Berita di Kompas (Rabu, 17 Januari 2018), tentang riset yang belum optimal menarik dikaji. Tak hanya terkait kepentingan distribusi dana riset secara nasional, tetapi juga aspek kepentingan publikasinya, terutama di jurnal internasional terindeks Scopus atau bereputasi.
Padahal, pemerintah berkepentingan untuk memacu publikasi, terutama demi mengatasi ketertinggalan dari negara tetangga. Artinya, pemberian insentif dan juga dana penelitian menjadi penting untuk bisa mencapai tahapan akumulasi publikasi yang lebih banyak lagi demi daya saing pendidikan tinggi.
Klusterisasi terkait dengan dana penelitian juga penting sehingga kelompok kompetisinya lebih terarah, termasuk—misalnya—klusterisasi dari sejumlah perguruan tinggi swasta (PTS) yang masuk dalam kelompok mandiri dan juga binaan. Artinya, PTS yang mandiri, seperti Universitas Muhammadiyah Surakarta-Solo, mampu mengembangkan berbagai riset unggulan berbasis kompetensi, sementara di sisi lain tetap dimungkinkan untuk bersaing di skim pendanaan nasional. Selain itu, peran pembina terhadap PTS kecil juga harus dilakukan secara berkelanjutan agar tahapan untuk mencapai level yang lebih tinggi bisa dilakukan. Meski demikian, hal ini harus bersinergi antara PTS mandiri dan PTS binaan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Besaran dana riset tahun 2017 senilai Rp 153,5 miliar untuk pendanaan 2.288 proposal, sedangkan pada 2018 jadi Rp 138,8 miliar untuk 2.201 proposal. Meski turun 2,1 persen, diharapkan ada peningkatan terhadap kualitas proposal yang didanai. Oleh karena itu, implikasi dari pendanaan tersebut ialah tuntutan publikasi sebagai salah satu luaran (output) wajib dari proposal yang lolos seleksi. Padahal, setidaknya ada tiga luaran wajib yang diminta Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi dalam ajuan proposal, yaitu buku ajar, publikasi di jurnal internasional terindeks atau bereputasi, dan model—paten— kebijakan yang mampu untuk diimplementasikan secara nyata.
Tuntutan dari ketiganya secara tidak langsung menegaskan bahwa riset ke depan harus berimplikasi secara nyata sehingga tidak ada riset yang tanpa tujuan jelas implementasinya. Hal ini juga berlaku untuk proposal skim pengabdian kepada masyarakat, yang ditambah dengan tuntutan publikasi di koran nasional.
Artinya, dari ribuan proposal yang didanai untuk 2018, baik itu skim baru maupun lanjutan, setidaknya akan ada sejumlah itu pula publikasi di jurnal internasional terindeks atau bereputasi. Karena itu, beralasan jika periset yang lolos akan dikejar terus terkait tuntutan luaran atau output dari proposal yang didanai Kementerian Ristek dan Dikti untuk semua skim pendanaan riset: riset dasar atau terapan.
Indikasi dana riset dan tuntutan publikasi sejatinya untuk memacu daya saing PT di republik ini. Hal ini jadi penting karena publikasi internasional oleh pengajar kita masih rendah, sementara di sisi lain pemerintah telah memberikan dana sertifikasi kepada dosen yang nominalnya tidaklah kecil.
Bahkan, untuk guru besar nominalnya lebih besar lagi meski di sisi lain ada ironi terkait publikasi mereka. Malah ada juga kritik terkait kinerja guru besar yang belum maksimal. Karena itu, beralasan jika kemudian pemerintah menuntut agar guru besar dan dosen berpangkat lektor kepala wajib memiliki publikasi internasional terindeks atau bereputasi setiap tahunnya.
Kewajiban itu sempat memicu kontroversi, terutama dikaitkan proses panjang dari penerbitan di jurnal internasional terindeks atau bereputasi. Padahal, ancaman nyata dari tidak adanya publikasi oleh guru besar atau dosen berpangkat lektor kepala ialah dicabutnya tunjangan sertifikasi. Fakta ini sebenarnya memberikan dua kesempatan: termotivasi atau justru tereduksi. Pilihan ini tentu mengacu pada kualitas dari keduanya karena guru besar yang tidak produktif juga banyak, sementara kelompok lektor kepala yang produktif juga banyak. Artinya, dilema dari kepentingan pendanaan riset dan tuntutan publikasi memberikan konsekuensi yang tak kecil dan pemerintah juga berkepentingan dengan hal ini demi daya saing PT.
Pemerintah juga menyadari biaya publikasi di jurnal internasional terindeks atau bereputasi tidak murah sehingga beralasan jika dalam pendanaan proposal yang disetujui menyertakan besaran nominal untuk publikasi internasional. Selain itu, saat ini hampir semua PT mapan juga menyediakan insentif kepada dosen yang hasil risetnya bisa lolos publikasi di jurnal internasional terindeks atau bereputasi.
Artinya, ada gayung yang bersambut antara tuntutan publikasi dari pemerintah (Kemenristekdikti), PT, dan juga dosen demi peningkatan jenjang karier. Termasuk untuk pengurusan kepangkatan guru besar yang harus memiliki minimal satu publikasi internasional terindeks atau bereputasi. Meski aturan ini dirasa berat, tak ada alasan untuk tak terus mencobanya. Sebab, semua itu untuk daya saing dan kualitas pendidikan di PT serta mengamankan jatah sertifikasi.
Edy Purwo Saputro, Dosen Pascasarjana di Universitas Muhammadiyah Solo
Sumber: Kompas, 22 Januari 2018