Pendidikan adalah proses pemberdayaan yang bernilai tambah, yang memampukan individu untuk lebih berkarya mencapai tingkat kehidupan yang lebih baik. Dengan pemahaman tersebut, masa depan individu sangat ditentukan oleh pendidikan yang ditempuhnya.
Pendidikan yang dimaksud di sini generik sifatnya, tidak membedakan jenjang, tingkat, jenis, ataupun tahapnya. Pendidikan sangat erat kaitannya dengan kemampuan atau kebisaan (ability) individu, berarti pendidikan tidak boleh diterapkan secara masif karena akan menghilangkan faktor individu yang justru menjadi faktor utama.
Keutamaan individu dalam proses pendidikan akan sangat menentukan efektivitas dan keberhasilannya. Yang paling mengetahui dan merasakan keberhasilan pendidikan adalah individu peserta didik, bukan pendidiknya, apalagi pengelolanya. Penerapan student centered learning (SCL) saat ini secara prinsip sudah sejalan dengan tujuan memampukan individu untuk berkarya melalui pembelajaran, dengan setiap peserta didik dididik untuk selalu belajar dan pendidik fungsinya membelajarkan peserta didik, bukan mengajari.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Meski demikian, dalam implementasi SCL saat ini masih sebatas formalitas karena ketidaksiapan pendidik dan juga pengelolanya, apalagi pendekatan yang dilakukan adalah pendidikan secara masif. Alasan masifikasi adalah karena jumlah peserta didik yang sangat banyak, dan untuk simplifikasi proses SCL dilakukan asesmen yang sifatnya administratif, bukan substansi.
Pendidikan yang masif cenderung memarginalkan peran peserta didik dan lebih mengedepankan peran pengelola dan pendidik, artinya tidak sesuai dengan makna pendidikan yang sesungguhnya. Ukuran keberhasilan pendidikan masif lebih bersifat administratif dan mengarah kepada pencitraan. Adanya pemeringkatan tingkat keberhasilan pendidikan makin memperparah makna pendidikan yang sebenarnya dan makin menguatkan fungsi pencitraan. Akhirnya yang menjadi korban adalah peserta didik dan masyarakat di mana keberdayaannya lemah, tidak mampu mandiri, dan sangat tergantung kepada negara.
Pendidikan masa depan
Faktor lain yang juga sangat penting dalam proses pendidikan adalah memampukan peserta didik untuk sintas (survive) di masa depan, artinya pendidik harus mampu membekali para peserta didik sehingga tidak tersisih oleh kondisi yang terjadi di masa mendatang. Berarti pendidikan harus mampu mengantisipasi masa depan dalam jangka yang panjang, tidak hanya yang saat ini, apalagi masa lalu.
Pendidikan yang saat ini diselenggarakan masih berorientasi kepada masa lalu karena para pendidiknya adalah produksi masa lalu dengan pola pikir lama. Para pendidik menggunakan pengalaman dan pengetahuan masa lalunya dalam mendidik peserta didik saat ini. Dengan demikian terjadi kesenjangan antara pengalaman dan pemahaman para pendidik terhadap harapan peserta didik serta pemangku kepentingan lainnya, di mana peserta didik berharap dapat berkarya di masa mendatang, padahal bekal yang diberikan oleh para pendidik adalah pengalaman masa lalu. Hal itu yang selama ini terjadi di pendidikan, di mana para peserta didik merasakan bahwa apa yang mereka peroleh dari pendidikan tidak terasa manfaatnya, bahkan lapangan pekerjaan tidak terlalu peduli terhadap pendidikan formal yang diselenggarakan oleh berbagai institusi atau lembaga.
Perekrut tenaga kerja hanya peduli terhadap apa yang dapat dilaksanakan oleh calon tenaga kerja untuk meningkatkan keuntungan perusahaan, sedangkan di pemerintah melalui skema pegawai negeri sipil perekrut hanya peduli terhadap tingkat kepatuhan calon tenaga kerja kepada pimpinan dan negara. Contoh nyata adanya pengumuman oleh Google Inc yang tidak mensyaratkan calon pegawainya lulusan perguruan tinggi. Permintaan mereka cukup sederhana, yaitu mampu mengembangkan perangkat lunak yang bisa diraih melalui pelatihan seperti halnya balai latihan kerja (BLK) maupun berbagai pelatihan lainnya.
Berbeda dengan Google Inc, perusahaan yang sangat maju di Korea, Hyundai, mempunyai R&D center berkekuatan 1.000 doktor. Dalam hal ini Hyundai dan sejumlah perusahaan yang maju lainnya justru membutuhkan keberadaan perguruan tinggi yang mampu menghasilkan doktor berkualitas. Perbedaan ini menunjukkan bahwa tidak ada satu bentuk pendidikan yang mampu memenuhi seluruh harapan masyarakat dan pemangku kepentingan yang sangat beragam.
