Elang jawa memikat hati Zaini Rakhman (44) saat pertama kali melihat burung itu terbang di Gunung Gede, Jawa Barat, 23 tahun lalu. Sejak saat itu, jalan hidupnya didedikasikan untuk melestarikan elang dan kerabatnya.
Teriakan elang-elang bersahutan di Pusat Konservasi Elang Kamojang (PKEK) di Kabupaten Garut, Jabar, Jumat (20/11/2019). Lengkingan suaranya bak irama pagi di Blok Citepus Taman Wisata Alam Kawah Kamojang.
Menapaki jalan rerumputan yang masih menyisakan embun, Zaini berkeliling memantau elang-elang yang direhabilitasi. Sebagai Manajer Operasional PKEK, ia wajib mengikuti perkembangan rehabilitasi setiap elang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA–Zaini Rakhman, pelestari elang.
Dia mendatangi berbagai jenis kandang, dari kandang perawatan, observasi, rehabilitasi, hingga latihan terbang. Zaini juga tidak melewatkan kandang display, tempat elang yang sudah tidak dapat dilepasliarkan karena mengalami cacat permanen.
”Meskipun tidak bisa dilepasliarkan, elang-elang ini tetap dibutuhkan untuk mengedukasi pengunjung,” ujarnya.
Zaini tidak sendiri. Dia berbagi tugas dengan rekan-rekannya. Tiga keeper ikut berkeliling membawa marmot dan tikus untuk pakan elang. Sementara beberapa keeper lainnya sibuk membersihkan kandang.
Rekannya yang lain, dokter hewan Dian Tresno Wikanti, mengamati kondisi kesehatan fisik elang-elang itu. Dian juga mengambil darah beberapa elang brontok (Nisaetus cirrhatus) untuk kepentingan penelitian.
Kesibukan pagi itu menggambarkan rutinitas di PKEK sejak berdiri pada Oktober 2014. Semua jadi mozaik kisah perjuangan Zaini melestarikan elang sejak 23 tahun lalu.
Terpikat elang
Ketertarikannya pada elang berawal ketika ia mendaki Gunung Gede pada 1996. Ketika itu, dia melihat Bas van Balen, peneliti elang asal Belanda, sedang meneropong elang jawa. Karena penasaran, Zaini terus mengamatinya. Van Balen pun meminjamkan teropong kepadanya.
”Elang itu terlihat sangat indah dan gagah. Saya langsung terpikat dan terus meneropongnya,” ujarnya.
Zaini masih belum puas. Ia bertanya kepada Van Balen tentang pentingnya meneliti elang jawa. Dia kaget saat Van Balen memberi tahu jika elang jawa terancam punah akibat perburuan oleh manusia. Momen itu sangat berkesan bagi Zaini. Sepulang dari Gunung Gede, ia rajin membaca literasi tentang elang.
Setahun berselang, alumnus SMP Negeri 7 Bandung itu bergabung dengan Birdlife International-Indonesia, program untuk membantu penelitian dan konservasi elang jawa. Pengalamannya bertambah saat membantu Mountain Hawk-Eagle Project dalam penelitian dan konservasi elang di Pegunungan Suzuka-Shiga Pref, Jepang, periode 1997-1998.
Setelah kembali dari Jepang, Zaini bergabung dengan Yayasan Pribumi Alam Lestari di Bandung pada 1999-2005. Yayasan itu bergerak dalam penelitian dan konservasi elang jawa, elang sulawesi (Nisaetus lanceolatus), dan elang flores (Nisaetus floris).
Sepak terjang Zaini berlanjut saat bergabung dengan Sekretariat ARRCN (Asian Raptor Research and Conservation Network) pada 2006-2010. Ia membantu lembaga konservasi elang di beberapa negara, di antaranya Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Filipina.
KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA–Zaini Rakhman sejak 23 tahun lalu aktif terlibat dalam upaya pelestarian elang. Zaini yang ditemui Jumat (20/11/2019), kini menjadi Manajer Operasional Pusat Konservasi Elang Kamojang (PKEK) di Kabupaten Garut, Jabar.
Selepas dari ARRCN, Zaini kembali ke Indonesia pada 2010 dan menjadi ketua Raptor Indonesia, jaringan peneliti dan pemerhati elang di Tanah Air. Empat tahun berselang, Raptor Indonesia bersama Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jabar dan PT Pertamina Geothermal Energy membangun PKEK.
”Ini upaya kolaborasi untuk menstabilkan populasi elang di alam melalui program rehabilitasi dan pelepasliaran elang,” ujar Zaini yang kini menjabat Manajer Operasional PKEK.
Sejak didirikan, PKEK telah merehabilitasi 250 elang berbagai jenis, di antaranya elang jawa, elang brontok, elang ular (Spilornis cheela), elang bondol (Haliastur indus), elang sayap cokelat (Butastur liventer), elang sikep madu asia (Pernis ptilorhynchus), dan elang paria (Milvus migrans).
