Penyakit rabies sudah dikenal sejak awal peradaban manusia, pada masa Babylonia 2300 tahun sebelum Masehi, bahkan mungkin sejak zaman Yunani kuno.
Naskah kuno mengenai rabies dijumpai pada abad ke-5 oleh Democriticus dan Hippocrates (dikenal sebagai Bapak Kedokteran). Begitu juga artefak dan naskah kedokteran terkait rabies banyak dijumpai di Persia, India, China, Perancis, Inggris, dan Spanyol.
Rabies 95 persen ditularkan melalui gigitan anjing dan lebih dari separuh penduduk dunia saat ini masih khawatir tertular penyakit ini. Lebih dari 55.000 orang meninggal setiap tahun di seluruh dunia, dengan 90 persen kematian di Afrika dan Asia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Setiap hari 160 orang meninggal karena rabies atau setiap 10 menit ada satu orang meninggal karena rabies. Tragedi kemanusiaan ini terutama terjadi di perdesaan yang jauh dari akses pelayanan kesehatan.
Dunia dahulu pernah punya harapan dengan ditemukannya vaksin rabies oleh Louis Pasteur pada abad ke-18. Namun, upaya pengendalian rabies—dengan meningkatkan skala program vaksinasi massal pada hewan, menyiapkan bahan biologik profilaksis post-exposure dan pre-exposure untuk manusia—ternyata belum tuntas menyelesaikan masalah rabies.
Rabies di Bali
Di Indonesia rabies sudah ada sejak abad ke-18 dan belum bisa diberantas sampai kini. Tahun 2018, rabies sudah 10 tahun berjangkit di Pulau Bali, serta 20 tahun di Pulau Flores dan Pulau Lembata, Nusa Tenggara Timur.
Agustus 2018 rabies kembali merenggut jiwa manusia, satu korban dewasa di Kabupaten Karangasem, Bali, dan seorang anak perempuan di Kabupaten Sikka, NTT. Total kematian akibat rabies sejak 2008 di Pulau Bali menjadi 169 orang dan sejak 1997 di Pulau Flores dan Lembata menjadi 281 orang.
Perjuangan menghilangkan virus rabies dari populasi hewan penular rabies, terutama anjing, sudah dimulai sejak beberapa tahun lalu, khususnya di Flores dan Bali.
Sudah banyak penelitian dan survei dilakukan di daerah endemik rabies ini, tetapi kasus masih terus bermunculan.
Bagi Bali, isu rabies akan terus menjadi ancaman pariwisata. Peringatan perjalanan beberapa kali dikeluarkan terutama bagi turis Amerika, Inggris, dan Australia.
Advis untuk para turis adalah selalu waspada dan hati-hati di Bali, terutama untuk tidak kontak dengan anjing dan monyet. Dengan porsi pariwisata 60-70 persen dari pendapatan Provinsi Bali, upaya melindungi pengunjung harus menjadi prioritas.
Sebelum vaksinasi digalakkan, pembasmian massal anjing masih menjadi respons darurat. Suatu pendekatan yang sangat tidak tepat dalam menghadapi wabah rabies. Adalah kepercayaan yang keliru bahwa dengan mengurangi populasi anjing akan mengurangi penularan rabies.
Rasionalnya, pembunuhan anjing tidak dapat mengatasi sumber hewan baru yang berasal dari kelahiran atau hewan dari luar populasi. Justru pemusnahan dapat melenyapkan anjing-anjing yang telah divaksin sehingga menghasilkan cakupan vaksinasi yang lebih rendah dan menimbulkan kenaikan kontraproduktif bagi penularan rabies begitu populasi anjing pulih kembali.
Pembasmian juga membuat masyarakat menjadi resisten, apalagi jika metode yang diterapkan tidak manusiawi. Resistensi menurunkan antusiasme masyarakat untuk kegiatan-kegiatan pengendalian rabies, yang pada akhirnya membuat pemberantasan rabies makin sulit.
Meskipun Indonesia tidak sendirian menghadapi rabies, kemajuan pemberantasan rabies belum signifikan. Pemerintah Provinsi Bali dan NTT telah melaksanakan program vaksinasi massal rabies sejak 2011 untuk mencapai target cakupan 70 persen, tetapi belum tampak hasilnya.
Target bebas rabies 2030
Tahun 2015, badan-badan internasional, seperti Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Organisasi Pangan Dunia (FAO), Organisasi Kesehatan Hewan (OIE), dan Global Alliance for Rabies Control (GARC), berkomitmen membantu pelbagai negara untuk memberantas rabies.
Komunitas internasional dengan lebih dari 100 negara endemik rabies juga medeklarasikan tekad bersama nol kasus rabies pada tahun 2030.
Rabies pada anjing telah diberantas di Eropa Timur, Kanada, Amerika Serikat, dan Jepang era 1950-1980-an. Bahkan, 28 dari 35 negara di Amerika Latin melaporkan, tidak ada lagi kematian manusia akibat anjing tertular rabies. Sejumlah negara juga berhasil menurunkan tingkat kematian akibat rabies, seperti Bangladesh, Filipina, Sri Lanka, Tanzania, Vietnam, dan Afrika Selatan.
Pengalaman dari negara-negara yang sudah bebas ataupun yang masih berjuang telah menghasilkan pengetahuan kolektif untuk mengetahui apa yang bisa berjalan dan apa yang tidak.
Pertanyaan kritis saat ini, apakah pemberantasan rabies pada sumbernya, yaitu anjing, dapat dicapai? Kunci jawaban ada tiga hal: pengetahuan kuantitatif tentang dinamika penularan rabies pada populasi anjing, pengetahuan kuantitatif tentang demografi anjing, dan informasi kepraktisan dan efektivitas strategi vaksinasi pada situasi lokal.
Bukti empiris dan studi lapangan menunjukkan, vaksinasi rabies tahunan yang mencapai target 70 persen dari populasi anjing adalah efektif. Menurut WHO, vaksinasi massal yang konsisten dapat mengeliminasi rabies setelah 7-10 tahun. Bahkan anak-anak anjing di bawah 3 bulan sudah dapat divaksin.
Meski demikian, pengendalian berkelanjutan seperti di Indonesia terkendala penurunan proporsi populasi anjing yang divaksin dan ketidakakuratan estimasi pertumbuhan populasi.
Kepadatan populasi anjing khususnya di kedua pulau di atas tidak terlepas dari pengaruh sosial budaya dan agama. Perlu diingat bahwa situasi yang hampir sama terjadi juga di tempat lain, dengan pola kedekatan manusia dan anjing masih menjadi persoalan, termasuk kebiasaan mengonsumsi daging anjing.
Indonesia sudah selayaknya memanfaatkan kesempatan ini sebaik-baiknya, bersama-sama dengan negara lain seperti India, China, dan Nigeria yang merupakan hotspot rabies dunia, untuk mendukung dunia hidup tanpa rabies.
Pemerintah bersama-sama dengan masyarakat dan dengan dukungan lembaga-lembaga internasional harus optimistis dalam mendukung target bebas rabies global 2030.
Dalam mencapai rabies nol kasus diperlukan strategi di tingkat nasional dan regional dengan pendekatan multiaspek. Komplemen kegiatan berupa edukasi masyarakat, manajemen populasi anjing melalui registrasi anjing dan sterilisasi, serta respons cepat terhadap korban gigitan anjing dikerjakan secara konsisten dan berkelanjutan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dengan partisipasi lembaga swadaya masyarakat.
Tri Satya Putri Naipospos Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies
Sumber: Kompas, 10 September 2018