Hadiah Nobel bidang ekonomi 2019 diberikan kepada trio Abhijit Banerjee, Esther Duflo, dan Michael Kremer. Ketiganya dinilai memberikan sumbangsih besar dalam upaya mengurangi kemiskinan global melalui pemikiran dan riset yang mereka kerjakan. Pemikiran mereka berfokus pada upaya mengurangi kemiskinan berbasis desain eksperimen dengan meneliti kebijakan pendirian sekolah dasar (SD) berdasarkan instruksi presiden yang dikeluarkan sepanjang 1973-1978 di Indonesia, sebagai upaya pemerintah mengurangi tingkat kemiskinan melalui pendirian SD-SD di seluruh Indonesia.
Keberhasilan trio ekonom itu di satu sisi tentu membanggakan. Nama Indonesia disebut dan jadi fokus kajian/pemikiran, yang menghasilkan penghargaan sekelas Nobel. Namun, di sisi lain, itu juga menyisakan pertanyaan besar. Kebijakan pemerintahan di Indonesia memang telah memberikan sumbangsih bagi model atau pendekatan baru dalam mengatasi kemiskinan global. Pertanyaannya, mengapa ilmuwan-ilmuwan kita justru luput melihat kebijakan itu? Apalagi salah satu penerima Nobel itu, Esther Duflo, baru berumur 46 tahun dan jadi perempuan kedua yang berhasil meraih penghargaan bergengsi tersebut.
Pertanyaannya, mengapa ilmuwan-ilmuwan kita justru luput melihat kebijakan itu? Apalagi salah satu penerima Nobel itu, Esther Duflo, baru berumur 46 tahun dan jadi perempuan kedua yang berhasil meraih penghargaan bergengsi tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
REUTERS/BRIAN SNYDER–Abhijit Banerjee dan Esther Duflo, dua dari tiga peraih penghargaan Nobel Bidang Ekonomi 2019 saat berbicara di Massachusetts Institute of Technology (MIT) di Cambridge, Massachusetts, AS 14 Okotober 2019. REUTERS/Brian Snyder TPX IMAGES OF THE DAY
Umur Duflo sebaya anak- anak generasi Indonesia yang pada akhir 1970-an menerima manfaat pendirian SD berbasis inpres di banyak tempat, perkotaan maupun perdesaan di Indonesia. Jutaan anak-anak itu hari ini telah berhasil meraih mimpi mereka untuk menikmati pendidikan yang lebih baik. Sebagian dari anak-anak yang dulu menikmati pembangunan SD itu kini dapat dipastikan merasakan buahnya dengan melakukan mobilitas sosial berkat pendidikan lebih baik.
Mengelola talenta
Tentu saja, tantangan 1970- 1980-an sudah sangat berbeda. Jika pendirian SD Inpres pada 1970-an diiringi program Wajib Belajar 6 Tahun, sekarang program wajib belajar itu sudah diperluas jadi 12 tahun sehingga targetnya adalah setiap anak Indonesia mendapat pendidikan minimal sampai sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA). Apabila pendekatan struktural melalui pendirian gedung sekolah SD Inpres tahun 1970-an kemudian dibarengi program pengendalian pertumbuhan penduduk lewat program Keluarga Berencana, jumlah absolut pertumbuhan anak muda produktif hari ini ditandai adanya ledakan dalam jumlah sangat besar. Para ilmuwan/akademisi menyebutnya bonus demografi.
Bonus demografi yang diterima bangsa Indonesia akan berpuncak sekitar tahun 2030 atau 11 tahun dari sekarang. Jika tak dikelola secara terkoordinasi yang mengandaikan adanya suatu lembaga otoritatif yang mengelola talenta-talenta baru Indonesia, ada kemungkinan 11 tahun mendatang, bonus demografi ini justru berbalik jadi kutukan demografi. Faktanya, sampai hari ini belum terdapat suatu rancangan besar (grand design) dalam pengelolaan talenta-talenta yang dimiliki bangsa ini. Padahal, kita juga mencanangkan suatu visi yang disebut Visi Indonesia Maju, yang ditargetkan akan kita capai pada saat bangsa ini berumur 100 tahun, yakni pada 2045.
KOMPAS/JOHANES GALUH BIMANTARA–Siswa SD Inpres Perumnas Balaroa di Kota Palu, Sulawesi Tengah, Selasa (30/10/2018), mengikuti pemulihan trauma di dalam ruang kelas sementara atau rukatara yang dibangun Badan Usaha Milik Negara.
