Lewat Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 21 tahun 2017 tentang Registrasi Pelanggan Jasa Telekomunikasi, pemerintah mewajibkan registrasi ulang kartu SIM prabayar.
Peraturan ini membatasi setiap orang mendaftarkan atau meregistrasi tiga kartu SIM untuk satu Nomor Induk Kependudukan dan nomor Kartu Keluarga.
Niat pemerintah sebenarnya sederhana, “Mencegah penyalahgunaan nomor dan melindungi konsumen dari tindak kejahatan lewat telepon seluler (ponsel)”. Namun, ternyata efek peraturan menteri itu sangat luas dan sejatinya akan mengubah perilaku industri yang selama ini tidak sehat, serta membuatnya semakin efisien.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dengan 264 juta jiwa penduduk Indonesia, tercatat ada sekitar 408 juta nomor ponsel aktif gabungan seperti dilaporkan semua operator. Perinciannya: PT Telkomsel (190 juta), Indosat (96,4 juta), Hutchison Tri Indonesia (54 juta), XL Axiata (50,4 juta), Smartfren (17 juta) dan Sampurna Telecom (200.000).
Ada operator yang dalam sebulan jumlah pelanggannya naik sekitar 10 persen, mengantisipasi dampak peraturan menteri yang berlaku mulai 31 Oktober. Diwajibkan bagi para distributor untuk mengaktifkan nomor perdana yang ada di gudang mereka sebanyak mungkin. Sebagian nomor yang dilaporkan aktif tadi sebenarnya nomor “abal-abal” karena data yang dimasukkan palsu dan pelanggan membuang kartu perdana begitu pulsa habis. Akhirnya pemerintah dan operator juga tak mungkin melacak pemilik nomor tersebut.
Pemerintah pernah mengimbau operator agar melakukan verifikasi pelanggan dengan menelepon satu per satu pelanggannya, mencocokkan nama di basis data operator dengan pengakuan pelanggan. Namun, tak ada operator yang sanggup sebab proses untuk lebih dari 200 juta pelanggan (waktu itu) memakan waktu puluhan tahun dan biaya yang besar.
Situasi berubah ketika Kementerian Kominfo bekerja sama dengan Kementerian Dalam Negeri menerapkan sistem SIN (single identification number) untuk semua urusan penduduk. Sistem ini tak memungkinkan siapa pun memiliki lebih dari satu kartu tanda penduduk (KTP). Kini baik pendaftaran perdana maupun daftar ulang tak perlu memasukkan nama, cukup nomor induk kependudukan (NIK) dan nomor kartu keluarga (KK). Proses ini, jika cocok, kepada pelanggan akan diberi tahu bahwa registrasi berhasil, dengan-ajaibnya- tampil pula nama pelanggannya.
Peraturan menteri tadi mengakhiri era pelanggan “bodong” yang pulsanya nol sehingga membuat ARPU (average revenue per user/rata-rata pendapatan dari pelanggan) operator sangat rendah, sekitar Rp 23.000 per bulan. Pemberian program promo membuat pelanggan pindah operator (churn), dan jumlahnya mencapai sekitar 30 persen, padahal promo membebani operator karena tarif layanan di bawah biaya investasi dan operasi.
Aktif sampai setahun
Menurut Direktur dan CFO (chief excecutive finance) PT XL Axiata M Adlan bin Ahmad Tajudin, setiap tahun ada sekitar 600 juta kartu SIM perdana yang diterbitkan (semua) operator.
Informasi menyebutkan, modal satu lembar kartu SIM adalah sebesar Rp 5.000 sehingga beban operator mencapai Rp 3 triliun. Belum lagi jika diperhitungkan dengan pengisian pulsa sebesar Rp 5.000 pada kartu yang dijual oleh operator kepada distributor sebesar Rp 10.000 per kartu. Oleh distributor, kartu itu terpaksa dijual murah sekitar Rp 5.000 per kartu. Namun, dari 600 juta kartu perdana itu, yang benar-benar menjadi pelanggan baru-diukur dari pengisian pulsa lanjutan setidaknya tiga kali-hanya 6 juta sampai 10 juta.
Di sisi lain, ada operator yang membiarkan jutaan kartu nol pulsa itu sebagai kartu aktif sampai setahun. Tujuannya, agar jumlah pelanggannya bisa tinggi.
Kebijakan ini kuno karena investor akan melakukan valuasi operator tidak lagi berdasarkan jumlah pelanggan, melainkan dari berapa besar ARPU-nya. Sudah menjadi rahasia umum, ada operator yang pendapatannya hampir sama dengan operator lain, tetapi jumlah pelanggannya berbeda hampir dua kali lipat.
Kini dengan prosedur yang terverifikasi, menurut data Kemendagri, kewajiban pendaftaran ulang kartu SIM yang berakhir pada 28 Februari 2018 akan menghasilkan jumlah pelanggan murni yang diperkirakan mencapai antara 170 juta hingga 200 juta, sedangkan sisanya akan diblokir. Sisi positifnya bagi operator adalah, angka pelanggan murni ini yang akan membuat ARPU terkerek sehingga industri menjadi lebih sehat.
Operator pun tidak perlu lagi menggerojok pasar yang sejatinya membebani para distributor karena mereka selama ini yang harus menanggung selisih antara harga operator dan harga pasar. Tahun depan, mungkin operator hanya akan menyuplai pasar tidak sampai 20 juta keping SIM perdana, yang berarti mengurangi pengeluaran operator secara signifikan.
Pihak yang terdampak langsung memang para penjual kartu perdana yang kalaupun marginnya naik menjadi Rp 10.000 per kartu, tetap saja penghasilannya anjlok karena volumenya rendah. Di satu sisi, keinginan pemerintah agar operator bisa menjual kartu perdana dengan harga lebih mahal, misalnya Rp 50.000 atau Rp 100.000, bisa tercapai.
Di sisi lain, sistem registrasi menggunakan NIK dan KK membuat tak akan ada lagi orang yang menggunakan ponselnya untuk melakukan penipuan atau ancaman, teror, dan sebagainya karena nama dan alamatnya sangat mudah dilacak. Hanya dengan sekali klik.
MOCH S HENDROWIJONO, Wartawan
Sumber: Kompas, 17 November 2017