Penelitian laut dalam di Indonesia telah dilakukan hampir 150 tahun lalu di Laut Banda di Maluku. Namun sampai kini Indonesia belum mampu melakukan sendiri pendataan basis tersebut. Eksplorasi laut agar terus ditingkatkan karena di dalamnya tersimpan kehidupan ekosistem yang belum banyak dikenal manfaatnya bagi manusia serta berbagai jenis mineral tambang.
Kerjasama riset bersama lembaga luar perlu ditingkatkan untuk mengejar ketertinggalan Indonesia dalam mengungkap sumber daya alam di dalam laut. “Kita tak bisa tunggu sumber daya manusia, teknologi, dan sarana prasarana siap, karena kita tertinggal jauh terkait riset laut dalam,” kata Augy Syahailatua, Kepala Pusat Penelitian Laut Dalam Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Senin (12/11/2018), dalam seri diskusi Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) “Merawat Biodiversitas Indonesia, Merawat Masa Depan, di Perpustakaan Nasional”, Jakarta.
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Kepala Pusat Penelitian Laut Dalam Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Augy Syahailatua, Senin (12/11/2018) memaparkan pentingnya riset laut dalam di sela-sela seri diskusi Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, di Perpustakaan Nasional, Jakarta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Penelitian pertama laut dalam di Indonesia dilakukan oleh Ekspedisi Challanger pada tahun 1872-1876 di Laut Banda, Maluku. Saat itu, riset dengan berkeliling dunia tersebut mengukur suhu laut Banda pada kedalaman 5.000 meter.
Data ini hingga kini masih dipergunakan untuk menggambarkan suhu laut dalam Banda yang mencapai 3 derajat celsius. Kini hampir 150 tahun kemudian dengan teknologi makin maju, Indonesia belum mampu melakukannya sendiri.
Untuk mengejar ketertinggalan itu, Indonesia memiliki strategi dengan menggelar riset-riset bersama dengan instansi atau lembaga yang memiliki sumber daya manusia, teknologi, dan sarana-prasarana mumpuni. Contohnya, South Java Deep Sea-Expedition pada Maret 2018 bersama National University of Singapore bersama LIPI dan Transport Indonesia Sea, Upwelling, and Mixing Physics (TRIUMPH) bulan lalu, Oktober 2018 bersama Instansi Oseanografi China dan University of Maryland Amerika Serikat.
Kolaborasi riset
Augy menjelaskan, Indonesia perlu terlibat dalam kerja sama dan kolaborasi riset tingkat regional. Itu menjadi peluang bagi Indonesia meningkatkan kapasitas sumber daya manusia serta menyiapkan teknologi dan sarana prasarana.
Hal itu dinilai penting misalnya dalam perencanaan pembuatan kapal riset. Sebagai contoh, dengan mengetahui laut terdalam di Indonesia mencapai 7.000 meter, kapal riset yang dibangun memerlukan alat yang bisa menjangkau jarak tersebut, baik penelitian/pendataan fisika, kimia, dan biologi.
Hasjim Djalal, pakar hukum laut internasional, menyayangkan hingga kini Indonesia belum memiliki “patok” eksplorasi tambang dalam International Seabed Area pada yuridiksi International Seabed Authority. Negara tetangga, Singapura, telah memiliki patok eksplorasi seluas 50.000 kilometer persegi di laut dalam antara Hawai dan Meksiko.
Area eksplorasi itu berada di laut dalam, termasuk di bawah substratnya menyangkut antarnegara. Eksplorasi itu untuk mengetahui kandungan mineral pada substrat laut dalam serta lapisan di bawahnya. “Kita sangat berkepentingan ambil bagian di situ,” ujarnya.
Sangkot Marzuki, pakar genetika, mengatakan riset laut dalam juga penting untuk mengungkap hewan-hewan bisa hidup ribuan meter di bawah permukaan laut. Kemampuan hidup dalam tekanan air yang tinggi serta suhu dingin itu bisa menjadi informasi penting bagi ilmu pengetahuan dan masa depan manusia.–ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 13 November 2018