Pemanfaatan biota laut seperti spirulina dan diversifikasi produk olahan berbasis sumber daya ikan mendukung kemandirian pangan. Untuk itu, perlu terobosan yang inovatif serta kreatif dalam menggunakan bahan baku kaya nutrisi, aman, dan terjangkau oleh masyarakat.
Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro Semarang, Tri Winarni Agustini menyampaikan hal itu dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar Undip, di Semarang, Jawa Tengah, Rabu (14/3). Dengan diversifikasi pangan, masyarakat dapat memilih dalam mengonsumsi produk yang bermanfaat bagi tubuh.
“Spirulina sangat potensial sebagai bahan pangan di Indonesia karena tidak berisiko dan budidayanya yang tidak rumit. Kandungan gizi yang ada sangat potensial untuk dimanfaatkan dalam memenuhi kebutuhan pangan masyarakat,” jelas Tri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Spirulina adalah mikroalga multisel berprotein tinggi dengan kadar asam amino 62 persen; vitamin A, B1, B2, dan B12; serta asam lemak esensial dan asam linolenic yang tak dapat disintesis tubuh manusia. Spirulina umumnya dikonsumsi sebagai suplemen makanan, baik dalam serbuk (kapsul) maupun tablet.
KOMPAS/LASTI KURNIA–Biota laut di perairan Tanjung Layar, Ujung Kulon, Banten, Minggu (14/8/2017).
Tri menambahkan, pengembangan produk berbasis Spirulina sudah dilakukan di Undip antara lain berupa es krim, keju, yoghurt, dan mi kering. Kendati demikian, penambahan Spirulina pada berbagai jenis pangan masih ada keterbatasan karena faktor aroma. Sebab, biasanya aroma khas laut kurang disukai.
Selain Spirulina, kata Tri, pemanfaatan limbah perikanan, seperti kulit udang, cangkang kepiting, cangkang kerang, tinta cumi-cumi, dan kulit ikan, perlu dikembangkan. Hal itu juga mendukung kebijakan sistem zero waste management. Artinya, satu unit pengolahan ikan diharapkan seminimal mungkin menyisakan limbah.
Pangan masa depan
Tri mengemukakan, dari data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), potensi sumber daya ikan Indonesia pada 2016 adalah 23,5 juta ton. Dari potensi tersebut, dijadikan produk olahan, dijual segar, dan ekspor. Adapun tingkat konsumsi ikan di Indonesia pada 2017 yakni 43,88 kilogram (kg) per kapita per tahun, lebih rendah dari Malaysia dan Myanmar (50 kg per kapita per tahun).
Produk olahan ikan didorong untuk tak hanya berorientasi menjadi ikan asin, ikan pindang, ikan kaleng, dan ikan beku, tetapi menuju produk baru. “Perlu dicari terobosan baru yang inovatif dan kreatif. Sumber daya ikan ini berpotensi sebagai sumber pangan masa depan. Penerapan penganekaragaman pangan penting,” katanya.
Menurut Tri, kandungan nutrisi yang terkandung pada sumber daya ikan, seperti protein, lemak (asam lemak w-3), vitamin, mineral, serta bahan-bahan bioaktif yang terkandung potensial dimanfaatkan sebagai pangan fungsional. Selain itu, juga dikembangkan menjadi beberapa produk novel food atau yang belum banyak dikonsumsi masyarakat.
Adapun pengukuhan Tri Winarni sebagai Guru Besar Undip dalam Bidang Ilmu Diverfsifikasi Hasil Perikanan berbarengan dengan dua pengajar Undip lainnya, Syafrudin dan Naili Farida. Syafrudin dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam Bidang Ilmu Teknik Lingkungan, sedangkan Naili Guru Besar dalam Bidang Ilmu Administrasi Niaga.
Rektor Undip Yos Johan Utama menyampaikan, di tengah lajunya industri dunia dengan revolusi keempat dengan dampak disruptifnya, para civitas akademika wajib adaptif terhadap perkembangan dunia itu. “Itu dengan terus menerus melakukan riset dan pengkajian terbarukan. Inovasi sangatlah penting,” katanya.
Yos menambahkan, esensi dari jabatan guru besar yakni kemampuan untuk mencetak karya-karya baik untuk kemaslahatan umat manusia. Adapun kini Undip telah memiliki 116 guru besar aktif. Sepanjang 2018, ditargetkan lahir 50 guru besar baru di Undip.–ADITYA PUTRA PERDANA
Sumber: Kompas, 16 Maret 2018