Pemajakan Transaksi Elektronik

- Editor

Jumat, 6 Maret 2020

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Warga memantau pergerakan harga emas melalui laman perdagangan daring, Senin (13/8/2018). Membeli emas untuk investasi lewat platform digital diminati oleh kalangan anak muda karena dinilai transaksinya yang lebih sederhana dan mudah diakses.

KOMPAS/PRIYOMBODO (PRI)
13-08-2018

untuk tematis halaman Ekonomi

Warga memantau pergerakan harga emas melalui laman perdagangan daring, Senin (13/8/2018). Membeli emas untuk investasi lewat platform digital diminati oleh kalangan anak muda karena dinilai transaksinya yang lebih sederhana dan mudah diakses. KOMPAS/PRIYOMBODO (PRI) 13-08-2018 untuk tematis halaman Ekonomi

Draf RUU Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian (KFPPP) sudah rampung dan sudah dikirim ke DPR untuk dibahas. Salah satu pengaturan baru di RUU ini adalah tentang pemajakan transaksi elektronik.

Tak lama lagi, ”omnibus law” perpajakan akan segera terbit.

Draf RUU Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian (KFPPP) sudah rampung dan sudah dikirim ke DPR untuk dibahas. Salah satu pengaturan baru di RUU ini adalah tentang pemajakan transaksi elektronik. Caranya, dengan menunjuk platform asing atau penjual daring asing menjadi pemungut PPN, dan bagi yang memenuhi kriteria tertentu (significance economic presence) akan dikenai pajak penghasilan. Pada saat bersamaan, isu tentang pemajakan transaksi elektronik ini sedang menjadi topik yang hangat di sejumlah negara.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Menjelang akhir Januari lalu, Presiden AS Donald Trump dan Presiden Perancis Emmanuel Macron diberitakan sepakat ”gencatan senjata” dari perselisihan akibat rencana pajak digital. Trump sebelumnya mengancam mengenakan tarif sangat tinggi (hingga 100 persen) terhadap impor mobil, keju, minuman anggur, dan barang lain dari negara-negara Eropa. Ini sebagai upaya balasan terhadap rencana beberapa negara Eropa untuk mengenakan pajak digital secara unilateral.

Perancis berniat mengenakan pajak tambahan 3 persen, dari penjualan yang dilakukan perusahaan teknologi digital (pajak digital). Inggris berencana mengenakan pajak serupa 2 persen mulai April. Italia juga sudah mengumumkan akan mengenakan pajak 3 persen dari transaksi internet. Turki berencana mengenakan pajak serupa 7,5 persen. Austria, Spanyol, dan Belgia pun sudah mengumumkan rencana serupa. Meski tak secara spesifik menyasar perusahaan global asal AS, tak bisa dimungkiri banyak di antara yang terkena dampak adalah perusahaan berbasis di AS, seperti Google, Apple, Facebook, Amazon, Netflix, Uber, ataupun AirBnB.

Rencana pengenaan pajak digital sepihak ini wujud rasa frustrasi negara-negara Eropa karena selama ini para raksasa digital tersebut begitu leluasa mendapat penghasilan di negara mereka dengan hanya membayar pajak terlalu sedikit dibandingkan laba yang diraup. Pada 2018, Komisi Eropa melaporkan perusahaan dengan bisnis model online rata-rata hanya bayar pajak 9 persen dari penghasilan. Jauh lebih rendah dibandingkan perusahaan konvensional sebanding, yang rata-rata membayar 23 persen.

Para menteri keuangan UE beberapa kali menggelar pertemuan untuk membahas rencana mengenakan pajak digital secara seragam di seluruh 28 negara anggota UE. Tetapi, sudut pandang dan kepentingan yang berbeda membuat gagal dicapai kesepakatan. Akibatnya, beberapa negara berencana mengenakan pajak secara sepihak. Ini dikhawatirkan memicu perang dagang AS-Eropa dan menambah buruk ekonomi dunia yang lesu akibat perang dagang AS-China.

