Namanya hanya terdiri dari dua kata, Mas Sardjito. Kendati demikian, ia lebih dikenal dengan nama Sardjito. Selama perjalanan hidupnya, ia telah menghasilkan gelar melebihi panjang namanya sehingga menjadi Prof Dr dr M Sardjito MD MPH.
Sardjito lahir pada 13 Agustus 1889 di Desa Purwodadi, Kabupaten Magetan, Jawa Timur. Merupakan putra sulung dari lima bersaudara, Sardjito memulai Sekolah Rakyat di desanya tahun 1895 dan melanjutkan ke STOVIA (School tot Opleiding voor Inlanndsche Artsen) tahun 1907.
ARSIP KELUARGA PROF. DR. M. SARDJITO, MPH–Prof. Dr. dr. M Sardjito, M.D., M.P.H.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Lulus dari sana, ia bekerja di rumah sakit CBZ atau sekarang RS Cipto Mangunkusumo, kemudian pindah di RS Semarang dan terakhir Institut Pasteur.
Tahun 1922, Sardjito melanjutkan pendidikan, khususnya mengenai penyakit-penyakit tropis, di Universiteit Leiden, Belanda tahun 1923. Ia juga sempat mengikuti pendidikan lanjut di John Hopkins University Baltimore, Amerika Serikat pada 1923-1924.
ARSIP KELUARGA PROF. DR. M. SARDJITO, MPH–Prof. Dr. M. Sardjito, MPH. Ia merupakan rektor pertama Universitas Gadjah Mada (UGM) dan rektor ketiga Universitas Islam Indonesia (UII)
Sardjito ketika kembali ke Indonesia mulai berperan penting dalam perkembangan kesehatan dan pendidikan Indonesia. Ia menjabat sebagai kepala beberapa rumah sakit dan laboratorium.
Selain itu, ia merupakan tokoh penting dalam proses pemindahan Institut Pasteur di Bandung ke Klaten, DIY Yogyakarta, awal tahun 1946. Ia juga menjabat sebagai Direktur Perguruan Tinggi Kedokteran Klaten (PTK) tahun 1946 hingga 1949.
Pada tahun 1949, Sardjito menduduki jabatan yang membuatnya dikenal banyak orang ia menjadi rektor pertama dari Universitas Gadjah Mada (UGM), DI Yogyakarta, hingga tahun 1961. UGM adalah universitas pertama yang didirikan oleh pemerintah setelah Indonesia merdeka.
Sardjito juga menjabat sebagai rektor ketiga Universitas Islam Indonesia (UII) dari tahun 1963 sampai 1970. Ia menghembuskan nafas terakhir pada 5 Mei 1970.
Sejak tahun 2012, Sardjito diusulkan menjadi Pahlawan Nasional oleh sebuah tim yang diketuai Prof Dr dr Sutaryo SpA (K). Tetapi, usulan tersebut ditolak.
Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Islam Indonesia (UII) dan Pemerintah Yogyakarta kini kembali mengupayakan agar Sardjito dapat memeroleh gelar pahlawan nasional karena menilai pemikiran dan kontribusinya perlu diteladani oleh generasi penerus.
ELSA EMIRIA LEBA UNTUK KOMPAS–Samdhy (90), veteran perang masa perjuangan kemerdekaan Indonesia
Samdhy (90), veteran perang masa perjuangan kemerdekaan Indonesia dalam Seminar Nasional “Peran Prof Dr M Sardjito MPH dalam Revolusi Kemerdekaan, Kemanusiaan, Pendidikan, dan Kebangsaan”, di Jakarta, Selasa (27/2), menyatakan, Sardjito membuat biskuit untuk dikonsumsi oleh tentara.
Biskuit itu sangat berjasa ketika ia bersama rekan-rekan satu pletonnya akan melakukan Serangan Umum 1 Maret 1949. Tentara Indonesia bergerilya untuk menyerang Belanda.
Selama masa gerilya, tentara Indonesia hanya dibekali dua tas kain seukuran kepalan tangan orang dewasa. Tas pertama berisi nasi kering yang dimakan bersama air. Tas kedua berisi sejumlah biskuit putih kecil seukuran uang logam Rp 500. Adapun rasa biskuit itu sedikit asin.
