Sekian lama menangani pasien kanker, mendorong Aru Wisaksono Sudoyo terjun ke masyarakat. Ia bekerja bersama Yayasan Kanker Indonesia untuk mencegah agar tidak makin banyak pasien datang ke ruang praktik dokter dengan kanker stadium lanjut. Semangat melawan kanker ia pupuk bersama mereka yang menderita, juga para sukarelawan yang meninggalkan kenyamanan demi membantu sesama.
Menuliskan namanya lengkap dengan gelar akademik terkesan amat panjang: Prof DR Dr Aru W Sudoyo Sp PD KHOM FIN ASM FA CP. Meski gelar akademiknya panjang, namun cara ia menerangkan sesuatu tidaklah rumit. Ia kerap mencari analogi sederhana untuk menjelaskan istilah atau kondisi kesehatan yang sulit dimengerti orang awam.
Pada pasien, ia misalnya menjelaskan problem kekentalan darah dengan umpama cendol dan santan. Ia juga menjelaskan pentingnya pencegahan dan deteksi dini kanker dengan menarik. “Tak penting profesor atau bukan ketika berhadapan dengan masyarakat. Yang penting penjelasannya bisa dipahami dan menarik. Kalau enggak menarik, ya enggak bakal didengarkan. Pesan tidak sampai,” ujar Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) bidang hematologi dan onkologi medik ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sebagai guru besar, ia mengajar dan membimbing mahasiswa FKUI. Ia tetap berpraktik menangani pasien kanker dan penyakit darah. Jadwal kegiatan dan agenda perjalanan Aru sangat padat, karena ia juga menjabat sebagai Ketua Umum Yayasan Kanker Indonesia (YKI), Ketua Umum Perhimpunan Onkologi Indonesia (POI), sekaligus Presiden Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Sedunia.
Kegiatan sosialisasi, edukasi, atau pertemuan nyaris mengisi tiap akhir pekannya. Tak jarang, kegiatan organisasi juga harus dilakukan di tengah pekan, sehingga memotong jam praktiknya. Dalam sepekan, ia bisa berkegiatan di dua atau tiga kota sekaligus.
Memimpin POI dan Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Sedunia, memberi kesempatan pada Aru untuk terus memutakhirkan pengetahuan para dokter–juga dirinya sendiri–tentang kanker dan penyakit dalam. “Penanganan pasien kanker butuh penerapan seluruh pengetahuan dokter tentang penyakit dalam. Ilmu pengobatan kanker juga berkembang sangat cepat. Saya pun terus belajar,” kata Aru.
Melalui organisasi profesi dokter, Aru bukan hanya berupaya memperdalam pengetahuan dokter spesialis tentang kanker, melainkan juga dokter umum. Dokter umum kini makin dituntut mengenali pasien dengan gejala kanker, apalagi dalam sistem Jaminan Kesehatan Nasional menempatkan dokter umum di garda terdepan.
Perjalanan ke berbagai daerah di Indonesia, dari Nusa Tenggara hingga Papua, dengan penuh semangat ia lakoni. Tak ketinggalan pula beragam konferensi internasional dan kesempatan memberi kuliah umum di berbagai negara, termasuk Argentina dan Nepal. “Beruntungnya, saya senang naik pesawat. Sekarang satu-satunya kesempatan saya nonton film atau baca buku mungkin hanya di pesawat.”
Pada waktu lampau, studi tentang kanker bukanlah pilihan populer di lingkungan kedokteran Indonesia. Akan tetapi, semangat menyambut tantangan dan hasrat untuk tidak berhenti belajar justru mendorong Aru untuk mendalami spesialisasi penyakit dalam yang berlanjut pada subspesialisasi hematologi dan onkologi medik.
Pilihan yang tidak keliru, karena belakangan problem kanker semakin serius dan jumlah penderitanya meningkat pesat di Indonesia. Menurut Aru, sekitar 50 persen pasien di ruang perawatan penyakit dalam kelas tiga di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta saat ini adalah pasien kanker atau pasien yang dirawat karena masalah terkait kanker.
KOMPAS/RIZA FATHONI–Aru Sudoyo, Ketua Yayasan Kanker Indonesia, saat ditemui di ruang kerjanya, Kamis (22/2/2018).