Selain UE, beberapa negara lain juga mengenakan pajak atas transaksi digital tanpa ada penolakan berarti dari AS. India, sejak 2016, mengenakan equalization levy 6 persen atas layanan iklan online yang dibayar residen India ke non-residen yang tak memiliki bentuk usaha tetap (BUT) di India. Pajak ini dibayar langsung oleh konsumen dalam negeri India ke pemerintah sehingga secara substansi lebih merupakan pajak konsumsi daripada pajak penghasilan (PPh). Australia sejak Juli 2017 mengenakan pajak konsumsi (GST) atas impor barang dan jasa secara digital dengan tarif 10 persen. Pajak ini wajib dipungut dan disetor oleh platform penjual, atau operator yang ditunjuk oleh platform, tanpa batas minimal omzet.

Secara teori ekonomi, beban pengenaan pajak konsumsi dan PPh akan ditanggung bersama oleh penjual dan pembeli secara proporsional tergantung elastisitas permintaan dan penjualan. Namun, praktiknya, pada umumnya masih menganut bahwa pajak konsumsi adalah otoritas negara sumber penghasilan, sedangkan PPh otoritas negara domisili. Hal inilah yang membuat pengenaan pajak konsumsi tak mendapat penolakan, sedangkan PPh mendapat ancaman aksi retaliasi.

KOMPAS/ALIF ICHWAN–Pengguna LinkAja bertransaksi dengan kode QR pada salah satu gerai pembuat kopi di Jakarta, Jumat (1/11/2019).

Rencana Indonesia di RUU KFPPP
Pasal 17 Ayat (1) huruf (d) RUU KFPPP berencana mengenakan PPh atau pajak transaksi elektronik (pajak digital) berdasarkan kehadiran ekonomi signifikan dengan tarif dan dasar pengenaan pajak (DPP) akan ditetapkan kemudian oleh peraturan pemerintah (PP). Tampaknya, Indonesia akan meniru langkah beberapa negara UE yang mengenakan pajak digital dengan berbasis pada penjualan bruto. Dibandingkan pengenaan pajak berbasis laba neto, mekanisme perhitungan berbasis penjualan bruto jauh lebih sederhana, tetapi sayangnya tak efisien dan berpotensi jadi pajak berganda. Pengenaan pajak digital secara sepihak, tanpa konsensus bersama secara internasional, akan meningkatkan risiko terjadi pengenaan pajak berganda. Ini akan menjauhkan dari prinsip kepastian dan efisiensi ekonomi. Wewenang penentuan tarif dan DPP yang didelegasikan ke pemerintah juga berarti bahwa tarif dan DPP dapat berubah-ubah lebih sering sehingga semakin jauh dari prinsip kepastian usaha.

Perlakuan pajak digital yang berbeda dibandingkan usaha konvensional ini justru bertentangan dengan prinsip kesetaraan perlakuan (level playing field) yang ingin diusung RUU ini sehingga akan berisiko besar mendapat tudingan diskriminatif dan mengundang aksi balasan. Apakah Indonesia siap jika nanti Trump mengancam mengenakan tarif retaliasi atas produk-produk Indonesia? Perancis, Inggris, dan negara Eropa lain saja sudah memikirkan ulang rencana mereka setelah dapat ancaman AS.

Pasal 18 Ayat (2) berencana menunjuk platform digital atau penjual luar negeri sebagai pihak yang berkewajiban memungut, menyetor, dan melaporkan PPN yang terutang atas penjualan barang kena pajak (BKP) tidak berwujud dan jasa kena pajak (JKP) di Indonesia. Pengaturan ini membuat mereka seolah pengusaha kena pajak (PKP). Sementara ketentuan lain terkait pengenaan PPN tetap mengikuti ketentuan umum menurut UU PPN. Misalnya, Pasal 17 Ayat (1) huruf (b) tentang Pengenaan PPN atas Penyerahan BKP atau JKP di daerah pabean dan impor BKP berwujud pada dasarnya masih sama dengan ketentuan PPN yang berlaku selama ini.

Pertanyaannya, apakah ketentuan ini akan berhasil mengumpulkan pajak sebagaimana diinginkan? Apakah para pengusaha digital akan patuh begitu saja atau akan mencari berbagai cara untuk mengelak? Membuat aturan tentang pajak digital bisa jadi persoalan mudah, tetapi untuk memastikan pelaksanaannya nanti dapat mencapai tujuan yang diharapkan itu persoalan lain lagi. Jangankan memajaki platform digital asing, platform digital domestik saja masih sulit dipajaki dengan efektif dan efisien. Kisah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 210/PMK.10/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik adalah bukti nyata kesulitannya. PMK ini diterbitkan Desember 2018, tetapi dicabut sebelum sempat berlaku sesuai rencana, April 2019.