Tantangan pokok terbesar untuk membangun pengelolaan talenta yang bersifat nasional dan terpusat justru terletak pada terseraknya setiap program pengembangan anak-anak muda di setiap kementerian dan lembaga yang jadi pemangku kepentingan.
Akibatnya, pengembangan talenta tidak atau belum terfokus pada pencapaian sasaran atau tujuan, yakni mengembangkan setiap potensi yang dimiliki anak-anak bangsa ini, termasuk di dalamnya pelaksanaan kebijakan dan program yang dilahirkan untuk mencapai tujuan tersebut. Model pengembangan talenta-talenta belum terintegrasi karena tidak adanya suatu lembaga otoritatif yang secara khusus dibuat untuk menangani dan mengelola pengembangan talenta anak-anak di Indonesia.
Apabila dibuat kluster besar untuk mengelompokkan talenta-talenta yang dibutuhkan untuk mengisi kebutuhan berbangsa 50-00 tahun mendatang, kluster itu dapat dikelompokkan dalam lima kluster besar sebagai permulaan, misalnya (1) olahraga, (2) seni dan budaya, (3) riset dan sains, (4) industri, dan (5) aparatur sipil negara (ASN). Mengapa perlu kluster atau bidang ASN dalam pengembangan talenta nasional? Karena sesungguhnya ASN adalah mesin penggerak utama birokrasi modern. Mengembangkan talenta di lingkungan ASN akan jadi fondasi kokoh dalam pengembangan talenta di bidang lain.
Dengan lima kluster besar itu sebagai struktur awal yang bersifat skalabel (dapat ditambah sesuai kebutuhan dan perkembangan), setiap pengembangan talenta yang menyangkut tiga bidang atau kluster itu dapat diintegrasikan ke dalam badan atau lembaga khusus, dengan memanfaatkan semua sumber daya (orang, properti, infrastruktur, anggaran) yang selama ini terserak di berbagai kementerian dan lembaga. Konsolidasi ini penting mengingat lembaga baru yang khusus menangani talenta itu berorientasi pada output yang terukur pada setiap kluster/bidang yang diurus.
Menggali potensi
Berkaca pada potensi yang dimiliki oleh Indonesia—alam, budaya, kebijakan pemerintahan, dengan segala variasinya—ternyata justru jadi obyek kajian dan pengamatan para ilmuwan asing, dan ternyata mampu menginspirasi mereka dan memberi kontribusi bagi kemanusiaan dan ilmu pengetahuan. Raihan Nobel Duflo dan kawan-kawan seharusnya menjadi pelecut untuk menciptakan kebutuhan membangun dan mengelola talenta-talenta Indonesia secara terarah.
Apalagi, Presiden Jokowi sudah berulang-ulang menegaskan, fokus pemerintahannya di periode kedua, selain menyelesaikan pembangunan infrastruktur yang sudah dikerjakan, akan menekankan pengembangan dan pembangunan sumber daya manusia. Pemerintahan yang dijalankan bersama Ma’ruf Amin ingin menjadikan Indonesia bersaing dengan bangsa-bangsa lain dalam ekosistem dan tata dunia yang juga sudah berubah.
Penegasan Presiden Jokowi itu perlu untuk diimplementasikan dan terutama dikelola secara efektif, tidak saja dalam kebijakan dan program yang sudah direncanakan oleh setiap kementerian dan lembaga sebagaimana dalam mekanisme penganggaran program yang dicanangkan oleh pemerintah.
Fokus pengembangan itu perlu untuk diletakkan dalam perspektif jangka menengah dan panjang, dan tak bisa dijawab hanya sekadar membentuk suatu lembaga atau organisasi, tetapi juga harus diimbangi dengan regulasi, baik berupa UU, peraturan pemerintah, peraturan presiden, inpres, maupun aturan lainnya. Dengan meletakkan pengelolaan talenta sebagai kebutuhan bagi bangsa ini, dan memberikan alas atau fondasi hukum yang kuat, bangsa ini memiliki legitimasi dan tujuan yang jelas dalam rangka mewujudkan cita-citanya menjadi maju pada 2045. Sebab, sesungguhnya, cita-cita itu adalah mimpi yang diberi tanggal
(Yanuar Nugroho Deputi II Kepala Staf Kepresidenan 2015-2019)
Sumber: Kompas, 18 Oktober 2019