PADA tanggal 26 Augustus 1997 kolega kami di Kompas, Mindra Faizaliskandiar, menghembuskan napasnya yang terakhir di Rumah Sakit Pertamina, Jaksel. Beberapa hari sebelumnya dia sudah siuman dari krisis yang cukup besar selama beberapa hari. Pada hari Jumat, 22 Agustus kami mengunjunginya di rumah sakit dan bercanda sepanjang jam kunjungan tersebut. Ketika saya tanyakan istrinya apakah ada pantangan dalam makan, katanya tidak ada, tetapi yang diingini terutama jeruk. Ketika siuman dia menghabiskan beberapa buah jeruk.
Lantas saya tawarkan buah apel dan katakan: “’Saya akan kirim apel. Makanlah buah apel, karena apel adalah buah ajaib yang pernah diciptakan di muka bumi ini.” Dia ketawa ngakak dengan suara yang sudah melemah. Besoknya saya kirim sebingkis buah apel bercampur jeruk dan buah anggur merah dan putih. Ternyata tidak ada keajaiban dalam buah apel. Hidup berjalan seperti hidup itu sendiri, misterius, tanpa ada tawar-menawar. Dan dia menghembuskan napasnya terakhir pada pukul 8:30 pagi WIB, 26 Agustus, dalam usia 39 tahun. Too young to die!
Mengapa saya menulis baris-baris dari suatu in memoriam dalam suatu surat kabar besar yang akan dibaca oleh jutaan orang yang tidak mengenalnya? Mungkin hanya rasa nekad untuk memperkenalkannya, siapa tahu ada manfaat untuk orang lain. Dia hanya seorang kolega di dalam kerja di dalam suatu surat kabar. Setelah menamatkan studinya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia sebetulnya dia sudah bergentayangan bekerja di Jakarta di berbagai tempat. Tahun 1986 dia bekerja sebagai wartawan di Suara Karya. Pada tahun 1987-1988 dia bekerja sebagai staf periset foto di majalah Tempo, seraya tetap menjadi dosen di jurusan arkeologi, Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Setelah semua pengalaman kerja di atas pada tahun 1991 menjadi staf dalam Bagian Penelitian dan Pengembangan, Litbang Kompas. Di sinilah sebenarnya dia menghabiskan sebagian besar waktu dan perhatiannya yaitu di dalam dunia penelitian yang bergandeng dengan dunia jurnalistik. Bekerja sebagai peneliti di dalam suatu surat kabar harian adalah suatu ketegangan dalam dirinya sendiri. Ketegangan terutama yaitu bagaimana menggabungkan keperluan jurnalistik yang berbilang menit ke menit, jam ke jam, hari ke hari dan diintimidasi oleh musuh abadi yang disebut dead line dengan langgam bekerja sebagai seorang peneliti yang lebih memerlukan refleksi. Persoalan penelitian bisa dirangsang oleh peristiwa jurnalistik yang menit ke menit urusannya, tetapi hampir mustahil mempercepat proses yang dituntut oleh kekompleksan suatu metodologi.
Di tengah seluruh ketegangan kerja seperti itulah dia harus menempatkan dirinya. Dan hampir tidak terelakkan emosinya sendiri dibentuk oleh pengalaman profesional itu, maupun oleh penyakit yang sudah diidap bertahun-tahun. Kadang-kadang dia merasa bahwa menulis sebagai seorang peneliti tidak cukup karena hanya mereka yang berpendidikan tinggilah yang mampu menikmati jenis tulisan dan laporan seperti itu. Karena itu dia pun mencari saluran lain seperti radio. Dan tidak jarang terjadi statement-nya di radio menjadi kontroversi karena sering dia tidak mampu menahan diri di dalam memberikan statement.
Di bidang profesinya itu dia memang terkenal oleh para koleganya sebagai mabok kerja alias workaholic. Layar komputer lebih menjadi temannya. Setelah bersahabat dengan komputer dia semakin soliter, menyepi untuk dirinya sendiri meskipun tidak selalu gampang mengatakan dia seorang pribadi soliter, karena ketawanya membahana di tengah kesepian pekerjaan kantor.
Hanya dalam saat saat terakhir saya mengenal kehidupannya yang begitu sepi di dalam dirinya. Kehidupan konferensi yang membaurkan ilmu dan pesta juga tidak dinikmatinya. Ketika berada dalam suatu konferensi di Taiwan, Juni yang lalu pada akhir acara kami dipestakan oleh tuan rumah di Taipei. Dan hampir setiap pesta dengan tradisi Cina adalah makan besar.
Selalu menjadi penghormatan untuk tuan rumah bila makanan berlebihan itu diberikan kesan berlebihan oleh tamunya meski oleh tuan rumah semua tamu dirangsang to eat dangerously. Semua acara itu ditampiknya. Dia hanya mau tinggal sendirian di kamar dan menelepon keluarganya di Jakarta.
