Usianya baru 14 tahun, tetapi Roslinda sudah terlibat jauh dalam urusan perlindungan hak-hak anak di Sumba Timur. Pekan lalu, ia tampil sebagai pembicara kunci pada Forum Politik Tingkat Tinggi tentang Pembangunan Berkelanjutan di New York, Amerika Serikat. Di depan para pejabat dari banyak negara, ia mengetuk hati semua pihak agar mendengar suara anak di seluruh dunia.
KOMPAS/LUCKY PRANSISKA–Roslinda Oslin (14) di Menara Kompas, Jakarta, Jumat (5/7/2019).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Selain Oslin, ada tiga anak lainnya masing-masing dari Mongolia, Lesotho, dan Ghana yang mendapat kesempatan berbicara di forum yang masuk dalam agenda tahunan PBB itu. Anak dari Lesotho berbicara tentang perkawinan anak, dari Mongolia berbicara tentang dampak perubahan iklim terhadap anak.
”Saya fokus bicara tentang penghapusan kekerasan terhadap anak karena persoalan itu yang dulu sering kami hadapi di Sumba Timur,” kata Roslinda atau biasa disapa Oslin, Senin (22/7/2019), di Jakarta, dua hari setelah dirinya kembali dari New York. Ia tampak ceria, tidak ada sedikit pun tanda-tanda keletihan setelah terbang jauh dari New York.
Oslin juga berbicara dalam bahasa Inggris di lima pertemuan lain yang menjadi bagian dari rangkaian forum politik tingkat tinggi itu. Pada sesi Leave No Child Behind: Achieving the SDGs through Investing in the Rights of the Child, ia menjadi pembicara kunci bersama para menteri dan delegasi dari sejumlah negara, termasuk Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang PS Brodjonegoro. Pada sesi Putting Children at The Heart of 2030 Agenda, ia berbicara di depan sejumlah pejabat dari banyak negara, termasuk Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Susana Yembise.
Ia bertemu dengan Utusan Khusus Sekretaris Jenderal PBB Urusan Penghapusan Kekerasan terhadap anak Najat Maala M’Jid. Ia menyampaikan rekomendasi untuk menghapus perkawinan anak. ”Waktu saya sampaikan, Bu Najat manggut-manggut,” ujar Oslin dengan percaya diri.
CHRISTINE NESBITT–Roslinda (14) saat berbicara pada High Level Political Forum on Sustainable Development di New York, 18 Juli 2019. Siswa kelas IX SMP di Sumba Timur itu berbicara tentang isu perlindungan anak, termasuk di dalamnya penghapusan kekerasan terhadap anak, pencegahan perkawinan anak, dan pencegahan penelantaran anak.
Dari pertemuan di New York, Oslin mengaku mendapat banyak pengetahuan tambahan. Ia kini tahu bahwa persoalan yang menimpa anak di sejumlah negara banyak macamnya. Di Chile, misalnya, banyak anak yang menderita akibat migrasi. Di negara lainnya banyak anak menderita karena konflik.
Kekerasan
Oslin adalah anak keempat dari lima bersaudara. Ayahnya bekerja sebagai guru SD, sedangkan ibunya mengurus keluarga. Oslin merasa beruntung karena kedua orangtuanya tidak pernah melakukan kekerasan. Sebaliknya, kedua orangtuanya selalu menyampaikan firman-firman Tuhan yang berbicara soal cinta kasih terhadap sesama.
”Bapak tidak pernah menekan kami. Bapak malah selalu menanyakan pendapat anak-anaknya sebelum ia mengambil keputusan. Ia juga tidak pernah melarang kami berkegiatan di luar rumah,” ujarnya.
Pada 2017 ketika duduk di kelas VII, Oslin tertarik bergabung dengan Forum Anak Desa Kombapari, Kecamatan Katala Hamu Lingu. ”Saya lihat anak-anak forum berprestasi di sekolah dan pintar omong. Saya ingin seperti mereka,” ujarnya.
Setelah aktif di Forum Anak, Oslin mulai memiliki kesadaran tentang problem yang dihadapi anak-anak desa di Sumba Timur. ”Dulu di sebuah desa di Sumba Timur bahkan ada anak usia enam tahun yang dijodohkan dengan bapak-bapak. Anak itu mendapat kekerasan dan akhirnya trauma,” cerita Oslin dengan nada geram.
Oslin menjelaskan, kasus-kasus kekerasan yang dialami anak ternyata cukup banyak dan dianggap biasa saja. ”Anak dimarahi dengan kata-kata kasar, ditampar, bahkan dipukul dengan kayu oleh orangtua atau guru,” ucapnya.
Problem lainnya, lanjut Oslin, ada anak-anak yang telantar karena orangtuanya pergi ke luar negeri. Sebagian dititipkan kepada kerabatnya atau diasuh nenek-kakeknya. Namun, mereka tetap saja tidak mendapatkan perhatian dan cinta kasih dari orangtua.
Didampingi oleh Wahana Visi Indonesia, Oslin dan anggota Forum Anak mulai mendekati para orangtua, guru, dan tokoh masyarakat untuk diajak bicara tentang problem yang dihadapi anak di acara musyawarah desa. ”Waktu pertama kali ikut musyawarah, mereka anggap kami sepele karena kami masih kecil-kecil,” katanya mengenang.
Dulu, lanjut Oslin, anak-anak dilarang berkegiatan di Forum Anak. Mereka malah disuruh kerja saja di rumah. Mendapat tantangan seperti itu, Oslin dan kawan-kawan tidak patah arang. Ia terus mendekati para orangtua dan tokoh masyarakat. ”Setelah banyak anak ikut Forum Anak, orang-orang tua akhirnya menerima dan mau diajak bicara. Sekarang kalau ada masalah yang menimpa anak, kami bicarakan di musyawarah desa,” ujarnya.
Tidak berhenti di situ, Forum Anak selanjutnya membuat program pelatihan pengasuhan anak dengan cinta untuk orangtua, guru, dan tokoh agama. ”Setelah program ini berjalan, kekerasan terhadap anak berkurang, bahkan tidak ada lagi di desa kami,” ucap Oslin.
Oslin dan Forum Anak juga memperjuangkan akta kelahiran untuk setiap anak di desanya. ”Di desa kami banyak anak tidak punya akta kelahiran, yang artinya tidak bisa daftar sekolah. Orangtua banyak yang tidak mampu bikin akta atau tidak punya kesadaran,” kata Oslin.
Perjuangan itu berhasil. Kini, semua anak di Desa Kombapari yang jumlahnya sekitar 200 anak sudah punya akta kelahiran. ”Sudah 100 persen kakak,” ujar Oslin bangga.
ARSIP WAHANA VISI INDONESIA–Roslinda menerima Penghargaan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sebagai Anggota Forum Anak yang Memperjuangkan Hak Sipil Anak dan Akta Kelahiran, 2019, Selasa (23/7/2019), di Jakarta.
Yang lebih menggembirakan, kegiatan Forum Anak didukung pemerintah desa. Mereka mengalokasikan dana desa Rp 60 juta untuk kampanye penghapusan kekerasan terhadap anak. Pemerintah desa juga menerbitkan peraturan desa tentang perlindungan anak untuk mencegah pernikahan dini dan mewajibkan semua orangtua membuatkan akta kelahiran untuk anak-anak mereka.
”Bisa dikatakan desa ini memiliki komitmen paling kuat untuk menjadi desa layak anak,” kata Priscilla Christin, Direktur Komunikasi Wahana Visi Indonesia, yang selama ini mendampingi Oslin dan Forum Anak.
Ramah anak
Berkat usaha gigih Oslin dan Forum Anak di desanya, Oslin terpilih sebagai wakil anak Indonesia yang berbicara di forum politik tingkat tinggi PBB di New York. ”Kami menyaring anak-anak dari daerah-daerah di Indonesia untuk mengikuti focus group discussion tentang anak. Dari situ kami, juri, dan anak-anak yang terlibat memilih Oslin karena ia memiliki pengalaman dalam advokasi perlindungan anak di desanya,””ujar Priscilla.
Sepulang dari New York, mata Oslin semakin terbuka. Ternyata banyak anak di dunia yang hidupnya menderita akibat kekerasan dan konflik yang melibatkan orang dewasa. Kenyataan ini mempertebal tekad Oslin untuk terus terlibat dalam gerakan perlindungan hak anak.
”Saya mau melihat dunia ini bebas dari kekerasan terhadap anak,” ucapnya. Itu adalah kalimat pamungkas Oslin saat berpidato di New York. Ia mendapatkan tepuk tangan panjang dari hadirin. Namun, hal yang dibutuhkan Oslin sebenarnya bukan sekadar tepuk tangan, melainkan juga dukungan nyata.
Roslinda
Ayah: Melkianus
Ibu: Maria
Aktivitas:
Ketua Forum Anak di Sumba Timur sejak 2018
Prestasi:
Pembicara kunci pada Forum Politik Tingkat Tinggi PBB untuk Pembangunan Berkelanjutan di New York, 2019
Penghargaan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sebagai Anggota Forum Anak yang Memperjuangkan Hak Sipil Anak dan Akta Kelahiran, 2009
Finalis Lomba Story Telling di Kabupaten Sumba Timur
BUDI SUWARNA
Sumbet: Kompas, 24 Juli 2019