TINDAKAN-tindakan penindasan dan penghisapan berkedok pemberdayaan membuatnya muak dan tIdak tahan. Jaminan masa depan dan kehidupan yang nyaman pun ia tinggalkan. Iskandar Kuntoadji (43) menyodorkan antitesis dari pendapat bahwa materi dan kekuasaan adalah hal-hal yang paling layak dikejar dalam hidup.
Padahal selama tiga tahun bekerja di perusahaan konglomerat era Orde Baru sebagai anggota tim perencana dan pengembangan, gajinya lebih dari lumayan. Pun dari segi kekuasaan tim ini bisa mengakses semua anak perusahaan dan berhubungan langsung dengan pimpinan.
”Justru keleluasaan itu membuka mata saya. Banyak kecurangan terjadi, termasuk pada perusahaan rakyat yang jadi mitra kerjanya. Saya tidak tahan.”
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Suara hati terus meresahkannya sampai ia memilih keluar, tahun 1988. Lulusan jurusan geologi Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun 1984 itu kembali bergabung dengan teman-temannya –para alumni ITB –di Yayasan Mandiri, suatu Iembaga swadaya masyarakat yang mereka dirikan bersama bagi pengembangan teknologi pedesaan.
Maka laki-laki kelahiran Jakarta, 9 Agustus 1956, ini kembali menapaki dunia nyata. Saat membangun teknologi air bersih ia tidur di masjid, mushala, dan balai desa. Ia menghabiskan sisa waktunya bergaul dengan rakyat desa untuk mengetahui kesulitan hidup mereka.
Selama bertahun-tahun, sulung dari empat bersaudara anak Keluarga Mayjen (purn) Ir Kuntoadji itu menjalani hidup pas-pasan dengan optimisme kuat: bahwa kemajuan harus dinikmati setiap orang, yang berarti kesenjangan pada semua sektor kehidupan antar anggota kelompok masyarakat harus diperkecil.
Pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat desa berupa air dan listrik ia yakini sebagai langkah pertama memperkecil jurang itu.
TITIK balik tiba ketika Gesellsehaft fur Techniche Zuzammenarbeit (GTZ)– NGO yang mengelola bantuan Jerman di bidang teknologi– menawarkan kerja sama membangun mikro hidro di pedesaan. Mikrohidro memanfaatkan debit dan ketinggian jatuhnya air pada sungai kecil di desa-desa untuk menghasilkan energi listrik di bawah 100 kilowatt.
Saat ini, di seluruh Indonesia terdapat potensi mikro dan minihidro –penghasil listrik 100-500 kilowatt –sekitar 7.500 megawatt, 1.000 megawatt di antaranya untuk Jawa-Bali. ”Yang sudah dimanfaatkan PLN dan pengusaha kecil baru 200 megawatt,” papar Iskandar.
Meski biaya investasi relatif tinggi –2.500 dollar AS/kilowatt terpasang dibanding PLTA Kotopanjang yang
1.000 dollar AS/kllowatt terpasang dampak positif mikrohidro terhadap masyarakat dan lingkungan hidup jauh lebih signifikan. Karena memanfaatkan sungai, kepada penduduk ditanamkan pemahaman pentingnya menjaga kelestarian hutan yang menjadi sumber airnya. ”Untuk mendapatkan satu kWh (kilowattjam), harus ada satu pohon di hutan yang menahan air,”katanya.
Rakyat juga harus belajar manajemen air, pemeliharaan alat, menghitung energi yang disalurkan, serta berapa biaya yang diperlukan, karena umumnya mikrohidro dikelola secara swadaya. Kalau energi listrik sudah dikirim dari rumah ke rumah, berbagai kegiatan ekonomi bisa dikembangkan. Kemampuan masyarakat di bidang manajamen dan teknis juga berkembang, sehingga pemerataan kesejahteraan di desa bukan lagi retorika.
Teh Nunung di Subang Jawa Barat adalah salah satu contoh. Bersama Yayasan Mandiri, perempuan ini merintis program mikrohidro tahun 1991/1992 yang menghasilkan 8-10 kilowatt listrik pada musim kemarau dan 12-15 kilowatt saat musim hujan. Pendapatannya bisa sekitar Rp 6 juta sebulan.
