Lebih dari dua dekade Koderi (57) bergelut dengan persoalan sampah dan lingkungan. Sekitar 100 tempat pembuangan akhir di sejumlah daerah di Indonesia telah merasakan “sentuhannya”. Menurutnya ada manfaat besar di balik setiap meter kubik gundukan sampah yang kotor dan menjadi vektor penyakit itu.
Rabu (27/2/2019) sore, Koderi baru saja selesai mendampingi mahasiswanya mengikuti ujian disertasi Program Doktoral Ilmu Lingkungan di Universitas Brawijaya Malang, Jawa Timur. Dengan tema model pengolahan sampah berbasis refused derived fuel, penelitian promovendus erat dengan bidang yang selama ini ditangani oleh Koderi.
KOMPAS/DEFRI WERDIONO–Koderi (57) tengah menunjukkan penghargaan Kalpataru yang dia terima pada tahun 2013 lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Usai menemani sang mahasiswa, lelaki supel itu kembali ke kantor di mana ia biasa bertugas di lingkungan pemerintah Kabupaten Malang. Sebagai pejabat struktural, Koderi bertugas di bidang penaatan pada Dinas Lingkungan Hidup setempat. Di luar waktu kerja itulah, aktivitasnya bersinggungan dengan sampah kembali bergulir.
Koderi tidak keberatan waktu liburnya pada hari Sabtu dan Minggu “dirampas” untuk terbang ke berbagai daerah yang membutuhkan sumbangsih tenaga dan pikirannya untuk menangani permasalahan yang berkaitan dengan sampah, khususnya tempat pembuangan akhir (TPA).
Terakhir tahun 2018, ia diminta membantu mengatur instalasi penangkapan gas metana (CH4) Kabupaten Kulon Progo dan Gunung Kidul (DI Yogyakarta) serta Sukoharjo (Jawa Tengah). “Untuk tahun ini belum ada TPA yang saya sentuh. Hanya saja kemarin, saya baru diundang untuk berbicara soal energi positif guna meningkatkan kapasitas masyarakat di Probolinggo. Pesertanya 150 orang perwakilan dari 16 komunitas penggiat lingkungan di daerah itu,” ucapnya.
Terkait dengan kegiatan seting-menyeting instalasi metana di TPA, Koderi telah menjelajah berbagai daerah di Tanah Air, seperti Tanjung Pinang, Bitung, Manado, Banjar, Banjarbaru, Banjarmasin, Kendari, Sinjai, Denpasar, Majalengka, Cirebon, dan Semarang. Sejumlah daerah di Jawa Timur, seperti Pasuruan, Situbondo, Banyuwangi, dan Mojokerto juga menggunakan jasanya.
Sejauh ini, menurut Koderi, tidak ada kendala berarti dalam “menundukkan” TPA di banyak daerah yang telah ia tangani. Hanya TPA Jati Barang di Semarang yang memiliki tantangan lebih karena wilayah luas dengan volume sampah cukup besar. Selain itu, banyaknya sapi yang berkeliaran menjadi ancaman tersendiri bagi instalasi pipa gas di dalamnya.
KOMPAS/DEFRI WERDIONO–Situasi di tempat pembuangan akhir sampah Talangagung di Kabupaten Malang, Jawa Timur, Selasa (19/2/2019)
Terhadap TPA-TPA itu, Koderi menawarkan sebuah teknologi sederhana dan murah tentang bagaimana menangkap gas metana yang dihasilkan oleh sampah sehingga menjadi barang berguna untuk membantu keperluan hidup sehari-hari masyarakat sekitar. Koderi sendiri mendapatkan metode penangkapan gas dari pelatihan dan uji coba yang ia lakukan sebelumnya.
“Sampah yang terbuka kita tata dengan alat berat. Lalu kita pasang instalasi perpipaan vertikal dan horizontal. Kita beri filter dan output-nya kita kendalikan sehingga saat hasilnya kita bakar, ia sudah tidak mencemari lingkungan lagi,” terangnya.
Pengabdi Lingkungan
Keberhasilan Koderi menaklukkan TPA berawal saat dirinya menyulap TPA di Kabupaten Malang yang semula terbuka (open dumping) dan dilarang oleh Undang-Undang menjadi model controlled landfill yang berujung pada wisata edukasi. Saat itu ia masih menjabat sebagai kepala TPA setempat.
KOMPAS/DEFRI WERDIONO–Situasi di tempat pembuangan akhir sampah Talangagung di Kabupaten Malang, Jawa Timur, Selasa (19/2/2019).
Atas keberhasilannya inilah, tahun 2013 Koderi menerima penghargaan Kalpataru dari pemerintah untuk kategori Pengabdi Lingkungan. Saat itu, ayah tiga anak ini baru membantu menangani 17 TPA di sejumlah wilayah, termasuk Sulawesi dan Kalimantan.
Dari Talangagung pula Koderi meraih gelar pascasarjana yang dua-duanya didapat dari Universitas Brawijaya. Tesisnya mengenai purifikasi di Talangagung mengantarkan Koderi meraih Master Lingkungan tahun 2015. Begitu pula disertasi model pengelolaan TPA Talangagung sebagai tempat wisata edukasi mengantarkannya meraih Doktor pada Mei 2018 dan cum laude.
Selain rindang dan menarik, tahun 2015 TPA Talangagung menyabet penghargaan inovasi pelayanan publik Top 25 dari Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Saat ini Talangagung telah menyuplai gas metana untuk 360 rumah warga di sekitarnya dan didatangi sekitar 10.000 orang wisatawan setiap tahun.
Menurut Koderi penanganan TPA di Indonesia masih banyak yang belum mengacu pada ketentuan. Berdasarkan data dari Kementerian Pekerjaan Umum baru 5 persen TPA yang menerapkan sistem sanitary landfield, 15 persen controlled landfill, dan 80 persen sisanya masih open dumping. Adapun data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan baru 50 persen TPA yang dikelola sesuai kaidah-kaidah lingkungan.
“Gas metana itu bahaya, bersifat polutan. Kata para ahli satu ton gas metana yang terlepas ke atmosfer ekuivalen dengan 21-25 ton karbon dioksida (CO2). Dari situlah saya berpikir, karena melihat Indonesia seperti ini, saya memulainya dari Talangagung,” tuturnya.
Di luar kegiatan menyeting instalasi metana di TPA dan mengajar di pascasarjana, Koderi saat ini masih aktif sebagai narasumber bimbingan teknis Kementerian Pekerjaan Umum di Surabaya bersama pengajar dari sejumlah perguruan tinggi di Indonesia. Kegiatan ini telah dilakukannya sejak tahun 2010 lalu.
Bagi Koderi sampah adalah rezeki dari Tuhan yang punya potensi besar sebagai sumber energi terbarukan. Selama ini, menurut dia, orang masih memiliki perspektif yang salah terhadap sampah sehingga tidak ada tindakan positif yang mereka lakukan terhadapnya.
Koderi punya komitmen selama hayat masih di kandung badan ingin tetap berbuat sesuatu terhadap sampah dan lingkungan. Apalagi, di sisi akademis, dirinya punya tanggung jawab di bidang itu. Koderi menyebut dirinya mendapatkan surat keputusan (SK) dari langit tentang kiprahnya tersebut.
“SK langit, tidak ada kertas namun bertanggung jawab secara langsung kepada Tuhan sehingga ke depan bagaimana pengelolaan lingkungan dan sampah bisa dilakukan lebih baik,” pungkasnya.
Koderi
Lahir: Malang, 13 September 1962
Istri: Sri Ratna Pujiastuti
Anak: Nadia Kinanti (24), Fajri Hayu Religi (20), Ganang Adi Nugroho (18)
Pendidikan:
SDN Undaan Turen
STN 4 Malang
STM Nusantara Malang
Diploma dari Akademi Teknik Nasional Malang
S1 Jurusan Mesin ITN
S2 Sumber Daya Air dan Lingkungan Pembangunan Universitas Brawijaya
S3 Ilmu Lingkungan Univ Brawijaya
Penghargaan:
Kalpataru 2013
Mahasiswa S3 berprestasi dalam pengembangan inovasi teknologi pengendalian dan pemanfaatan gas metana oleh pascasarjana Universitas Brawijaya Tahun 2017
DEFRI WERDIONO
Sumber: Kompas, 4 Maret 2019