Tetapi dalam sepi itu sebenarnya dia mengalami kegusaran hidupnya. Dia mencoba masuk dan meneruskan studi-nya ke tingkat Sarjana Strata Dua, S2, di pascasarjana UI. Studi itu tidak diselesaikannya. Dia sadar betul bahwa hidup di dalam dunia penelitian dan memimpin dunia penelitian harus didasari oleh pendidikan yang kukuh. Karena itu dia juga berusaha, dan dia ditawar-kan malah diminta oleh mereka yang akan menjadi promotornya di National University of Singapore untuk melanjutkan studi Doktor di sana. Tetapi tentang itu tidak pernah ada keputusan yang pasti dari dirinya sampai ajal menjemputnya.
Dia tidak banyak dikenal di luar tetapi bagi kalangan Ikatan AhIi Arkeoegi Indonesia, dia menjadi penggerak karena keterlibatannya di dalam bidang itu. Untuk itu Dirjen Kebudayaan profesor Doktor Edi Sedyawati mau melepaskannya di peristirahatannya yang terakhir. Bagi kami dia seorang peneliti yang andal, penuh komitmen. Kadang-kadang komitmennya begitu penuh sehingga saya terpaksa mengatakan: Mindra, itu komitmen, tapi bukan panelitian! Dia selalu mendengar kalau persoalannya sudah sampai ke sana.
Bagi kami dia seorang penulis yang sudah menemukan karakternya sendiri. Tetapi soalnya sama saja dengan komitmennya di atas. Karakter penulisan itu begitu mau dipertahankan sehingga kadang-kadang akan mengorbankan isi. Selalu juga saya katakan: Mindra, itu kepribadian seorang penulis, tetapi itu bukan penelitian. Dia juga selalu mendengar kalau soalnya sudah sampai ke sana.
Dengan itu sebenarnya saya berusaha untuk memperkenalkan pribadi yang tidak banyak bisa dikenal orang. Nomen est omen, nama adalah pertanda, karena itu jarang seorang suka bila namanya disalahtuliskan. Dengan Mindra itulah yang terjadi. Jarang ada, yang menulis namanya seperti yang diingini pemiliknya. Iskandar Agung tentu jauh lebih terkenal karena itu namanya Mindra Faizaliskandiar selalu diasosiasikan dengan nama besar Iskandar Agung karena itu ditulis Mindra Faisaliskandar. Setiap orang yang menulis namanya selalu membuang huruf “i” pada suku kata kedua dari akhir. Tetapi tentang itu pun dia tidak mengambil peduli. Dia biarkan saja begitu. Tapi kini semua kami melepaskan dia kembali ke alam baka karena di sana setiap keperibadian mendapatkan kepenuhan, Setiap nama mendapatkan kehormatan. Di sana dia menghadap Yang Maha Kuasa yang selalu dengan ramah mengatakan: I will give you an erlasting name, that shall not be cut off, Saya akan berikan kau nama abadi yang takkan diputuskan siapa pun. Mindra, selamat Beristirahat Dalam Damai! (Daniel Dhakidae)
Sumber: Kompas, 27 Agustus 1997
———————
Selamat Jalan Mindra
Membaca tulisan Bung Daniel Dhakidae tentang kepergian sahabat saya Mindra Faizaliskandiar saya sungguh terkejut dan bangga. Terkejut karena berita kepergiannya yang terlambat saya dengar, tetapi saya bangga Bung Dhakidae menuliskan “sosok kecil” Mindra dari belantara orang ternama di Kompas dengan bahasa yang sangat pas. Bagaimanapun saya juga merasa kehilangan seorang teman dan lawan diskusi yang tangguh. Mindra, teman penuh dedikasi selama kami sama-sama bekerja di majalah Tempo (almarhum). Selepas itu pun saya masih sering menjumpai kegigihannya dalam berargumentasi di Internet. Topik terakhir yang saya baca di Internet, adalah pembelaannya secara gagah berani terhadap tuduhan bahwa wartawan Indonesia sudah diperbudak”amplop”.
Untuk keluarga “Kompas-Gramedia” saya ucapkan turut bela sungkawa yang sedalam-dalamnya. Orang-orang baik selalu pergi Iebih cepat, selamat jalan Mindra. Semoga seperti doa Bung Dhakidae, Tuhan dengan ramah akan menyapamu: I will give you an everlasting name, that shall not be cut off.
Didik Budiarto, TV3-Sistem Televisyen Malaysia Berhad, Perwakilan Jakarta, Gedung Bank Ficorinvest Lantai 3, Jl HR Rasuna Said Kav C-18 Jakarta 12940