Kondisi gerilya membuat Samdhy hanya dapat mengkonsumsi satu biskuit untuk sehari. Namun, ia tetap merasa kenyang meskipun harus berjalan sekitar 20 kilometer dari Godean ke Stasiun Tugu dengan kondisi perut hanya terisi satu keping biskuit.
Perjalanan bersama sekitar 60 tentara lainnya itu dimulai dari pukul 17.00, 28 Februari 1949 hingga pukul 00.00, 1 Maret 1949. Menurut dia, penemuan Sardjito itu sangat penting karena membantu tentara untuk tetap sehat dalam bertugas.
“Saya jadi kuat makan biskuit itu. Mungkin karena biskuit itu juga saya bisa mencapai usia 90 tahun,” ujar Samdhy sambil terkekeh.
Rektor UGM yang ke-14 Panut Mulyono, mengatakan, Sardjito adalah sosok yang berjasa dalam dunia kesehatan dan pendidikan Indonesia. “Namun, ia juga merupakan pejuang ilmiah yang ikut memperjuangkan, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan Indonesia,” katanya.
Selain menciptakan biskuit, ujarnya, Sardjito juga membuat multivitamin, obat, dan vaksin bagi tentara Indonesia menghadapi tentara Nederlandsch Indië Civil Administratie (NICA).
Hal tersebut dinilai menjadi motif Sardjito memindahkan Institut Pasteur ke Klaten demi alasan keamanan dalam memproduksi obat.
Sardjito juga merangkap sebagai Ketua Palang Merah Indonesia di Klaten tahun 1946. Ia turut mendistribusikan logistik kesehatan, seperti obat dan kain pembalut dan memberikan perawatan kepada korban ketika Agresi Militer Belanda II terjadi.
Agresi itu terjadi pada 19 Desember 1948, yang diawali dengan serangan terhadap Yogyakarta, ibu kota Indonesia saat itu.
ELSA EMIRIA LEBA UNTUK KOMPAS–Seminar Nasional “Peran Prof. Dr. M. Sardjito, MPH dalam Revolusi Kemerdekaan, Kemanusiaan, Pendidikan, dan Kebangsaan”, di Jakarta, Selasa (27/2)
Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta sejarawan Hilmar Farid menambahkan, Sardjito juga mempertahankan dan mengisi kemerdekaan ketika menjadi rektor UGM tahun 1949.
“Indonesia harus menjadi negeri dan bangsa yang modern dengan cara sendiri. Indonesia tidak boleh mengekor kepada kekuasaan kolonial,” tutur Hilmar.
Sardjito sebagai rektor mensyaratkan agar bahasa pengantar dalam area universitas negeri pertama itu adalah bahasa Indonesia. Saat itu, bahasa pengantar dalam institusi pendidikan adalah bahasa Belanda.
Syarat tersebut membantu memberikan akses pendidikan bagi masyarakat Indonesia lainnya. “Keputusan itu berlandaskan nasionalisme dalam pengetahuan. Universitas juga semakin terbuka bagi publik,” ujarnya.
Dinilai pantas
Berdasarkan pencapaian Sardjito di bidang kesehatan dan pendidikan termasuk keikutsertaannya dalam membangun Indonesia, Panut menilai Sardjito layak diberikan gelar sebagai Pahlawan Nasional.
Dalam Pasal 25 dan Pasal 26 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, syarat seseorang untuk dapat memeroleh gelar itu adalah berjasa pada bangsa dan negara.
Orang itu juga pernah memimpin dan melakukan perjuangan bersenjata atau perjuangan politik atau perjuangan kemerdekaan serta mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa.
ELSA EMIRIA LEBA UNTUK KOMPAS–Keluarga Prof. Dr. dr. M Sardjito, M.D., M.P.H.
Selain itu, orang itu harus melakukan pengabdian dan perjuangan yang berlangsung hampir sepanjang hidupnya. Ia juga patut melahirkan gagasan dan karya yang dapat menunjang pembangunan bangsa dan negara.
Kepantasan Sardjito menjadi Pahlawan Nasional disetujui oleh beberapa tokoh lainnya, seperti Prof Dr Taufik Abdullah, Prof Dr A M Hendropriyono, dan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani.
Cucu pertama Sardjito, Alita P Damar, mengapresiasi dukungan yang diberikan oleh para tokoh agar kakeknya memeroleh gelar tersebut. (DD13)
Sumber: Kompas, 27 Februari 2018