Mayoritas elang di PKEK merupakan hasil sitaan kepemilikan ilegal. Sejumlah 47 elang telah dilepasliarkan ke alam dengan tingkat keberhasilan 74 persen. Artinya, sebagian besar elang mampu hidup beradaptasi di alam liar.
Tantangan konservasi
Menurut Zaini, tantangan konservasi elang di Indonesia sangat kompleks. Tidak jarang, PKEK menerima elang dengan kondisi cacat. Beberapa elang tidak mempunyai insting berburu sehingga terancam mati jika dilepas di alam liar. Penyebabnya karena elang itu dipelihara manusia sehingga tidak pernah memburu mangsanya.
Selain itu, masalah perdagangan satwa juga mengancam upaya konservasi. Elang yang dilepasliarkan ke alam berpotensi diburu untuk diperdagangkan.
”Rehabilitasi elang di luar negeri tidak menghadapi masalah-masalah itu. Kebanyakan di sana hanya mengobati elang yang terluka akibat menabrak mobil atau kaca jendela,” ujarnya.
Konservasi yang rumit tak membuat Zaini menyerah. Padahal, dia mempunyai kesempatan lari dari masalah itu saat mendapat tawaran bergabung dalam program konservasi elang di Minnesota, Amerika Serikat, pada 2008.
Dia menolak karena merasa masih perlu banyak belajar tentang elang di Indonesia. Dari 81 jenis elang yang hidup di Nusantara, Zaini baru pernah melihat setengahnya terbang di alam liar.
Selain itu, masalah konservasi yang kompleks berpotensi menjadikan Indonesia sebagai laboratorium penelitian elang. ”Referensi rehabilitasi elang masih bersumber dari luar negeri. Padahal, permasalahan di Indonesia jauh lebih rumit. Harusnya kita juga bisa menjadi referensi,” ujarnya.
Di PKEK, Zaini dan rekan-rekannya sudah menerapkan standar rehabilitasi. Dalam pembuatan kandang, misalnya, selalu lebih lebar dari rentang sayap elang sehingga tidak membatasi pergerakannya.
Elang-elang di kandang rehabilitasi juga dilindungi dari paparan penyakit yang berpotensi ditularkan melalui manusia. Jadi, pengunjung dilarang memasuki area kandang tersebut.
Operasionalnya merujuk aturan internasional seperti persatuan internasional untuk konservasi alam (IUCN), federasi global untuk suaka satwa (GFAS), badan rehabilitasi satwaliar dunia (IWRC), hingga panduan penyelamatan dan rehabilitasi raptor (NWRA).
Peran masyarakat
Rehabilitasi elang tidak cukup mengandalkan lembaga konservasi. Peran masyarakat dalam menjaga kelestarian lingkungan serta tidak memburu dan memelihara elang justru jauh lebih penting.
Perambahan hutan membuat habitat elang kian terancam. Sementara kebiasaan memelihara elang membuat satwa dilindungi itu terus diburu demi bisnis perdagangan satwa. Menurut Zaini, harga elang jawa di pasaran mencapai jutaan rupiah per ekor.
Oleh sebab itu, PKEK juga menjalankan fungsi edukasi. Tujuannya, agar masyarakat memahami kerusakan lingkungan dan perburuan mengancam populasi elang di alam.
Edukasi itu mulai membuahkan hasil. ”Seorang warga menyerahkan elang peliharaannya setelah anaknya berkunjung ke sini. Ada juga warga setempat yang semula memburu elang, kini justru menjadi informan tentang habitat elang,” ujarnya.
Langkah edukasi juga disalurkan Zaini dalam buku karyanya yang berjudul Garuda: Mitos dan Faktanya di Indonesia. Buku setebal 128 halaman itu terdiri dari delapan topik pembahasan, dari penemuan elang jawa hingga upaya menyelamatkannya dari kepunahan.
Menjelang siang, Zaini berteduh di bawah pepohonan untuk menghindar dari sengatan matahari. Kicau elang terdengar samar karena beradu dengan suara mesin kendaraan yang melintas.
Suara bising itu berpotensi menjadi ancaman baru bagi habitat elang, tetapi semangat Zaini melestarikan elang tidak memudar. Lengkingan elang-elang itu selalu membuatnya rindu mengembalikan kepakan sayap-sayap itu ke angkasa.
Zaini Rakhman
Lahir: Bandung, 9 Februari 1975
Pendidikan:
SD Cibereum XI Bandung (Lulus 1987)
SMPN 7 Bandung (Lulus 1990)
Aktivitas:
Pelestari elang
Manajer Operasional Pusat Konservasi Elang Kamojang, Garut
Oleh TATANG MULYANA SINAGA
Editor: CORNELIUS HELMY HERLAMBANG, BUDI SUWARNA
Sumber: Kompas, 10 Desember 2019