Akat (51) bukanlah petani bawang merah biasa. Kepedulian dan rasa ingin tahu terhadap tanaman ini mendorong ia berkesperimen menghasilkan varietas baru bawang merah. Selama lebih dari tiga dekade, ada tujuh varietas baru bawang merah yang ia hasilkan di tanah Anjuk Ladang, Nganjuk, Jawa Timur. Berkat capaiannya, kini Nganjuk menjelma menjadi salah satu daerah penyangga benih bawang merah nasional.
Membudidayakan tanaman bawang merah bukanlah perkara mudah. Selain harus menguasai teknik menanam, diperlukan benih bawang merah yang sesuai untuk dibudidayakan di ekosistem setempat. Tak jarang, hasil panen bawang merah tidak maksimal karena benih yang dipilih tidak sesuai dengan kondisi alam.
KOMPAS/IQBAL BASYARI–Petani bawang merah asal Nganjuk, Akat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Berawal dari kegelisahan itu, Akat berupaya menangkarkan beragam varietas bawang merah. Semenjak menjadi petani bawang 32 tahun silam, beragam masalah pernah ia hadapi, mulai dari serangan hama, cuaca, dan teknik bercocok tanam yang kurang sesuai sehingga membuat hasil panen tidak maksimal.
Namun, ia tak menyerah begitu saja. Berbekal pengalaman, Akat menyilangkan beberapa jenis bawang merah untuk menciptakan varietas unggul yang sesuai kondisi lahan dan mampu menghasilkan produktivitas yang tinggi.
Selama kurun waktu 2002 hingga 2018, ada tujuh varietas baru bawang merah yang berhasil dikembangkan Akat bersama Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa). Tujuh varietas bawang merah itu adalah Sembrani, Katumi, Pikatan, Trisula, Pancasona, Mentes, dan Tajuk. Berkat campur tangannya itu, Akat bahkan didaulat memberikan nama varietas bawang merah tersebut.
“Varietas terbaru adalah Tajuk, yang memiliki kepanjangan dari tanaman Jawa dari Nganjuk. Varietas ini merupakan hasil persilangan dari beberapa varietas bawang merah lokal,” ujar Akat, Kamis (13/2/2019), di Nganjuk.
Meski tidak memiliki latar belakang pendidikan di bidang pertanian, Akat ternyata mampu menghasilkan varietas-varietas unggul. Pria yang tak lulus dari jurusan teknik listrik SMK PGRI 1 Nganjuk ini bereksperimen di sebagian lahan pertanian seluas 700 meter persegi. Di sebagian lahan miliknya ini, ia mencoba mengembangkan benih bawang merah dengan kualitas jempolan.
Dalam menangkarkan benih bawang merah, Akat memperhatikan karakteristik bawang merah yang dia teliti dan karakter yang diinginkan dari varietas baru. “Saya tidak paham teori, namun ketika diperiksa Balitsa, proses yang saya kerjakan ternyata sama dengan teori yang ada,” ujar salah satu pendiri Asosiasi Perbenihan Bawang Merah Indonesia ini.
Beberapa hal yang selalu diperhatikan saat membuat benih bawang merah antara lain sesuai permintaan pasar, memiliki produktivitas yang tinggi, tahan terhadap serangan hama, dan tahan disimpan dalam waktu lebih lama.
KOMPAS/IQBAL BASYARI–Petani bawang merah asal Nganjuk, Akat.
Penyangga benih
Hal lain yang tak boleh dilupakan adalah varietas baru itu harus cocok ditanam di ekosistem setempat. Sebab, benih bawang merah yang dikembangkan tidak hanya untuk ditanam di Ngajuk, namun juga untuk berbagai daerah di Indonesia.
“Nganjuk menjadi penyangga benih bawang merah nasional karena benih-benihnya tersebar di beberapa daerah penghasil bawang merah, seperti Sulawesi, Kalimantan, dan Nusa Tenggara,” kata Akat.
Untuk menciptakan varietas baru bawang merah, Akat membutuhkan waktu lebih dari setahun. Dia harus melewati beberapa tahapan agar benih baru yang dihasilkan lolos sertifikasi dan pengujian, seperti uji lokasi dan pemurnian. Panjangnya proses yang dilalui, seringkali untuk satu varietas baru benih ditanam hingga sembilan kali masa tanam di beberapa tempat berbeda.
“Tetangga sekitar sempat mengingatkan saya untuk berhenti bereksperimen karena dianggap melakukan hal sia-sia,” kata Akat.
Setiap bereksperimen menyilangkan bibit bawang merah, seringkali tanamannya mati karena mencoba beberapa variabel. Padahal itu untuk menguji ketangguhan varietas baru, seperti tidak dipupuk dan diberi hama.