Kebutuhan listrik seluruh penduduk dicukupi dari mikrohidro Teh Nunung Namun setelah listrik PLN masuk, pelanggannya tinggal 12 keluarga yang hanya membayar Rp 5.000 tiap bulan pada Teh Nunung. Sisa energi listrik, dimanfaatkan untuk industri keluarga.
Menurut Iskandar, sedikit energi listrik bisa menerangi seluruh kampung. Di Kampung Citalahap, di kaki Gunung Halimun misalnya, listrik 5.000 watt menjangkau 50 KK. Di Cicemet, Sukabumi, dibutuhkan 65.000 watt untuk 1.000 KK. ”Sayang sekarang terpaksa dimatikan karena kelebihan beban. Itu gara-gara rezeki Pongkor, yang membuat seluruh kampung memberong televisi dan kulkas padahal daya dukung listrik terbatas,” katanya.
SECARA nasional, mikrohidro sebenarnya membantu meringankan beban PLN, kalau sisa energi listrik untuk kebutuhan penduduk bisa dijual pengelola ke PLN. Namun proposal ideal yang berpihak kepada kepentingan rakyat belum diterima. Maka Teh Nunung yang sudah menjual listrik ke PLN tertunda-tunda pembayarannya karena peraturan belum ada. Padahal dibanding harga pembangkit swasta yang menjual listrik ke PLN –dan membuat seluruh konsumen membayar mahal– harga jual listrik mikrohidro jauh lebih murah, hanya 0,8 sen dollar/kwh.
Bandingkan dengan harga jual listrik PLN ke konsumen yang dua sen dollar AS/kwh. Biaya produksi PLN sendiri mencapai 3-4 sen dollar AS/kwh, sehingga subsidi pemerintah adalah 1-2 sen dollar AS/kwh. Atau bandingkan dengan pembangkit listrik swasta seperti Paiton yang menjual listriknya ke PLN sampai 6-7 sen dollar AS/kwh dan pembangkit listrik geotermal yang mencapai 8 sen dollar AS/kwh.
”Sebelum Paiton dan Tanjung Jati beroperasi tahun 1994, saya sudah mengajukan proposal itu, tetapi tidak, diambil,” kata Iskandar. Ia berharap terjadi reformasi cara pandang dan sikap para pengambil keputusan di PLN, bahwa pemanfaatan mikrohidro tak hanya menyangkut penghematan biaya trilyunan rupiah, tetapi terutama adalah memindahkan aliran uang ke desa-desa.
Saat ini Iskandar terus berupaya mengembangkan mikrohidro di seluruh Indonesia dengan mempersiapkan pusat pelatihan mikrohidro, di samping membuat satu bundel standar teknis dan administratif sebagai tuntunan praktis bagi siapa pun yang berminat mengembangkan mikrohidro.
”Dengan bekal itu, pengelola mikrohidro bisa bernegosiasi menjual listrik yang dihasilkannya dengan PLN,” paparnya.
MESKI sekarang banyak dipercaya berbagai lembaga internasional untuk menangani proyek-proyek masyarakat berskala lebih besar, Iskandar tidak kehilangan kesederhanaannya. ”Gelas minum saya dan keluarga saya cukup satu. Tumpahan airnya milik orang lain,” ujarnya.
Itu membuat istrinya, Tri Mumpuni, menyisihkan tiga hari dari waktu sibuknya di Desa Panaruban, Subang, Jawa Barat, untuk memasak bagi tetangga dan menyatu dengan kehidupan mereka. ”Kalau punya rezeki sedikit, ya dibagi yang sedikit. Kalau banyak, ya dibagi yang banyak,” kata Iskandar.
Prinsip hidup itu pula yang membuat istrinya pada awal perkawinan mereka terkejut melihat di lemari suaminya hanya ada tiga-empat baju berkualitas sederhana. ”Memangnya kita pakai baju sekali dua?” kilahnya saat itu.
Iskandar, istri dan kedua putri mereka, Ayu (12) dan Astri (10), kini menghuni rumah kontrakan berukuran sekitar 70 meter persegi di wilayah Jakarta Selatan. Rumah tanpa kursi tamu yang selalu ramai dikunjungi tamu dari beragaai kelas sosial itu, seperti sebuah oase di tengah Jakarta yang disesaki manusia-manusia haus kekuasaan dan rakus uang. (agnes aristiarini/maria hartiningsih)
Sumber: KOMPAS, KAMIS, 30 SEPTEMBER 1999