Keberagaman adalah suatu keniscayaan yang tidak dapat dihindari. Dengan demikian, keberagaman harus dirawat, dirajut, diperkuat, dikokohkan melalui pendidikan. Hanya pendidikanlah yang berpeluang untuk menjadikan keberagaman suatu kekuatan yang mampu menjadikan negara maju dan berdaulat.
Tantangan pasca-Revolusi 4.0
Salah satu tantangan masa depan yang harus diantisipasi adalah Revolusi 4.0, di mana perkembangan teknologi informasi dan intelegensia artifisial sangat cepat bahkan jauh lebih cepat dari yang dibayangkan para ahli. Ciri Revolusi 4.0 adalah punahnya sejumlah jenis pekerjaan yang dapat digantikan oleh teknologi informasi dan intelegensia artifisial, sebaliknya terdapat sejumlah jenis pekerjaan yang tidak pernah mungkin digantikan oleh teknologi informasi dan intelegensia artifisial. Apakah ada jenis pekerjaan yang tidak mungkin digantikan oleh kecerdasan buatan manusia?
Jawabannya sangat ada, yaitu jenis pekerjaan yang membutuhkan social skills (kecakapan sosial) yang tinggi. Kecakapan sosial berbeda dengan kemampuan atau keterampilan atau kompetensi sosial, kecakapan sosial sifatnya lebih mendalam dan intrinsik melekat dengan individu, sedemikian rupa sehingga tidak mungkin dapat digantikan oleh kecerdasan buatan. Adapun keterampilan atau kemampuan atau kompetensi sosial masih mungkin digantikan oleh kecerdasan buatan karena sifatnya artifisial dan tidak melekat secara intrinsik terhadap individu.
Pendidikan masa depan seharusnya mampu membekali peserta didik dengan kecakapan sosial sedemikian rupa sehingga mereka akan sintas pasca-Revolusi Industri 4.0. Pertanyaan berikutnya adalah pendidikan seperti apa yang harus diberikan kepada peserta didik dan bagaimana caranya?
Perubahan paradigma pendidikan
Salah satu ciri kecakapan sosial adalah kecakapan dalam menangani persoalan yang kompleks yang sering kali tidak ada solusinya dan, kalaupun ada solusinya, solusi tersebut tidak menimbulkan persoalan baru. Kecakapan tersebut harus ditunjang oleh sejumlah kemampuan, seperti kemampuan analitis nonrutin dan kemampuan kognitif nonrutin.
Pendidikan yang dapat menjawab tantangan ini adalah pendidikan yang membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir kritis dan analitis, dan sudah harus dimulai sejak dini, sejak pendidikan dasar. Tentu kemampuan tersebut harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan psikologis peserta didik, sesuai tingkat kematangan individu. Jika kemampuan berpikir telah terbentuk, dengan sendirinya peserta didik akan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Keingintahuan yang tinggi akan memacu individu untuk terus berpikir ke arah kemajuan dan selalu mencari sesuatu yang baru.
Pencarian tersebut diwujudkan dalam bentuk pembelajaran sepanjang hayat, di mana individu selalu belajar selama hidupnya untuk bertahan hidup. Tanpa pembelajaran tersebut, dapat dipastikan bahwa individu tidak sintas menghadapi tantangan pasca-Revolusi 4.0. Pada saat ini pendidikan di Indonesia belum menerapkan pendekatan seperti ini, belum membentuk kemampuan berpikir individu, dan belum menumbuhkan kebutuhan belajar individu.
Strategi untuk perubahan pendidikan harus dilakukan dengan perubahan pola pikir para pelaku pendidikan, di mana para pendidik seyogianya mampu membelajarkan para peserta didik, bukan sekadar mengajari dan melatih mereka. Membelajarkan peserta didik jauh lebih sulit daripada sekadar mengajari dan melatih mereka karena harus bersifat individual, tidak dapat dilakukan secara masif, dan penuh dengan variasi keberagaman. Paradigma lama pendidikan yang mengutamakan kepatuhan dan ketaatan harus diubah dengan paradigma baru yang memampukan berpikir dan belajar sepanjang hayat.
Perubahan ini harus didukung oleh kemauan politik pemerintah karena harus didukung oleh semua pemangku kepentingan pendidikan. Perubahan ini harus masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang bidang pendidikan visi 2045 yang menjadi dasar kebijakan pembangunan nasional. Ada isu besar yang akan dihadapi oleh dunia pada tahun 2052 menurut Jorgen Randers dalam bukunya A Global Forecast for the Next Forty Years 2052, yaitu berakhirnya kapitalisme, berakhirnya pertumbuhan ekonomi, berakhirnya demokrasi yang lambat, berakhirnya keharmonisan antargenerasi, dan berakhirnya iklim yang stabil. Indonesia akan sintas terhadap tantangan besar ini sekiranya kapasitas individu dan masyarakatnya sudah terbekali dengan kecakapan sosial yang tinggi, terlepas dari benar tidaknya prakiraan tersebut.
Satryo Soemantri Brodjonegoro Dirjen Dikti (1999-2007); Ketua AIPI; Guru Besar Emeritus ITB; Wakil Ketua KKI
Sumber: kompas, 21 Desember 2018