Senja Kala Era 4.0

- Editor

Kamis, 14 Maret 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Gelombang tsunami dari laut memang berbahaya dan sering kali menimbulkan korban jiwa. Namun, apabila diamati lebih jeli, ada gelombang tsunami yang juga tak kalah membahayakan, yaitu tsunami informasi.

Tsunami yang tak kasatmata ini merupakan wujud dari cepatnya perkembangan teknologi informasi satu dekade terakhir. Tsunami informasi memang terjadi pada era 4.0 atau era informasi. Melalui jaringan dan konektivitas yang semakin mudah terjangkau, informasi bisa dibuat dan dikonstruksi dengan mudah.

Akibat dari bencana ini adalah munculnya hoaks, akun palsu, hingga sesat nalar. Tom Nichols bahkan mengkritik era ini dengan sebutan senja kala kepakaran.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Pengamat politik ini bahkan berani mengaitkan kondisi matinya kepakaran dengan efek Dunning-Kruger. Efek tersebut disebabkan oleh budaya komentar yang tidak disertai data kokoh serta valid. Nichols memang mengatakan bahwa efek Dunning-Kruger terjadi pada masyarakat Amerika, tetapi tidak sedikit pula warga dunia yang mengalami hal serupa.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN–Warga memanfaatkan aplikasi sipandora di Jakarta, Kamis (31/1/2019). Aplikasi Sipandora (Sistem Pemantauan Bumi Nasional berbasis Android) yang diluncurkan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) kini bisa dinikmati masyarakat. Aplikasi ini memberikan layanan data dan informasi satelit penginderaan jauh berbasis digital seperti zona potensi penangkapan ikan, suhu permukaan laut, produktivitas padi, peringatan dini bencana kebakaran lahan, dan kekeringan.

Selain tsunami informasi, era 4.0 juga melahirkan post truth era—era pasca-kebenaran. Menurut Haryatmoko, post truth merupakan iklim politik yang mengaburkan antara obyektivitas dengan rasionalitas. Istilah post truth bahkan dinobatkan menjadi word of the years kamus Oxford pada 2016.

Post truth lebih mengedepankan emosi untuk memperoleh berita daripada melihat secara obyektif realitas yang terjadi. Masyarakat yang terlalu bernafsu memperoleh informasi justru menjadi sasaran empuk post truth. Nafsu memengaruhi emosi. Berita yang disajikan sesuai dengan kondisi emosi akan ditelan mentah-mentah dan tidak dikoreksi lagi kebenarannya.

Kebenaran dalam post truth sering kali dianggap sebagai kebenaran alternatif sehingga mampu mengaburkan kebohongan. Pada era 4.0, keberadaan post truth semakin merajalela karena bentuk sensor yang digunakan bukan lagi menutup-nutupi kesalahan, melainkan menggelontorkan segala informasi sehingga mampu mengecoh antara informasi yang benar dan yang salah.

Melihat kelemahan dari era 4.0 ini, ada satu negara di Asia yang tidak tinggal diam dan sudah melangkah meninggalkan era 4.0. Negara itu adalah Jepang.

AFP/POOL/JIJI PRESS-+Suasana acara peringatan 30 tahun penobatan Kaisar Akihito di Tokyo, Jepang, Minggu (24/2/2019). Acara ini menjadi acara peringatan naik tahta terakhir baginya karna pada 30 April 2019 nanti ia melepas jabatannya sebagai kaisar Jepang.

Berdasarkan laporan dari peneliti Jepang, Mayumi Fukuyama, masyarakat Jepang sudah mulai memasuki era 5.0. Dalam laporan penelitian tersebut disebutkan bahwa Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe beserta kabinet pemerintahan Jepang telah merancang strategi dasar untuk mengajak masyarakat Jepang melangkah menuju era 5.0.

Masyarakat era 5.0
Inti dari era 5.0 adalah menggabungkan antara segala hal yang virtual untuk membantu kehidupan nyata. Teknologi, kecerdasan buatan (artificial intelegence), hingga informasi dijadikan sebagai sekumpulan perangkat untuk mempermudah kehidupan.

Keterampilan dasar manusia yang dibutuhkan bukan lagi terampil untuk mengonsumsi informasi melainkan memilah kemudian menggunakan informasi tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Keterampilan dasar manusia, seperti komunikasi, kepemimpinan, daya tahan, keingintahuan, hingga literasi menjadi faktor penentu kesuksesan masyarakat 5.0.

Era 5.0 mulai merambah dalam berbagai sektor kehidupan, khususnya pada pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Penggunaan teknologi finansial, konsultasi hingga kelas belajar secara daring merupakan wujud dari era 5.0. Integrasi setiap alat dengan alat lainnya serta kemampuan mengoperasikan teknologi kecerdasan buatan untuk merespons kebutuhan manusia juga merupakan wujud dari masyarakat 5.0.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN–Robot pelayan restoran ‘i5’ karya siswa Lembaga Kursus dan Pelatihan (LKP) Sari Teknologi dipamerkan dalam pameran pendidikan dan kebudayaan rangkaian Rembug Nasional Pendidikan dan Kebudyaan 2019 di Pusdiklat Kemendikbud, Depok, Jawa Barat, Senin (11/2/2019).

Ada hal menarik yang perlu digarisbawahi dalam masyarakat 5.0 ini, yaitu secanggih- canggihnya teknologi, yang lebih pintar haruslah manusianya. Itulah sebabnya era 5.0 disebut dengan era masyarakat cerdas (smart society).

Kecakapan memahami dan mengolah teknologi hingga informasi merupakan kunci utamanya. Pencapaian pada era 4.0 digunakan sebagai perangkat untuk memulai era 5.0.

Masyarakat Indonesia sesungguhnya juga sudah mulai banyak yang berpikiran demikian. Kemunculan para youtubers, vlogers, dan startup hingga unicorn merupakan wujud nyata pola pikir 5.0. Bagi masyarakat yang sudah muak terombang-ambing dalam arus tsunami informasi, maka menjadi masyarakat 5.0 adalah solusinya.

KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA–Calon anggota legislatif DPRD Kota Bandung dari Partai Persatuan Pembangunan, Alga Indria (memegang mikrofon), menggelar mini konser di Antapani, Kota Bandung, Jawa Barat, Rabu malam (6/3/2019). Konser yang juga ditayangkan secara langsung lewat Instagram dan Youtube itu menjadi cara untuk mengenalkan diri kepada konstituennya.

Cakap dalam memilih, memilah, hingga memahami informasi adalah langkah dasar yang perlu dilakukan. Selanjutnya adalah menggunakan informasi tersebut untuk kebaikan hidup bersama.

Etika, nalar sehat, diiringi dengan pola pikir kritis merupakan tiga kemampuan yang berjalin-berkelindan untuk membentuk masyarakat produktif 5.0. Oleh sebab itu, gunakan, kendalikan, dan manfaatkan informasi semaksimal mungkin demi kehidupan bersama yang baik.

Ardi Wina Saputra Dosen Universitas Katolik Widya Mandala Madiun

Sumber: Kompas, 14 Maret 2019

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Menghapus Joki Scopus
Kubah Masjid dari Ferosemen
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Misteri “Java Man”
Empat Tahap Transformasi
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
Apa Itu Big Data yang Didebatkan Luhut Vs Mahasiswa
Gelar Sarjana
Berita ini 5 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Jumat, 2 Desember 2022 - 14:59 WIB

Misteri “Java Man”

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:15 WIB

Empat Tahap Transformasi

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB