada tanaman padi. Ia bereksperimen menggunakan tembakau lintingan yang direndam dalam air selama beberapa jam. Air tembakau itu menjadi pestisida nabati.
Sepanjang tahun 2019, Badri terpaksa tak bisa melayani permintaan POC dari petani dari berbagai daerah karena ada persoalan dengan merek yang ia pakai. Ia diminta mengubah nama produknya karena merek yang ia gunakan sudah ada sudah lebih dulu digunakan lembaga lain. Walakin, rumah Badri selalu ramai didatangi para petani dari sekitar Lombok yang ingin mendapatkan POC.
Untuk melayani permintaan POC yang membludak, Badri yang sehari-hari bekerja sebagai guru di sekolah swasta, memanfaatkan waktu di akhir pekan untuk membuat POC. Ia mengakui, kegiatannya meramu POC itu kerap mendapat respons negatif dari teman-temannya. “Saya dibilang tidak ada kerjaan, sarjana yang malah bikin pupuk,” tuturnya.
Komentar itu umumnya datang dari kalangan pengangguran. Agar mereka tidak hanya berkomentar, Badri merekrut 30 warga pengangguran dan putus sekolah untuk ikut bergabung dalam ASA Komunitas yang memproduksi POC. Mereka mendapat upah dari aktivitas itu.
Selain itu, Badri dan kakaknya membantu 15 orang anak putus sekolah di tingkat SMP dan SMA untuk menyelesaikan pendidikan. “Saya dan kakak menanggung biaya sekolah. Mereka saya masukkan jadi siswa di tempat saya mengajar, dan tinggal bersama di rumah dinas milik sekolah. Alhamdulillah, dari 15 orang, tinggal dua orang yang masih sekolah,” tuturnya.
Dari POC berbahan limbah, ternyata banyak orang yang bisa diberdayakan.
Badri
Lahir: 31 Desember 1989
Isteri: Miftahul Jannah (22)
Anak: Ramaditya Raka Badrika
Pendidikan:
SDN 2 Sukamulia tamat 2002
SMPN 1 Pringgabaya tamat 2005
STKIP Program Studi Biologi Hamzanwadi, Pancor, Lombok Timur, tamat tahun 2013
Pekerjaan:
Guru Honorer SMK NW Dusun Kokok Putik, Desa Bile Petung, Sembalun, Lombok Timur
MTS Marakit Talimat Dusun Lenggorong, Desa Sambi Elen, Bayan, Lombok Utara.
Penghargaan:
Penghargaan ‘Kampung Media’ sebagai Duta Informasi Kesehatan Tingkat Prov NTB tahun 2016
Pemuda Pelopor Nasional Bidang Inovasi tahun 2017
Oleh KHAERUL ANWAR
Editor: BUDI SUWARNA
Sumber: Kompas, 10 Maret 2020