Dalam beberapa pekan terakhir, topik mengenai pengenaan biaya pengisian ulang (top up) uang elektronik menghiasi berbagai media, baik media konvensional maupun sosial.
Berbagai pendapat, tulisan, hingga protes muncul dan mempertanyakan rencana kebijakan Bank Indonesia (BI) itu. Menariknya, hal itu justru muncul di tengah kampanye gencar pemerintah dan BI untuk menggunakan pembayaran nontunai pada semua ruas jalan tol di Indonesia mulai 31 Oktober 2017.
BI sebagai otoritas di bidang sistem pembayaran memiliki mandat untuk memastikan sistem pembayaran di Indonesia bekerja secara lancar dan efisien. Dalam melaksanakan tugas itu, BI juga selalu mendengar berbagai masukan dan aspirasi masyarakat, termasuk para pengguna uang elektronik. Oleh sebab itu, pada kebijakan yang diumumkan 20 September 2017, berbagai masukan masyarakat dijadikan bahan pertimbangan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Bagaimanakah persisnya bunyi kebijakan yang diambil BI? Untuk apa dan manfaat apa yang akan diperoleh masyarakat dari kebijakan tersebut?
Pertama, harus disadari kondisi yang sedang dihadapi sistem pembayaran di negeri kita. Indonesia sedang berada di tengah gempuran inovasi teknologi digital. Sistem pembayaran nasional di Indonesia berada pada sebuah ekosistem yang masih kompleks, tersegmentasi, berbiaya tinggi, dan sangat bergantung pada peran asing. Akibatnya, masyarakat harus menanggung beban biaya transaksi yang tinggi dengan perlindungan konsumen serba minim. Tingginya biaya tarik tunai, transfer antarbank, dan biaya tambahan lainnya (surcharges) mungkin dapat menggambarkan kompleksnya kondisi tersebut.
Di samping itu, kita juga menghadapi munculnya silos antar-penyelenggara jasa sistem pembayaran. Artinya, setiap penyelenggara belum bersedia berbagi sambungan (interoperability) berbagai kanal pembayaran yang mereka miliki. Kita lihat deretan ATM dan EDC di mal dan counter, kepemilikan beragam kartu kredit, beragam kartu ATM/debet, dan uang elektronik di dompet, adalah gambaran dari belum efisiennya ekosistem sistem pembayaran kita. Satu kartu debet atau kartu kredit kerap kali tidak bisa digunakan di setiap toko atau mal.
Menyikapi kondisi tersebut, BI bertekad membangun kebijakan yang jelas dan adil serta mengajak industri perbankan untuk bergerak sesuai dengan arah kebijakan BI, sembari merangkul seluruh pihak untuk bergerak dalam langkah yang sama. Ada tiga langkah yang ditempuh oleh BI terkait dengan hal ini.
Pertama, perlunya memperkuat keamanan, integritas transaksi, dan perlindungan konsumen. Untuk itu, BI, di antaranya, telah mewajibkan penggunaan teknologi chip dan PIN dalam jaringan (online) enam digit pada ekosistem ATM/debet, memperkuat fitur pengamanan infrastruktur sistem pembayaran dari risiko serangan siber, dan mewajibkan penggunaan rupiah di wilayah NKRI.
Selain itu, memperkuat komitmen antipencucian uang dan pendanaan teroris, penertiban kegiatan usaha penukaran valuta asing (KUPVA) bukan bank dan perusahaan transfer dana bukan bank ilegal bekerja sama dengan Kepolisian RI, mencegah penyalahgunaan data dan informasi nasabah, termasuk penertiban praktik double swipe, dan mewajibkan penerbit untuk menyampaikan closing statement dalam penutupan kartu kredit.
Kedua, memperluas penerimaan (akseptansi) pembayaran nontunai dan inklusi keuangan. Langkah ini dilakukan melalui program elektronifikasi, yang dalam beberapa tahun terakhir difokuskan pada fasilitasi penyaluran bantuan sosial secara nontunai dan penerapan pembayaran nontunai secara penuh di jalan tol. Langkah ini sekaligus menjadi bentuk dukungan nyata BI terhadap program pemerintah, khususnya Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI).
Ketiga, mewujudkan sistem pembayaran yang efisien melalui ekosistem yang saling bisa beroperasi dan tersambung (interoperable/interconnected), berbiaya murah, dan inovatif. Langkah ini sebuah keniscayaan. Tanggal 20 September lalu, BI menerbitkan ketentuan pelaksanaan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) yang mengatur secara lebih rinci aturan main terkait prosedur penetapan kelembagaan GPN, mekanisme kerja sama, branding nasional, dan kebijakan skema harga.
Biaya isi ulanguang elektronik
BI juga mengeluarkan skema harga pengisian ulang (top up) uang elektronik yang didesain untuk mendorong kompetisi industri yang lebih sehat dan memperkuat perlindungan konsumen. Kebijakan tersebut adalah memberikan pembebasan biaya top up on us (pengisian ulang yang dilakukan melalui kanal pembayaran milik penerbit kartu) untuk nilai top up sampai dengan Rp 200.000. Hal ini dilakukan guna mencegah industri untuk membebani biaya yang berlebihan bagi masyarakat, khususnya segmen menengah-bawah. Pembatasan bebas biaya top up hingga Rp 200.000 tersebut dengan pertimbangan bahwa 96 persen pengguna uang elektronik di Indonesia melakukan top up tidak lebih dari Rp 200.000.
Di atas pengisian Rp 200.000, penerbit uang elektronik punya pilihan menggratiskan, tetapi BI (untuk perlindungan konsumen) membatasi biaya tak lebih dari Rp750 untuk top up on us. Untuk top up off us (pengisian ulang melalui kanal pembayaran milik penerbit kartu yang berbeda/mitra), bank dapat pula menggratiskan, tetapi biaya tak lebih dari Rp 1.500.
Selain karena untuk biaya pengadaan infrastruktur bank (cost recovery), pengenaan biaya ini dilandasi pertimbangan untuk menjaga keberlanjutan industri yang sekaligus mendorong insentif industri untuk memperluas akseptasi melalui perluasan infrastruktur. BI meminta bank penerbit untuk terus membangun dan memperbaiki infrastruktur uang elektronik, termasuk perluasan sarana top up dan memantau implementasi ini yang dikaitkan dengan izin.
Kita tentunya mengapresiasi dan menyambut baik langkah Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) yang telah bersepakat membebaskan biaya pengisian ulang uang elektronik bagi nasabahnya. Langkah Himbara ini diharapkan dapat menjadi pendorong bagi bank-bank lain untuk melakukan hal sama. Dengan demikian, diharapkan langkah kebijakan ini menjadi pendorong bagi masyarakat Indonesia untuk terus membiasakan melakukan pembayaran secara non tunai.
Dengan berbagai strategi dan kebijakan, baik jangka pendek maupun jangka panjang, yang telah disebutkan secara ringkas diatas, tampak jelas komitmen BI untuk terus mengarahkan dan membentuk ekosistem yang efisien, terintegrasi, berbiaya rendah, semakin mandiri, dan melindungi berbagai kepentingan konsumen dan negeri kita.
Tentu hal ini tidak mungkin dilakukan sendiri oleh BI. Dukungan pemerintah, perbankan, pelaku pasar keuangan, dan semua anggota masyarakat merupakan kunci dalam membangun ekosistem sistem pembayaran nasional yang berdaulat dan memberi manfaat bagi perekonomian Indonesia.
Eni V Panggabean, Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran Bank Indonesia
Sumber: Kompas, 9 Oktober 2017