Awalnya lebih merupakan sebuah desepsi—pertumbuhan yang tak begitu terlihat—yang terjadi pada teknologi informasi: mulai dari komputer desktop yang banyak digunakan pada 1990-an, disusul dengan laptop dan kemudian ponsel.
Ponsel di awal memang dimaksudkan sebagai alat untuk menelepon tanpa kabel, tetapi ponsel berkembang dengan cepat sehingga namanya tetap ponsel kendati digunakan juga sebagai kamera, mengedit foto, mendengarkan radio, menonton televisi, dan sebagainya.
Kehadiran internet, ponsel, tablet, dan berbagai aplikasi mobile dalam kurun waktu tak lebih dari 20 tahun telah mengubah tatanan sosial, baik disadari maupun tidak. Teknologi informasi (TI) akhirnya secara eksponensial menghasilkan perubahan besar dalam berbagai bidang dan dimanfaatkan baik oleh perusahaan, pemerintah, maupun masyarakat pada umumnya dan akhirnya mengubah tatanan sosial di masyarakat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Digitalisasi yang terjadi di berbagai sektor, baik untuk keperluan pribadi, masyarakat, lembaga, maupun nasional dan internasional telah menghasilkan perubahan signifikan dalam melakukan berbagai aktivitas.
Bahkan, muncul gagasan-gagasan baru dalam berbagai hal dari penggunaan tablet untuk memilih menu di warung kopi atau restoran sampai gagasan untuk membangun smart home, smart city, ataupun smart regency. Semua merupakan akibat dari hadirnya digitalisasi. Bahkan, model surat undangan cetak yang dikirimkan melalui pos telah bergeser ke ponsel dengan kecepatan luar biasa dan harga sangat murah. Efisiensi dan kecepatan telah menjadi standar normal baru bagi masyarakat digital.
Digitalisasi juga menghasilkan transparansi yang nyata. Dalam aplikasi Uber, Grab, ataupun Go-Jek, pelanggan bisa melihat terlebih dahulu jalur tercepat sekaligus biaya yang harus dikeluarkan sebelum memesan transportasi. Dalam hal ini, pelanggan tidak lagi dapat dipermainkan oleh sopir yang ingin memperlama perjalanan agar biaya yang terpampang di argometer menjadi lebih besar.
Ekosistem teknologi informasi baru secara berangsur sudah mulai normal—terutama penggunaan ponsel untuk berbagai keperluan, dari mobile banking sampai taksi berbasis aplikasi. Dalam waktu dekat tentu e-wallet juga akan segera merambah Indonesia dan menjadi kebiasaan baru yang akan diterima masyarakat. Transaksi elektronik dengan menggunakan ponsel akan menjadi hal-hal yang sangat biasa, selain juga berbagai aktivitas yang akan serba digital.
Perubahan-perubahan besar yang biasa disebut disrupsi—walaupun pada dasarnya menghasilkan efisiensi—sering kali menimbulkan berbagai persoalan karena ada dua kelompok masyarakat, yaitu mereka yang sudah sangat siap menghadapi perubahan dan yang tak bisa mengikuti perubahan, seperti terjadi pada kasus Go-Jek dan ojek.
Konsumen yang siap mengikuti perubahan dapat menerima kehadiran Go-Jek dan dianggap sebagai efisiensi dan kemudahan baru. Demikian halnya pengemudi Go-Jek juga melihat peluang pasar yang baik. Namun, pengemudi ojek yang tak bisa belajar teknologi baru menganggap itu ancaman atas bisnis mereka.
Penurunan jumlah konsumen ojek menjadikan pengemudi melihat hal itu sebagai ancaman yang harus dilawan dan berusaha agar mereka tetap memiliki pasar dengan menghentikan laju perkembangan teknologi informasi. Kasus Go-Jek dan ojek adalah salah satu contoh dari krisis teknologi informasi yang ada dalam sebuah proses menuju era normal baru.
Menyiapkan masyarakat
Konflik antara mereka yang menerima teknologi informasi dan mereka yang menolak kehadiran teknologi informasi merupakan hal biasa. Namun, pada dasarnya kejadian itu bisa diantisipasi sebelumnya. Persoalannya karena payung domain nasional yang kurang visioner.
Regulasi terkait teknologi informasi lebih sering dibuat setelah adanya kasus-kasus sehingga di masa yang akan datang pun akan terus menimbulkan persoalan-persoalan baru yang mungkin tidak terantisipasi.
Pemerintah Amerika Serikat (AS) selalu berhati-hati dalam melihat apa yang akan terjadi dengan terlebih dahulu menyiapkan perundangan. Bulan lalu AS telah mengeluarkan perundangan tentang driverless car—mobil tanpa sopir—sehingga saat mobil-mobil tanpa sopir manusia mulai dijalankan, tidak akan menimbulkan persoalan baru bagi para sopir karena sudah ada pasal-pasal yang mengaturnya.
Sudah seharusnya pemerintah melakukan pembangunan terkait TI dan komunikasi dengan menyiapkan domain nasional dari sisi seperti kebijakan, regulasi, dan UU yang mungkin harus disruptif dan futuristik untuk mengantisipasi apa yang akan terjadi saat aplikasi teknologi informasi mulai digunakan oleh masyarakat.
Pengembangan-pengembangan yang tak disruptif, seperti pembayaran tol yang menggunakan kartu e-toll, bukannya langsung menggunakan electronic road pricing (ERP) system, akhirnya tetap saja menghasilkan penumpukan antrean yang cukup panjang karena setiap pengemudi perlu waktu untuk menghentikan mobil, membuka jendela, mengeluarkan kartu e-toll, dan kemudian menempelkan ke mesin, setelah itu menjalankan kembali mobil setelah pintu tol terbuka.
Dari aspek sosial dan psikologi, masyarakat harus terus dididik menggunakan berbagai aplikasi secara aman, terkendali, dan efisien. Pendidikan terkait perilaku digital, seperti informatika sosial dan perilaku informasi, perlu dikembangkan di Indonesia guna mempelajari kaitan antara teknologi, manusia, dan informasi.
Ida Fajar Priyanto Peneliti di Pusat Kajian Informatika Sosial dan Pusat Studi Sosial Asia Tenggara, UGM
Sumber: Kompas, 3 Februari 2018