Kini, hampir setiap petani bawang merah di Nganjuk menjadi penjual benih. Benih bawang merah dari Nganjuk dikenal sebagai salah satu yang terbaik di negeri ini. Meskipun dengan skala kecil, petani di daerah Nganjuk sudah berdaya dengan penjualan hasil panen dan benih yang dijual ke daerah lain.
Kecintaan Akat kepada dunia bawang merah sudah terbentuk sejak masa SMP. Kala itu, ia bercita-cita menjadi Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) dan ingin sekali ditugaskan di daerah terpencil untuk membantu petani-petani berdaya. Dia ingin meningkatkan pendapatan para petani bawang merah seperti ayahnya.
Harapan untuk mengenyam pendidikan di sektor pertanian pupus tatkala ia tak lolos ujian masuk sekolah di jurusan pertanian dan “terjebak” di SMK jurusan teknik listrik. Dua tahun menjalani sekolah kejuruan, Akat memutuskan untuk berhenti bersekolah. Selanjutnya, ia memutuskan menjadi petani bawang merah.
KOMPAS/IQBAL BASYARI–Petani bawang merah asal Nganjuk, Akat.
Rujukan
Sebagai petani bawang merah, Akat tak hanya beraktivitas merawat tanamannya di ladang layaknya petani-petani lainnya. Petani yang pernah diundang oleh Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono ke Istana Negara ini juga menjadi rujukan mahasiswa yang meneliti soal bawang merah. “Banyak yang meminta tolong pengujian bawang merah untuk skripsi, tesis, maupun penelitian,” tuturnya.
Sebagai salah satu petani yang sudah malang melintang di dunia bawang merah, Akat tak pelit berbagi ilmu dalam mengembangkan bawang merah. Dia membuka pusat pelatihan pertanian dan pedesaan swadaya (P4S) “Pangrukti Tani” yang berada sekitar 10 meter dari rumahnya.
Di sekolah ini, dia memberikan pelatihan kepada para petani maupun calon petani bawang merah dari berbagai daerah di Indonesia. Hampir setiap minggu selalu ada kelompok tani yang menimba ilmu di tempat ini. Materi yang diberikan antara lain terkait nutrisi, proteksi tanaman, dan ekologi bawang merah. Sekolah pelatihan ini bahkan sudah tersebar di 20 kecamatan di Nganjuk dengan instruktur.
“Saya juga sering menjadi pembicara dan diundang memberikan pelatihan kepada petani-petani bawang merah di berbagai wilayah Indonesia,” katanya.
Seiring berjalannya waktu, Akat menyadari bahwa alam akan rusak jika terlalu banyak tercampur zat kimia, termasuk dari pupuk tanaman. Memang hasil panen akan lebih banyak pada saat ini, namun untuk jangka panjang tanah akan kehilangan kesuburan.
Oleh sebab itu, kini Akat mengembangkan metode pertanian bawang merah organik. Di setiap ladang miliknya, ia memelihara kambing yang kandangnya berada di kawasan ladang bawang merah. Ia memanfaatkan kotoran kambing.
Akat berharap, petani-petani bawang merah di Indonesia semakin sejahtera. Produktivitas yang tinggi bisa diraih jika memiliki pengetahuan dan bibit bawang merah yang sesuai dengan kondisi alam. Sungguh ironis, jika negeri dengan tanah subur makmur seperti Indonesia sampai mengimpor bawang merah yang sejatinya bisa diproduksi sendiri.
Akat
Lahir: Nganjuk, 25 Juni 1967
Istri: Umi Sujiyah (48)
Anak: Mariatul Fitriah (29) dan Muhammad Ridwan (11)
Pendidikan:
SDN 1 Sukorejo, Nganjuk
SMPN 4 Nganjuk
SMK PGRI 1 Nganjuk (tidak lulus)
Pekerjaan:
Petani bawang merah
Ketua Asosiasi Petani Bawang Merah Indonesia (APBMI) Jawa Timur
Ketua Gabungan Kelompok Tani Luru Luhur, Nganjuk
Ketua Pusat Pelatihan Pertanian dan Pedesaan Swadaya (P4S) Pangrukti Tani
Penghargaan:
Tim peneliti 7 varietas bawang merah
Juara 1 Lomba Cerdas Cermat Kelompok Tani se-Jawa Timur tahun 2008
Kelompok Tani Berprestasi Tingkat Nasional tahun 2006
Juara 1 Gabungan Kelompok Tani Berprestasi Pengelola Dana Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan
IQBAL BASYARI/AGNES SWETTA PANDIA
Editor AGNES PANDIA
Sumber: Kompas, 19 Februari 2019