Keberadaan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pada era ekonomi pengetahuan menjadi tumpuan penting dari pembangunan dan industrialisasi. Pada saat perekonomian global tumbuh melambat, BRIN dituntut agar dapat mendongkrak penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan untuk menciptakan peluang-peluang positif. Kata kuncinya adalah inovasi. Namun menggerakkan hal tersebut tidak akan cukup bila proses ini tidak mampu menciptakan perubahan sosial.
Paradigma BRIN haruslah kontekstual. Selain menyeimbangkan antara kebutuhan industri yang harus diselaraskan dan garis besar riset, era revolusi teknologi harus dilihat sebagai pengingat bahwa tujuan akhir dari penelitian adalah untuk menyelesaikan tantangan-tantangan sosial dan kemanusiaan. Ketimpangan sosial, misalnya, adalah masalah krusial yang membutuhkan pemecahan segera karena dampaknya yang kontraproduktif terhadap pembangunan jangka panjang.
Masalah ini harus dilihat secara komprehensif. Martabat dan kedigdayaan manusia merupakan inti dari kemajuan sains dan teknologi. Maka setiap tahap pengembangan sains harus dilakukan dengan memperhatikan dampaknya pada kehidupan sosial. Setiap penemuan sains memiliki efek pada tatanan sosial yang ada, terlebih lagi penerapannya yang berhadapan dengan lanskap sosial yang timpang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Disparitas sosial adalah identifikasi masalah yang dilakukan oleh manusia sebagai makhluk sosial yang memiliki perhatian pada sekelilingnya. Misalnya, apa yang terjadi di Silicon Valley. Raksasa teknologi seperti Google, Facebook, dan Amazon telah mengubah wajah kota menjadi ruang yang justru menyuburkan kesenjangan sosial akibat adanya gentrifikasi, yakni terusirnya masyarakat lokal dari permukimannya karena tergeser oleh aktivitas dari perusahaan-perusahaan tersebut.
Contoh yang terbilang sukses dari pembangunan kota pintar (smart city) yang berwawasan etis, humanis, dan inklusif adalah Kota Tsukuba, Jepang. Kota ini dikembangkan agar setiap jengkal pembangunan teknologi informasi dan komunikasi di sana tidak semakin memperbesar jurang ketimpangan sosial yang ada. Sejak awal, Tsukuba dirancang dengan empat prinsip: menghormati otonomi, tidak mencelakakan, kebaikan, dan keadilan.
Belajar dari kedua kota itu, peran strategis BRIN ialah mampu merancang penelitian dan pengembangan yang lebih baik, inklusif, dan sesuai dengan konteks lokal. Menurut Sheila Jasanoff (2017), inovasi yang tidak berakar dari kebutuhan masyarakat lokal hanya akan menghasilkan disharmoni, resistansi, dan inefisiensi pengelolaan organisasi serta sumber daya manusia.
Inovasi selama ini cenderung dipahami secara satu arah. Sebuah masalah hanya dianggap dan didefinisikan sebagai masalah bila itu diakui oleh pengambil kebijakan. Konsep inovasi demikian tidak akan bisa menyelesaikan masalah di masyarakat. Inovasi sendiri sejatinya merupakan buah dari masyarakat yang berbudaya partisipatoris (bottom up innovation).
Konteks lokal memegang peran penting dalam inovasi. Salah satunya dalam pengembangan obat dan akuakultur di Indonesia. Saat ini bahan baku untuk obat kimia masih 90 persen diimpor, sehingga berkontribusi terhadap defisit neraca perdagangan. Pengembangan obat berbahan baku lokal herbal, misalnya, mau tidak mau akan bersinggungan langsung dengan struktur sosial berupa adat, tradisi, dan norma masyarakat. Ini, misalnya, tampak pada pola makan, persepsi tentang gejala penyakit, derajat alergi, faktor cuaca, respons sistem imun, variasi metabolisme karena perbedaan asupan makanan, hingga mitos tertentu yang diyakini dari generasi ke generasi.
Kota Cambridge di Amerika Serikat dapat dijadikan contoh untuk pengembangan industri obat-obatan dan bioteknologi kesehatan secara umum. Di kota ini, ada dua kampus besar, Harvard University dan Massachusetts Institute of Technology, yang dikelilingi oleh semua industri besar dan menengah di bidang bioteknologi serta didukung penuh oleh pemerintah daerah Massachusetts lewat Kementerian Perumahan dan Pembangunan Ekonomi. Kawasan ini juga memberikan pelayanan selama dua tahun bagi para start-up untuk menggunakan fasilitasnya. Inilah science park yang sesungguhnya. Bukan hanya semacam museum atau pertunjukan teknologi, tapi juga tempat lembaga riset dan industri berkolaborasi serta masyarakat mendapatkan manfaat.
Inovasi ditopang oleh budaya masyarakat yang menghargai pengembangan sains, memberikan ruang yang luas bagi keingintahuan, serta terbuka dan demokratis mendukung keleluasaan dalam mempraktikkan sains. Perpaduan ketiganya melahirkan sikap inovatif yang terpatri dalam sistem sosial kita.
Untuk mendukung tujuan ini, BRIN dapat menata kembali tata kelola riset secara institusional dengan memangkas birokrasi yang rumit dan bertentangan dengan semangat inovasi. Selain itu, internalisasi budaya berinovasi untuk perubahan sosial bisa dimulai dengan memberikan kesempatan bagi anak-anak muda untuk berkarier di dunia riset. Hanya dengan cara ini BRIN bisa mempelopori perubahan sosial yang berkesinambungan untuk kemanusiaan, kesejahteraan, dan keadilan sosial.
Sidrotun Naim, Alumni John F. Kennedy School of Government, Harvard University
Febby R. Widjayanto, Alumni Manchester University
Sumber: Koran Tempo, Jumat, 6 Desember 2019