Jumlah penderita kanker, ia yakini hanya dapat ditekan jika tumbuh kesadaran tentang gaya hidup yang memicu kanker. “Menu makanan kita cepat saji, mengandung pengawet dan pewarna. Kita makin jarang olahraga, pilih naik ojek daripada jalan. Berat badan pun naik terus, karena kita makan lebih banyak dari yang kita butuhkan. Seandainya tiga hal itu kita perhatikan, kita sudah mengurangi 35 persen kemungkinan terkena kanker.”
Pulau Buru
Di tengah tantangan dan kepadatan kegiatan yang menguras waktu dan tenaga, Aru selalu menemukan sumber energi baru untuk terus menggeluti kanker. Sumber inspirasi dan semangat baginya adalah orang-orang yang didera kanker, juga ibu-ibu rumah tangga yang memilih meninggalkan kenyamanan rumah untuk bekerja sukarela dalam kampanye penyadaran soal kanker.
Ibu-ibu rumah tangga yang menjadi sukarelawan YKI itu membuat saya malu pada diri saya sendiri kalau sampai saya kecil hati dan mundur
“Ibu-ibu rumah tangga yang menjadi sukarelawan YKI itu membuat saya malu pada diri saya sendiri kalau sampai saya kecil hati dan mundur. Dokter tidak boleh patah semangat menangani pasien kanker dan harus terus meningkatkan pengetahuannya.”
Salah satu pembelajaran paling penting bagi Aru pun bukan pendidikan yang secara formal memberinya gelar akademik. Begitu lulus sebagai dokter muda di FKUI pada 1976, Aru memilih penempatan pertamanya di Pulau Buru, Maluku, yang ketika itu merupakan lokasi penahanan tahanan politik. Mulanya, ia termotivasi mendapat kesempatan melanjutkan spesialisasi lebih cepat jika “lulus” dari Pulau Buru. Namun, yang ia dapatkan lebih berharga.
KOMPAS/RIZA FATHONI–Aru Sudoyo, Ketua Yayasan Kanker Indonesia
Aru lahir dan tumbuh besar di kota-kota dunia–Washington DC, Brussel, Roma, dan Manila—sebagai anak diplomat. Ia melanjutkan sekolah menengah atas di Jakarta, sebelum masuk ke FKUI. Begitu lulus FKUI, penugasan di Instalasi Rehabilitasi (Inrehab) Pulau Buru pada 1976-1978 jadi masa penempaan.
Ia berangkat bersama lima dokter muda lain, berbekal atlas bedah. Dokter muda pun harus melakukan pembedahan jika diperlukan, karena tahanan penghuni pulau itu tak diizinkan berobat di luar Inrehab. Sebagai dokter, Aru pun hidup bersama para tahanan dari waktu subuh berjamaah hingga jam malam tiba. Masing-masing harus diam di barak.
Saya makan dari hasil kerja para tahanan itu di sawah dan di ladang
“Saya makan dari hasil kerja para tahanan itu di sawah dan di ladang. Para tahanan politik ini bukan petani, banyak yang nyangkul itu sarjana, berpendidikan tinggi, para profesional. Mereka dicabut dari akarnya, ditahan di situ, harus bertahan, dan mereka mampu.”
Para dokter muda ini hanya diizinkan libur dan keluar dari Pulau Buru sekali tiap enam bulan. Pada masa 1976-1978 itu, di mata Aru, Kota Ambon pun tak kalah indah dibandingkan kota-kota dunia yang pernah ia singgahi. “Naik kapal, sambung pesawat kecil ke Ambon. Begitu sampai Ambon, rasanya seperti sudah ngeliat kota yang besar banget.”
Dari para tahanan politik Pulau Buru, Aru belajar menghargai kehidupan. Mereka menjadi pengingat untuk tetap bertahan ketika jalan hidup membawa pada kesulitan yang harus dilalui. Semua itu menjadi modal semangat bagi Aru untuk menjalani misi melawan kanker yang kini ia jalani.*
Aru Wisaksono Sudoyo
Lahir: Washington DC, 29 Juni 1951
Istri: Herawati Sudoyo Supolo
Anak: Ruby G Sudoyo dan Panji N Sudoyo
Pekerjaan: Guru Besar Hematologi Onkologi Medik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Organisasi, antara lain:
– Ketua Umum Yayasan Kanker Indonesia
– Ketua Umum Perhimpunan Onkologi Indonesia
– Presiden Perhimpunan Penyakit Dalam Sedunia
NUR HIDAYATI
Sumber: Kompas, 31 Maret 2018