Tantangan utama dalam pengenaan pajak atas transaksi elektronik adalah pembuatan mekanisme dan tata administrasi yang efektif dan efisien. Hal ini mengingat karakter dari transaksi elektronik yang biasa dikenal dengan 5V, yaitu volume (yang sangat besar), velocity (kecepatan yang sangat tinggi), variety (keberagaman), value (nilai dari data), dan veracity (keakuratan). Mekanisme dan tata administrasi yang konvensional dan manual tak akan mampu menanganinya. Cara yang tepat menurut saya adalah memanfaatkan kecanggihan teknologi juga. Ketentuan legal dan material perpajakannya tak perlu banyak diubah supaya bisa menjamin level playing field yang sama.

Misalnya, untuk mengenakan PPN atas penjualan melalui marketplace. Tak perlu memaksa marketplace jadi PKP (jika belum memenuhi kriteria menurut UU PPN) atau memaksa mereka mengumpulkan data dari pedagang daring di marketplace sebagaimana sempat diatur oleh PMK-210. Hal ini hanya akan menambah berat compliance cost saja.

KOMPAS/PRIYOMBODO–Kesibukan pekerja di warehouse Lazada di kawasan Cimanggis, Kota Depok, Jawa Barat, Selasa (12/11/2019). Warehouse seluas 30.000 meter persegi ini memiliki kapasitas penyimpanan 2 juta dari total kapasitas 7-8 juta barang dan menjadi warehouse Lazada terbesar di kawasan Asia Tenggara. Pada hari diskon festival 11.11 diperkirakan terjadi peningkatan penjualan di paltform e-dagang Lazada hingga 300 persen dibanding tahun 2018.

Bagaimana solusinya?
Jika di Kompas (29/1/2019) saya mengusulkan agar menunjuk marketplace sebagai wajib pungut PPh PP No 23/2018, sekarang saya mengusulkan agar Direktorat Jenderal Pajak (DJP) membuat suatu protokol komunikasi atau interface di setiap aplikasi dan alamat web yang melakukan transaksi secara daring di Indonesia. Protokol ini, dikenal sebagai application programming interface (API), akan jadi semacam pintu yang menghubungkan setiap aplikasi dan alamat web dengan server milik DJP secara otomatis. API ini harus terhubung langsung dengan server DJP, jangan melalui pihak ketiga lagi. Dengan demikian, tidak perlu menambah beban pengusaha dengan menunjuk mereka jadi BUT, PKP, atau sekadar pemungut atau pengumpul data. Dengan API ini, DJP dapat mengenakan pajak apa pun yang diinginkan (tentu yang tidak bersifat diskriminatif). Beban DJP untuk melakukan administrasi dan pengawasan pun dapat diminimalkan.

Misalnya, untuk pengenaan PPN atas penjualan BKP di dalam daerah pabean melalui online marketplace semacam Bukalapak, Tokopedia, ataupun Youbli. Protokol API akan otomatis memungut PPN dan membuat faktur pajak atas setiap transaksi yang dilakukan merchant. Data faktur pajak ini akan otomatis masuk ke server DJP melalui API dan akan disandingkan nanti dengan SPT yang dilaporkan merchant ke DJP. Jika merchant mengaku dirinya tak memenuhi syarat sebagai PKP (saat ini omzet kurang dari Rp 4,8 miliar setahun), sesuai ketentuan Pasal 16F UU PPN pembeli bertanggung jawab secara renteng atas pembayaran pajak. Dengan demikian, transaksi tetap dikenakan PPN, tetapi uang pajak yang dibayar pembeli akan langsung disetor ke rekening pemerintah di bank tanpa melalui rekening merchant. Ini akan membuat level playing field lebih terjamin.

Begitu juga dengan transaksi melalui online retail semacam Mizanstore, Mensrepublic, ataupun Brodo. Protokol API akan otomatis mengirimkan data transaksi penjualan yang terjadi sehingga tak ada ruang bagi wajib pajak (WP) untuk menyembunyikan omzetnya. PPN tetap dipungut, disetor, dan dilaporkan penjual sebagaimana mekanisme umum.

Data transaksi yang dikumpulkan lewat protokol API ini juga akan bermanfaat untuk pengawasan data omzet yang dilaporkan WP dalam SPT PPh, baik untuk transaksi yang dilakukan melalui online marketplace maupun online retail. Khusus WP yang dikenai PPh Final 0,5 persen berdasarkan PP No 23/2018, protokol API dapat berfungsi secara tuntas. Artinya, PPh akan dipungut (di-mark-up di dalam harga jual) dari setiap transaksi secara otomatis dan uang pajak yang dibayar akan disetor langsung ke rekening pemerintah di bank. Jadi, WP PP-23 ini tak perlu lagi menghitung dan membayar pajaknya yang terutang setiap bulan. Prinsip kepastian dan kesederhanaan pun terpenuhi. Pengusaha dapat fokus ke usahanya tanpa dibebani kewajiban administratif pajak yang rumit. Otomatis kepatuhan WP tercapai 100 persen.

KOMPAS/LASTI KURNIA–Admin toko daring Okegadgets menjalankan operasional toko mereka dari salah satu ruko di Roxy Square, Jakarta, Selasa (26/3). Okegadgets adalah toko daring yang menjual peralatan elektronik dan rumah tangga di berbagai marketplace seperti Tokopedia, Bukalapak, Akulaku, Shoppe, dan Elevenia.

Pengenaan pajak atas transaksi JKP melalui internet secara domestik semacam Sribulancer, Sejasa, Gojek, dan lain-lain juga tak menjadi masalah. Mekanisme pengenaan PPN dan PPh-nya sama saja seperti transaksi BKP di atas. Dalam hal terdapat penghasilan yang merupakan obyek pemotongan PPh, misalnya PPh 21 atau PPh 23, protokol API pun dapat digunakan. Hal ini juga dapat diterapkan untuk memotong pajak penghasilan dan memungut PPN pada aplikasi pinjaman online semacam Amartha, Modalku, dan Uang Teman.

Untuk pajak atas transaksi dari luar negeri, ketentuan legal dan materialnya tetap sama dengan transaksi konvensional, yaitu Pasal 4 Ayat (1) UU PPN yang menyatakan PPN dikenakan atas impor BKP, BKP tak berwujud, dan JKP. Penjual dari luar negeri tak wajib jadi PKP (jika tak memenuhi syarat sebagai BUT) dan tak ada batas minimal transaksi untuk dikenakan pajak (aturan de minimis). PPN impor ini, sebagaimana transaksi impor konvensional, dikenakan sekaligus dengan pajak dalam rangka impor (PDRI) lain, yaitu PPN, PPnBM, PPh Pasal 22 impor, ditambah cukai dan bea masuk (BM).

Protokol API harus mampu mengidentifikasi setiap jenis barang dan jasa, jenis pajak yang terutang, dan kelompok tarifnya. Konsumen dalam negeri akan membayar harga barang atau jasa ditambah PDRI, cukai, dan BM. Tetapi, API akan otomatis memilah uang pajak dari harga barang. Uang pajak masuk ke rekening pemerintah, uang pembelian barang atau jasa langsung ke penjual luar negeri. Jika dianggap masih kurang, pemerintah masih dapat menambah obyek barang kena cukai, misalnya untuk pembelian game, produk turunan game, judi online, atau kantong plastik dan kendaraan bermotor sebagaimana yang sekarang juga sedang direncanakan.

Selama format pengenaan pajak digital dikemas sebagai pajak atas konsumsi, mestinya tak akan ada penolakan dari negara domisili perusahaan digital seperti AS. Untuk pengenaan pajak penghasilan, sebaiknya Indonesia menunggu hingga komunitas internasional, seperti OECD dan G20, berhasil mencapai kesepakatan tentang formula yang tepat dalam pengenaan pajak digital. Hal ini untuk menghindari aksi retaliasi.

Suhut Tumpal Sinaga Dosen Perpajakan di PKN STAN.

Sumber: Kompas, 5 Maret 2020

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Menghapus Joki Scopus
Kubah Masjid dari Ferosemen
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Misteri “Java Man”
Empat Tahap Transformasi
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
Gelar Sarjana
Gelombang Radio
Berita ini 4 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Jumat, 2 Desember 2022 - 14:59 WIB

Misteri “Java Man”

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:15 WIB

Empat Tahap Transformasi

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB